03. Mudik yuk
Nich bantuan tiba, Ridwan bertindak: Dicengkeramnya kuat-kuat pinggul
Hindun, ‘Hindun…kamu hebat..hhhh, ampun …. abang nggak tahan…ohh’ Ridwan
menyuarakan kepura- puraanya, mengharapkan wanita alim ini memperoleh
’second wind’ (kayak petinju)
‘Hhhhh..hhhh..hhhh….’ Hindun tersengal-sengal dalam gelinjangannya,
dalam benaknya ‘ ohh …. untunglah dia sudah tak tahan…oh .. ini
rasakan…inih rasakan.’ Hindun kembali terbangkit semangatnya, dengan
menghantamkan kembali secara teratur berkali-kali kewanitaanya di
pangkal kejantanan selelaki. Tangan Ridwan sekarang bekerja keras dengan
cengkeramannya, membantu menarik keras, setiap pinggul Hindun bergerak,
melipatgandakan efek hantaman. Ridwan memperlambat ritme hantaman
pinggul wanita itu, yang segera dipatuhi Hindun. ‘Abang…hhh …. nggg …
Hin…. ohhh’ Hindun menjelang tiba pada puncak yang sedari tadi
digapainya. Ridwan seketika melipatgandakan kecepatan tarikan tangannya
dipinggul sang wanita, bak piston mobil berkecepatan tinggi.
Kejantanannya mulai dirasa berdenyut-denyut, menandakan sitongkat
menginginkan segera melakukan lari sprint jarak pendek, mencapai finish.
‘Abangghhhh…’ Tak sadar Hindun menjerit dengan suara seolah dari dalam
dadanya bercampur hembusan nafas akibat kenikmatan yang terpompa dari
sekujur tubuhnya. Tubuhnya ambruk dipelukan Rindwan, pinggulnya lemas
tidak mampu digerakkannya, tapi ‘ohhhh …..’ tangan Ridwan dengan buas
menarik dan mendorong pinggulnya dengan demikian kuat, dan demikian
cepat. Sesaat Ridwan dengan ganasnya memaksa Hindun bertahan mengarungi
puncak birahinya, dengan menghantamkan kewanitaan Hindun dengan cepat
dan bertenaga. ‘Dik…baca..dik….’ Ridwan tetap teringat pesan simonyet.
‘Oh iya …Lapa hh la … la…eghhh..loma..’ Ridwan membantu mengeja Hindun
susah payah melafalkan, karena kemaluannya terus menghantami tongkat keras.
Hindun merasakan tubuhnya sangat lunglai, dirinya bersyukur kerena supir
asing ini benar-benar membantunya mencegah aib, sampai dua kali malah.
Tetapi oh ..ohhh kejantanan itu masih terus menyiksannya, ‘Oh… ibu…sudah
…sudah …oh ….’benaknya mulai mengharapkan disudahinya kenikmatan ini.
“bang….bang…sudah..bang…sudah…’ Sebelah tangan Hindun yang lemas mencoba
menahan pinggul silelaki, Hindun lupa pinggulnyalah yang bergerak maju
mundur menghantami tunggul sialan yang membenam dikemaluannya. Erang
ketidakberdayaan ini, bagai simfoni indah ditelinga Ridwan, tidak sering
dirinya mendengar perempuan mengerang menyerah menahan kenikmatan.
Kejantannya mulai menggelegak. Tangannya mulai melemas, pikirannya
memutuskan gerakan baru. Diangkatnya tubuh lemas dipangkuannya,
dibaringkannya di sang wanita disepanjang bangku penumpang. Dengan susah
payah, Ridwan berhasil mempertahankan tongkatnya tetap terbenam.
Tubuhnya berputar mengikuti rebahan wanita ‘Ohh…’Hindun lega, badainya
mereda, ‘tapi ..aduh..apa lagi ini…’ pikirannya bertanya-tanya, tubuhnya
masih terasa sangat lemas. Dirinya merasakan, sebelah kakinya terangkat
lurus, ditumpukan kepundak silelaki. Ridwan bersiap mengambil posisi,
kaki kirinya jongkok terlipat dibangku, sejajar dan disisi luar paha
kanan Hindun, terjepit antara paha dan jok sandaran kursi. Kaki kiri
Hindun dipanggul dibahunya. Kaki kanannya menggapai-gapai mencari
pijakan dilantai bis. Sip, sudah OK. Ridwan mengatur nafas sebentar,
bersantai sejenak. Diiturunkan pantatnya menduduki paha kiri Hindun,
hangat. Dibuka kemeja seragamnya, telanjang full. Dibelainya betis halus
yang menempel dipipinya. Dicakarkannya kukunya dari betis itu turun
kepangkal paha Hindun, cakaran mesra. Matanya memandang kebawah. ‘Dik…,
sabar ya..’ ‘Bang sudah bang…’ Hindun sedikit menghiba. Matanya terbuka
dan mendapati pemandangan yang sudah sering dilihatnya, memandang
sembari telentang wajah lelaki diatasnya, siap menyerbu. Yang agak beda
wajah ini sangat asing, tidak dikenalnya, namanya saja tidak tahu. Tubuh
yang siap menggumulinya ini, tampak agak gemuk setelah lepas dari
kemejanya. Tapi yang jelas barang keras terbenam didalam dirinya, ohhh
sebentar lagi akan menjadi buas.
Bukannya kasihan, Suara desaan Hindun, bagaikan cambuk melecut punggung
kuda, Birahi Ridwan kembali menggelegak, pinggulnya mulai menekan,
perlahan tapi kuat. “Aduhh bang …. sudah…’ mecoba menghiba ‘Sebentar
sayang…kasihan dong sama abang..’ kembali menghujam dan menghujam
‘Ohh..bang…tapi… ohh cepat ya bang..ohh’ Walaupun lemas, kenikmatan
kembali menjalarinya, Kedua tangannya sekarang berhasil menjamah pinggul
silelaki, menekapnya dan mengikuti hujamannya, seolah-olah mengawasi
agar silelaki tidak berlama-lama. Ridwan semakin merasakan gelegak
kejantanannya mulai mendekati tujuan, hujaman kejantanannya tetap
dipertahankan ritmenya tetapi dengan tekanan semakin keras menggerus
dinding kemaluan siwanita, bergantian sisi kiri sisi kanan sisi atas
sisi bawah. ‘Ohh.. sudah..bang sudah…’ Kenikmatan kembali menyeruak,
Hindun kembali menghiba agar kenikmatan itu segera berakhir. Tubuhnya
kembali menggelinjang. Desahan Hindun semakin memacu Ridwan, dia
menyadari sedikit lagi mencapai puncaknya. Sembari menghujam, batang
paha Hindun yang ada dipelukannya didorongnya merapat ketubuh
pemiliknya, ditindihnya. Tubuhnya mengikuti menekan paha itu menghimpit
perut dan dada siwanita. Hujamannya semakin bertenaga.
‘Hhhhh….dik….hhh….’ ‘Ohh …bangg…ohh sudah…’ Tetapi tangan Hindun yang
memegang lemas pinggang silelaki, yang tadinya berniat mengawasi agar
tidak lama-lama, sekarang membantu pinggul itu bergerak maju mundur.
Dengan sisa sisa tenaganya, tangan itu mencoba membantu. ‘Adik …kemu
hebat…hhhh..hebat…’ sembari mempercepat hantamannya’ Tangan Hindun
terbangkit semangatnya mendengar pujian tersebut, dalam gapaian
sisa-sisa kenikmatan, tangan Hindun berinisiatif mempercepat hantaman
dan tarikan pinggul Ridwan. ‘Adik…hhh…abang…hhhh…sampai’ Kejantanannya
meledak, memuntahkan bara panas. Ridwan menikmati sepenuhnya
keberuntungannya menggapai puncak kenikmatan dengan menyetubuhi ibu alim
ini. Saat- saat ledakan, hujaman pinggul Ridwan sedemikian keras membawa
kejantanannya mendalami kewanitaan Hindun. Sesaat walaupun sudah
meledak, Ridwan sekuat tenaga menggapai-gapai pucaknya dengan hujaman-
hujaman keras, dengan ritme cepat menuruti gayutan jemari wanita
dipinggulnya yang menghelanya tetap menghujam. “Bang..ohh…’ Tanda
sampainya lelaki yang sedari tadi menyiksanya dengan kenikmatan, sontak
menghentakkan Hindun dalam sensani kenikmatan. Dirinya seolah-olah mau
membalas dendam, menghentakkan pinggul silelaki kepangkal pahanya,
semakin cepat, mumpung sitongkat masih perkasa. Hindun menguatkan diri
menerima hujaman sang supir diujung perjalanannya, tangannya membantu
pinggul itu untuk terus menghantam disisa momentum perjuangannya, sampai …
Ridwan mengangkat tubuhnya, melepas jepitan pada paha si ibu alim,
melepaskan paha itu untuk lurus, rapat dengan kaki kanannya.
‘Adik…hebat…’ Ridwan mendekap tubuh telanjang dalam himpitannya semesra
mungkin, terasa payudara kenyal hangat didadanya, terasa berdetak-detak
dan terengah-engah. Kejantanan Ridwan masih mempertahankan sisa-sisa
keperkasaannya, masih terasa keras dikewanitaan Hindun, yang sedemikian
hangat. Ridwan berulang membisikan pujian ketelinga Hindun, betapa
menggairahkannya dia. Hindun, dalam dekapan lelaki asing, tak berhenti
merasakan sisa-sisa kenikmatan dari tongkat yang masih cukup keras
menancap dalam tubuhnya. Dirinya sangat bangga dibisikan pujian,
walaupun gombal, tetapi dengan tongkat yang mengganjal, ohh ruarr biasa.
‘Abang…ohh…abang …’ Hindun balas mendekap lelaki asing ini dengan mesra.
Dikejarnya sisa-sisa kenikmatan, dengan menggerakkan kedua pahanya
memassage dengan liang kewanitaannya, tongkat yang sudah pasti sudah
sangat lelah, akibat memberikannya kenikmatan yang luar biasa. ‘Adik…oh
adik sayang…’Ridwan semakin erat mendekap, dibiarkannya berat badannya
membebani pangkal paha Hindun. ‘Mmmmm abang…’ Hindun terus menggerakkan
perlahan tapi bertenaga kedua pangkal pahanya memeras kejantanan dengan
otot pahanya. Karena indahnya pujian dan sisa-sisa kenikmatan setiap
kewanitaannya memeras si tongkat ‘Adik…ohh…enak sekali…dik…kamu hebat
sekali…’ Diresapinya massage spesial ala Hindun, usai pendakian puncak
kenikmatan yang melelahkan. Entah berapa lama berlalu kegiatan massage
spesial ini. Sampai akhirnya Hindun kelelahan memassage dan si tongkat
tidak mampu lagi, lunglai dalam genggaman hangat liang kewanitaan, dan
akhirnya lepas.
‘Dik…lebih baik kamu tidur di kabin VIP, disini sebentar lagi akan
pengap’ ‘Iya bang’ ‘Sukurlah, tugas mengindari bencana dan aib sudah
usai, dua kali sudah ia berhasil menambal mantera yang dirusaknya.
Betapa berterima kasih dirinya kepada lelaki ini, juga tidak lupa kepada
anak kecil yang tadi.
Di sore kedua perjalanan, bis sudah jauh memasuki wilayah Sumatera
Selatan, menuju Lahat. Melewati magrib, kedua anaknya yang tampak lelah
setelah seharian bermain gembira, diatur tidurnya oleh ibunya. Hindun
mengambil duduk disisi suaminya, dibagian jendela. Indro merasa bosan 24
jam lebih didalam bis ini, dia mencari kegiatan lain. Dimiringkannya
posisi duduknya yang setengah berbaring, dibangku reclining seat, miring
menghadap Hindun. Tangannya bergerilya memasuki bagian bawah baju
terusan panjang, mulai merayapi bagian- bagian peka istrinya. Hindun
meresapinya. Berlama-lama tangan Indro merayap kemana-mana mencoba
membangkitkan gairah istrinya, didalam lindungan baju terusan panjang.
Dikecupnya sisi telinganya. ‘mmmmm abang’ bisik Hindun. Gairahnya
bangkit ‘Ndun…ke wc lagi yukk’, Hindun mengerti apa yang dikehendaki
suaminya. ‘Jangan ah bang’ dirinya ngeri membayangkan konsekuensinya
‘Ayolah Ndun…’Indro sedikit memaksa, jarang sekali Hindun menolak
keinginan seks suaminya, maklum wanita tradisional yang penuh
pengabdian. ‘Tapi bang…’ ‘Ayolah…’ ‘Nggak ah bang… sini saja’ Tubuh
Hindun dimiringkan menghadap suaminya, kedua tangannya bekerja cepat
membuka kancing celana Indro dan langsung menyelusup masuk kedalam
celana dalam, menyergap sepotong daging kenyal yang tampak tidak siap.
Tidak siap disergap dan diremas-remas daging itu mulai meronta, mengeras
dan menggeliat, hidup dalam genggaman siistri. Hindun mengerahkan
kemampuanya membetot kejantanan yang mengeras dan memerah pangkal
kemaluan suaminya. ‘Indro yang agak kecewa, dengan penolakan Hindun,
menikmati saja serangan Hindun. Terobati sedikit kekecewaannya dengan
service istrinya. Tangan kirinya yang terhimpit tubuh Hindun, mencoba
meremas payudara, tangan kanannya yang bebas membelai sekujur tubuh.
Alat vitalnya yang langsung disergap dengan cepat membawa Indro menuju
gejolak kenikmatan. Istrinya lumayan hebat mempermainkan batang kemaluan
dan buah pelirnya, walaupun terhambat celana panjang dan celana dalam
yang tidak dilepas. Ibarat menyanyikan lagu, Hindun berhasil menyanyikan
lagu Indro sampai bagian intro pembuka, untuk memasuki bagian
selanjutnya, tampaknya sangat sulit. Berlama-lama Hindung mengerahkan
semua kemampuannya, tapi hasilnya hanya sampai pada titik itu. Hindun
bertekad tidak akan berhubungan badan, di wc sialan itu, tidak
terbayangkan konsekuensi yang harus ditanggungnya nanti. Sehingga
memutuskan untuk melayani suaminya disini. Tangannya mulai lelah,
tampaknya kemajuan semakin lambat. Otaknya berpikir keras. Bagaimana
ini? Memang demikian, semakin menghadapi masalah, semakin otak manusia
bekerja keras. Dia terbayang kejadian kemarin, kewanitaannya dilahap
dengan rakus oleh lelaki asing, ohh… mungkin bisa ditiru. Perlu
diketahui, Hindun sama sekali tidak pernah melakukan oral seks, dioral
pernah, oleh suaminya dulu diawal perkawinannya. Indro tidak pernah
mendorong istrinya untuk melakukan oral. Kegiatan itu bagi Hindun lebih
seperti dongeng yang tabu untuk didengarkan. Tetapi benaknya tidak mampu
melupakan kejadian kemarin malam dioral oleh lelaki asing. Hindun
memutuskan meniru kejadian kemarin, sebagian akibat tangannya yang mulai
lemas, sebagian mungkin karena mengurangi rasa bersalah bagian suci
dirinya dioral lelaki lain, sebagian teringat gairah kemarin. Hindun
menguatkan dirinya. ‘Mas…angkat…’ tangannya mempelorotkan sedikit celana
panjang suaminya, Indro membantu dengan mengangkat pinggulnya, celana
dan celana dalam terpelorot sedikit, melepaskan kejantanan Indro
mengacung tegak. Dibungkukkannya tubuhnya, seolah oleh hendak tidur
dipangkuan suaminya, dikulumnya topi baja itu, membuat Indro tersengat.
Kaget dirinya mendapati Hindun melakukan oral. Kekecewaan Indro
terhapus, digantinya sensasi baru, istrinya melakukan sesuatu yang
sangat diluar dugaan. ‘Ok dehh’ Dalam dua hari Indro mendapati dirinya
dua kali kembali dalam posisi defensif, tangannya hanya mampu meremas
payudara, dan sebagian sisi tubuh istrinya. Singkat kata: Sampai juga
Indro dipuncak kepuasannya walaupun tidak maksimal Sedangkan Hindun
hanya sampai stater mesin untuk pemanasan, tapi pemanasannya lumayan
lama, selama dirinya mengulum dan menyedot kejantanan sang suami.
Berahinya terbangkit dibelai-belai suaminya tercinta. Sama sekali hal
itu tidak menjadi masalah, yang penting suaminya terpuaskan. Toh dirinya
kemarin baru mengalami sensasi luar biasa.
‘Bapak ibu silahkan turun berisirahat, kita berhenti direstoran Begadang
ini selama setengah jam’ Supir mengumumkan, membangunkan seluruh
penumpang, sudah jam 8 malam.
Hindun sangat malu ketika melewati sang supir yang meliriknya dengan
tajam. Keduanya berhasil menyembunyikan dengan baik apa yang telah
terjadi. Berpapasan biasa saja. Di bawah, kondektur sibuk membantu para
penumpang turun dari tangga bis yang lumayan tinggi kepermukaan tanah.
Terutama anak kecil yang harus diangkat turun. Terhadap para wanita
sikondektur siap mengulurkan tangan, sambil mengarahkan ‘kamar kecil
kekiri terus kekanan’ demikian berulang-ulang.
Saat tiba giliran Hindung, Anton menyambut tangan Hindun, tapi khusus
tangan ini, diremasnya dengan mesra walaupun sekejap, sambil berbisik
‘Kak…dari kemarin anuku ngilu, sering tegak terus terusan sampai sakit
sekali’ Anton menebar pancing. Hindun kaget mendengarnya, dia ingat
kemarin anak kecil ini membantunya menambal mantera dengan ‘ihhh’ anunya
yang besar, dan dia yakin, seyakin-yakinnya Anton tidak orgasme, tidak
muncrat maninya. Oooo mungkin itu masalahnya. ‘Bang Indro duluan, termos
air panas ketinggalan’ Hindun mencari cara untuk berbicara dengan Anton,
dia kembali naik pura-pura mengambil termos, ketika berpapas dengan
supir, anggukan supir dibalasnya dengan muka merah. Ridwan memandang
dari atas, buset monyet ini sedang ngomong apa tuh dengan Hindun.
‘Anton, ada tempat bebas, biar saya bisa periksa..’ Hindun berbisik
dengan prihatin saat turun diri tangga bis dibantu kondektur,
membayangkan betapa tersiksanya anak ini akibat membantu dirinya. Yess….
Anton bersorak dalam hati. ‘Ee disini tidak ada kak, subuh nanti di ….,
kita beristirahat agak lama’ ‘Tahan ya Anton, sampai nanti’
Subuh, sepanjang malam Anton mengambil alih kemudi bertindak sebagai
supir serap memberikan kesempatan supir tidur. Anton membuat pengumuman
‘Bapak-ibu sekalian kita sampai direstoran …, disini silahkan
berisirahat lebih lama, satu setengah jam, silahkan mandi, karena nanti
siang mudah-mudahan kita sampai ditujuan’
Saat ada peluang berbicara, ‘Kak sepanjang malam tersiksa banget dehh,
anuku tegang terus, gimana kak?’ Anton memamerkan tampang lugunya. ‘Iya,
kita cari tempat untuk kakak bisa periksa’ Hindun prihatin. ‘Oh terima
kasih kak, Gini aja setengah jam lagi, kakak saya tunggu di sana, area
istirahat supir, lurus, nanti masuk kekiri, cari pintu yang ada stiker
bis ini, gampang kok’
‘Bang, bangun kita sampai di ….,’ nanti saya tidur sebentar dikamar
Anton meninggalkan Ridwan yang sudah terjaga bangun, mengecek kondisi
bis, memerintahkan kru darat untuk mencuci bis dan segalanya, dengan
cepat menyantap jatah kru bis. Dirinya melangkah kearea penumpang yang
sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tampak keluarga Indro
sedang sibuk dimeja makan, Anton memperhatikan seorang ibu ayu sedang
menyisir rambut anaknya yang sedang menyantap hidangan dihadapannya.
Tampaknya keluarga Indro sudah hampir selesai membersihkan diri, dan
tinggal menyantap hidangan subuh. Anton sengaja lewat agak dekat dengan
meja tersebut, yang segera terlihat oleh Hindun, lirikannya
memperhatikan kemana arah anak itu. ‘Anak-anak jangan nakal yaa, kalau
mau main, harus dengan papa’ Hindun berbisik ‘Bang, Hindun mau mandi,
kotor sekali rasanya, apalagi abang nakal terus dari kemarin’ Indro geli
mendengarnya ‘Gih sono… awas jangan ngabisin air, kasihan penumpang lain’
‘Mana ya pintu dengan stiker bis …,’ mata Hindun menjelajah deretan 4
kamar, ‘nah itu dia’ Dirinya memberanikan diri membuka pintu tanpa
mengetuk, kriyetttt, pintu murahan menjerit. ‘Kakak?’ terdengar sahutan
dari dalam ‘Masuk saja saya lagi diwc’ Kamar istirahat supir dilengkapi
dengan WC sederhana. Salah satu servis restoran ini, yang membuat para
supir menyukai singgah disini, karena tidak perlu berebut toilet dengan
penumpang, bahkan perusahaan bis bisa menyediakan sabun odol dll.
Sedangkan tempat tidurnya hanya berupa bale-bale dari papan yang mengisi
hampir seluruh ruang itu.
Anton di wc, baru selesai membasuh tubuh ala koboi, dan dengan cepat
melakukan masturbasi, memaksa penisnya untuk segera bangkit. Sensasi
akan ditumpahi kasih sayang seorang ibu memudahkan penisnya menegang.
Dengan cepat dia mengenakan baju dan melangkah keluar. ‘Kak…sukurlah
kakak datang’ Anton melangkah mengunci pintu. Hindun yang sejenak sempat
memperhatikan isi ruang, melangkah duduk diujung dipan, karena sama
sekali tidak ada kursi. ‘Anton sini coba kakak lihat’ Hindun mencermati
memang ada tonjolan keras dicelana remaja ini yang coba ditutupi kemeja
seragam yang dikeluarkannya. (Kena luhh: emang siotong baru dibangunin)
‘Coba buka celananya,’ Jengah juga Hindun berkata demikian, tetapi
kesannya terhadap anak ini sudah demikian kuat, bahwa dia menderita
karena membantu dirinya menebus aib. ‘Kok masih malu’ Ujar Hindun
menguatkan diri, melihat anak itu tertunduk malu. Hindun berinisiatif
membuka kancing celana, bak menanggalkan baju anaknya yang masih balita
yang berdiri dihadapnnya. Bedanya kalau anaknya setinggi pinggangnya
sehingga dirninya harus membungkuk atau berlutut, anak ini menjulang
tinggi dihadapannya, sehingga Hindun tak perlu membungkuk. Dengan sigap
anton melangkahkan kaki membantu celananya lepas. Tonjolan keras dibalik
celana dalam tidak terlalu jelas terlihat karena terhalang bagian bawah
kemeja. Hindun melanjutkan memeloroti celana dalam itu. …Tuingggg…
teracunglah tongkat keras sianak Ihh… Hindun terpana, baru sekarang
benar-benar disadarinya onderdil anak ini benar-benar onderdil orang
dewasa. ‘Ohhh….pantesan…’ Dirinya segera teringat betapa dahsyatnya
benda itu kemarin mengaduk dirinya. Ohh bukan, dirinya yang mengaduk
benda itu. Anak ini benar-benar tidak mengerti. Dirinya mendadak dilanda
sensasi aneh. Bila tadi niatnya 100% akan mengobati anaknya yang sakit,
sekarang mau tidak mau dadanya berdegup kencang membayangkan alternatif
pengobatan apa yang harus dilakukannya. ‘Ohh ibu…. gimana cara menolong
anak ini, kasihan sekali dia’ benaknya berpikir keras. Glek…, Hindun
menelan ludahnya sendiri terbakar sensasi. Diraihnya tongkat itu,
dicermatinya, betul, tidak disunat, dibelainya lembut ‘Ngilu….’ ‘Tidak
kak…’ ‘Rasanya sih, kamu harus ejakulasi untuk masalah ini’ ‘Eeee…sering
denger sih kak, tapi cuman denger doang, katanya sih muncratin mani,
betul ya kak? ‘Kira-kira demikian’ Pusing Hindun menjelaskan kepada anak
kecil tentang hubungan sex, apa lagi dibawah todongan ‘this big gun’
‘Oooo gitu, saya pernah lihat kawan gosok sendiri anunya, saya pernah
mencoba menirunya, tapi malah sakit dan lecet’ Ujar Anton dengan
kebegoan semaksimal mungkin. ‘Gini deh, coba kakak yang gosok, sini
baring, buka dulu bajunya’ Hindun terdorong bergerak sigap didesak rasa
aneh, menarik anton ke dipan dan mendorongnya rebah, usai menanggalkan
baju. Dirinya ingat beberapa saat berselang menggosok barang suaminya.
‘Eee…iya…iya kak…’Respon Anton dengan malu-malu. Hindun bersimpuh disisi
tubuh remaja yang telanjang telentang, dengan tugu monas menjulang
seakan hendak menggapai langit-langit kamar. Hindun kembali menelan
ludah, dan berdebar-debar dengan niatnya memasturbasi anak ini. Tangan
kanannya meremas batang penis secara perlahan-lahan, biji kemaluannya
dibelai selembut mungkin. Penuh konsentrasi Hindun melakukan pengobatan,
dibelainya, diremas, dibetot, lembut, sedang, keras, sekeras mungkin.
Berbagai teknik dikeluarkannya (padahal tekniknya cuma dua saja lho),
sekian menit berlalu, tidak-ada tanda- tanda perubahan, hanya tongkat
yang mengacung keras. Diliriknya wajah sianak, yang masih tetap lugu,
dengan wajah menunjukkan ketidak- mengertian. Sekian menit berlalu,
Berkali-kali Hindun menelan ludahnya, dirinya mulai terbakar sendiri api
birahi, entah sisa tadi malam, atau karena sekian lama ditodong penis
keras yang menjulang dihadapnya. ‘Bagaimana Ton…’ Hindun sedikit
terengah, ‘Bagaimana apanya kak…’ Anton menjawab lugu, dirinya mulai
berjuang mengendalikan siotong yang mulai merasa tersiksa kenikmatan.
Ayo tong… tahan…tahan….’ katanya dalam hati. ‘Aduh ini anak…. gimana
yahhh…pegel juga nih, wah nggak bisa lama- lama nih…ohh langsung cara
itu saja.’ Gejolak birahi dan tuntutan situasi kondisi, terutama
mepetnya waktu, membuat otaknya memutuskan melakukan pengobatan ekstrim.
‘Kakak coba cara lain yaa…’ ‘Iya kak…’ Dengan satu gerakan cepat dan
indah, Hindun menanggalkan seluruh pakaiannya, eksotis sekali. Telanjang
bulat. Anton terbelalak dibuatnya, terbelalak bernafsu. Hindun bergerak
mengangkangi, merebahkan diri, telungkup diatas tubuh sang remaja,
diletakkannya kejantanan anton dalam jepitan pangkal pahanya, uhhh
terasa sekali mengganjal dalam jepitan pangkal pahanya. ‘Ohhhh hangat
sekali anu anak ini,’ benak Hindun mulai kacau, sudah campur antara niat
pengobatan dan niat birahi. ‘Anton coba, jangan nahan-nahan, kalau enak
bilang ya…’ Hindun mendekap erat, dan berbisik agak parau. Mayakinkan
pasien untuk tabah menahan terapi pengobatan. ‘Kakak baik sekali’, Anton
balas mendekap erat, tangannya mulai menjamahi punggung halus wanita
ini. Membuat bulu-bulu halus disitu merinding. ‘Wuiiii …berhasil…’ Anton
tersenyum menyeringai mulai nampak senyum pornonya. Untung tidak
terlihat Hindun yang wajahnya mendekap dipundak siremaja, mencari
kekuatan. Pangkal paha Hindun mulai menjepit batang keras, dalam gerakan
lambat, mirip gerakan berenang gaya lumba-lumba, kedua pangkal pahanya
memeras keras batang keras si remaja. Tubuhnya didekapkan serapat
mungkin, seolah-olah tidak menginginkan sesuatu menghalangi tubuhnya
yang telanjang membekap tubuh telanjang yang ditindihnya. Hindun
menautkan kedua pergelangan kakinya memantapkan posisi agar pangkal
pahanya mampu menggerus maksimal.
Anton sangat menikmati beban tubuh harum, yang menekannya, tidak perlu
terlalu didekap sudah demikian rapat, mesra. Terasa batang kerasnya
digerus-gerus, bahkan sesekali tersiram kehangatan saat menyentuh
gundukan bukit kecil dipangkal paha itu. ‘Sedap…’ pikirnya dalam hati.
‘Hhhh… anton bagaimana? Ngilu atau bagaimana?’ Dengan sedikit terengah
Hindun mengkonfirmasi terapinya apakah menghasilkan sesuatu.
‘Anton…santai saja…hhh’ Ujarnya sambil pangkal pahanya terus menggerus
‘Hhh… jangan ditahan Ton…, bilang yaa kalau …hhh… enak’ Hindun sendiri
merasakan keenakan saat melakukan terapi tersebut. ‘Ohh…kakak.. aduh
kak…ngilu…tapi kak…terus aja… mulai enak…’ Anton memberikan semangat,
setengah tertawa menikmati tubuh telanjang menggeliat-geliat tengkurap
diatas tubuhnya. ‘Ahhh ngilu..kakak…ahhh..enak..’ Anton sengaja sedikit
menyuarakan kenikmatan yang dirasakannya. Setiap kali Hindun
menggeliatkan pangkal pahanya. ‘Ohh Anton tahan saja ngilunya…hhh’
Hindun mulai menginginkan terapi ini berhasil, karena setiap pangkal
pahanya memeras, kenikmatan semakin menyeruak tubuhnya. ‘Kak aduh…kak
aduh…’ Anton semakin menyemangati, merasakan geliatan tubuh Hindun,
semakin cepat dan dan semakin kuat memeras kejantanannya, sesekali tubuh
Hindun mulai mengejang kenikmatan. ‘Hebat juga ibu ini, perasan pahanya
dahsyat, jauh lebih hebat dari empotan si Nuning’ Pikir Anton, mengenang
cewe anak penjaga warung di kapal fery. ‘Anton…kakak…hhh…tahan’ Hindun
mulai melenguh kenikmatan, semakin berkelojotan. Perasannya semakin
keras dan mulai tidak teratur. Anton tersenyum nakal dan berniat
menggoda, ‘Kak…aduh kak…aduh… agak ngilu..’ ‘Hhhh…sabar Anton…hhh
tahan..shhh..’ Otaknya semakin kacau, mulai lupa, bahwa dirinya yang
seharusnya mengobati anak ini, tapi karena didera kenikmatan birahi
setiap pangkal pahanya menggerus, Hindun semakin buas. Tubuhnya mulai
menggelepar tengkurap, mengupayakan ganjalan keras tongkat itu menggerus
pangkal kewanitaannya, setiap pahanya menjepit. Nafasnya semakin
terengah-engah mengejar kenikmatan. Hindun sudah mulai melupakan niatnya
melakuan pengobatan. ‘Kak..ahhh…kak..ahhh…’ Anton sengaja menyuarakan
sinyal tidak jelas antara ngilu atau enak. ‘Anton…ohh anton….ohhh
shhh….’ pasti anak ini keenakan, pikirannya mengabaikan kemungkinan
bahwa sianak kesakitan, dirinya sudah menggelepar tak terkendali,
pangkal pahanya lebih sering kejang- kejang. Berahinya sudah mengambil
alih peranan otaknya. Tubuhnya sudah menuntut hak kepuasan. “ohhh….anu
anak itu…pasti lebih baik diobati didalam’ birahinya menjustifikasi,
membenarkan kehendaknya. ‘Ton…shhh…coba cara lain….hhh…’ Hindun asal
ucap, membodohi anak ini, mengejar kenikmatan. Tubuhnya bangkit
bersimpuh mengangkang diatas perut siremaja. Mulutnya terbuka
terengah-engah mencari oksigen sebanyak-banyaknya, matanya terpejam
kuat, menahan nikmat. Anton tersenyum dalam hati menatap pemandangan
ini, ‘buset buaya mau dikadalin’ Pemandangan luar biasa sensasional,
seorang ibu alim berkelojotan dengan mata terpejam menggapai-gapai
kenikmatan, dihadapannya, menebarkan bualan tingkat elementer. Hindun
mengangkat pahanya setengah berjongkok seperti di closet, menggapai
tongkat keras, ‘ohhh berabe nggak yah ukurannya’ saat detik- detik
mengarahkan meriam itu kesasaran, lubang kewanitaan yang sudah basah
kuyup dilanda hujan badai, ditekannya sedikit, sleppp masuk. ‘Ohhh…’
sesak dirasakannya, seolah ada yang menyumbat pernafasannya, saat kepala
tongkat dipaksa masuk, nyelip sedikit. ‘Hhhhhh…..egghhh’ Hindun
menghembuskan nafas panjang bagai mengedan saat menekan bagian bawah
perutnya turun kebawah ,’Ohh ibu…gimana nih, …sesak…’Ratapnya dalam
hati’ Sleppp, sepertiga masuk. Menatap si ibu kesulitan, berhenti
ditengah jalan, Anton berupaya menyemangati ‘Kakhhh…ahhh…ngilu…ahh tapi
enak kak…oh kakak…’ Siibu terlecut semangatnya, ‘oh..sudah betul..ohh…
sedikit lagi’ Dia menarik nafas panjang dan mulai menekankan kembali
bagian bawah tubuhnya, sungguh perjuangan berat, sambil mengedan
panjang, tubuhnya mengejang kuat…bless…. Masuk lebih dari dua pertiga.
‘Ohhh….kakak nggak kuat…’ Hindun ambruk diatas tubuh siremaja,
menggelepar. Lemas akibat terasa sedemikian sesak mengganjal
kewanitaanya. Rasanya tak kuat lagi menekan lebih lanjut. Yess, Anton
puas sekali, ibu alim ini menggelepar telanjang. Kepuasan ini bagi anton
lebih dari orgasme, inilah orgasme yang sebenarnya.
Tiba saatnya bagi Anton untuk membalas budi. Dimainkannya teknik
kegelnya, didenyut-denyutkannya batang kemaluan yang tercengkeram keras
diharibaan Hindun. Tanpa badannya bergerak sedikitpun juga.
‘Ohhh..ohhh..ohhh…’ Hindun bagai terlonjak ‘aduh,,, anu itu kok bisa
kayak gitu..ohh’ Benak Hindun kembali kacau, belum reda siksa nikmat
setelah gagal berupaya membenamkan barang keras karena demikian sesak
mengganjal, barang itu seolah meronta-ronta dalam bekapannya. Otot
kemaluannya bekerja keras membekap sitongkat yang seolah-olah berjuang
melepaskan diri. ‘Kak…ngilu..ohh kakak ….’ Anton berpura-pura
menyemangati Iba timbul dalam diri Hindun, mungkin pengobatannya kurang
pas, sekuat tenaga dihalaunya dorongan birahi untuk terus mendekap dan
menggelepar, perlahan tubuhnya mulai beranjak bangkit, hendak menyudahi
kegiatan dokter-dokteran ini. Tampak dibawahnya wajah imut- imut itu
menatapnya, sejuta rasa bergejolak didada Hindun. ‘Nggak pah-apah kak
…hhh, coba lagi…tadi ngilu banget tapi yang terakhir ngilunya kok lain
ya kak?. Tangan Anton mencengeram keras pinggul Hindun mencegah untuk
beranjak. Kembali didenyutkan penisnya ‘Ohhh …betul…ohhh betul…kamu
tidak apa-apa kanhhhh?’ Hindun mendesah, pucuk dicinta ulam tiba,
‘dirinya kembali mengeluh menahan siksa nikmat rontaan penis itu.
Cengkeraman anak itu dipinggulnya, dinilainya akibat reaksi positif
pengobatan yang dilakukannya. Sebentar saja akal sehatnya melenakan
desakan birahi, secepat itu birahinya melonjak, birahinya langsung
mengambil alih kendali, Hindun kembali ambruk dan menggeleparkan diri
diatas tubuh Anton. Tubuhnya menggeliat-geliat menggapai puncak
kenikmatan yang sedari tadi menderanya. Bagian bawah perutnya hanya
mampu terkejang-kejang menahan rontaan penis sang anak. Anton
membantunya dengan cengkeraman kuat dibokongnya, meremas- remasnya
dengan kuat. Lenguhan dan engahan nafas siibu, membuat Anton tahu, bahwa
puncak pendakian si ibu segera tiba. Diselipkan tangan kanannya kedada,
diraihnya susu kiri si ibu, diremasnya dengan kuat. ‘Oh Anton…’
Merasakan sumber kenikmatan lain, didadanya Hindun agak sedikit
mengangkat wajahnya “Kakak…Anton sayang kakak …., enak kak..’
Disambarnya bibir siibu, dilumatnya dengan ganas, tangan kirinya
mencengkeram kuat punggung Hindun menahannya bergerak, tangan kanannya
rapat didadanya membantai payudara yang mengganjal didadanya, dengan
remasan-remasan buas, terkadang mencakar. Denyutan kegelnya
dimaksimalkan. Demikian Anton menghantarkan sang ibu alim kepuncak
pendakiannya. ‘Hemmphhhh,’ Hanya pinggulnya lah yang dapat bergerak
bebas, menjangkau puncak berahi, dengan geleparan liar tak menentu.
‘Ohhhhhhhh….’ Dalam satu desahan melepas nafas panjang, seolah jauh dari
dasar rahimnya, Hindun meledak. Kepalanya melepaskan diri dari sergapan
lumatan sianak, untuk bernafas. Pinggulnya terkejang-kejang, dirinya
terasa kembali terbang keawang-awang, ‘Ohh anak ini, kok baik sekali’,
batinnya berujar merasakan tangan sianak memberinya sensasi kenikmatan
tiada taranya dengan meremasi payudaranya dan mencakari punggunya.
Selang beberapa saat Hindun terengah-engah sambil menggelepar-gelepar
menikmati puncak birahi, Anton dengan tersenyum puas menatap wajah kuyu
menempel dipipinya, matanya terpejam-pejam, sesekali terbuka menampakkan
bola putihnya saja, mulutnya terbuka lebar menahan sesak. Dengan cermat
diamatinya betapa wajah itu berkerenyit menahan derita nikmat, setiap
tangannya meremas keras susunya, atau setiap otot kegelnya bergerak
kuat, atau setiap kali pinggulnya kelojotan.
Anton berpikir, investasi ini dipertahankan atau…. Kalau dia tidak
ejakulasi kemungkinan mengulangi adegan ini sangat besar. Kalau
ejakulasi agak sulit mencari alasan, alasan pengobatan sudah pasti OK
coy. Tapi dirinya mulai tak tahan, sudah dua seri menahan ejakulasi. Uh
spekulasi aja…
Hindun merasakan badai birahi yang melandanya mulai reda, desah nafasnya
mulai teratur, Anton tidak lagi membantai dirinya, tangannya lembut
memijati punggungnya, bak pelatih tinju mengipasi jagoannya untuk segera
bertanding lagi. Tangan kanannya membelai mesra seluruh bokong dan
belahan pantatnya. ‘Ohh ibu….indah sekali….’ keluh Hindun dalam hati,
meresapi. Akal sehatnya mulai kembali, ‘ohhh…anunya masih mengganjal
keras…, bagaimana ini? pengobatan kurang berhasil….aduhhh….aku sudah
lemas sekali…gimana ini?’
‘Anton gimana, belum ya? Wah berapa lama lagi kita berangkat? Hindun
bertanya gundah. ‘Iya kak…mungkin karena waktunya terburu-buru, masih
ada waktu kak 40 menit lagi’ ‘Sudahlah kak, nggak apa-apa barangkali
nanti sembuh sendiri’ ‘Iya tapi Anton tetap sakit, atau gini kakak kasih
nomor telp, barangkali bisa ketemu di Jakarta atau di…, nanti kakak
upayakan nyembuhin lagi, jangan takut, kakak janji” Menawarkan janjinya
mendengar sianak pasrah, Entah memang kasihan ingin ngobatin atau tidak
ingin kehilangan anak kesayangan. ‘Makasih kak, makasih, mmmmmphh’ Anton
mengecup bibir semesra mungkin, seolah mempraktekan apa yang sudah
diajarkan siibu. Perasaan Hindun terbuai oleh ungkapan terima kasih
sianak. Dirasakannya sianak mendekapnya demikian erat. Sesaat hening berlalu
‘Kak, saya mau nanya boleh? ‘Ya sayang…’ Hindun menatap, tangannya
membelai rambut wajah baby face. ‘Ngg tadi kakak berusaha masukin ke
anu…ngg…susah ya…’ ‘Ya sayang… besar juga itumu, agak sesak, kakak takut
kamu semakin ngilu’ Hindun berbohong, Tongkat itu masih nancap sebagian
besar. Memang dirinyalah yang nggak tahan keenakan. ‘Oooo…. kak, saya
punya ide, antara kakak pegang dan masuk’ ‘Mmmmm..gimana…’ tertarik juga
Hindun ‘Kakak cape..’ “Nggak…nggakk…, coba kakak lihat’ rasa ingin
tahunya timbul, ingin tahu apa yang ada dipikiran kesayangannya ini.
Anton membalikkan tubuh yang tengkurap, keduanya berguling hati-hati,
mencegah sitongkat terlepas. Hebat si Anton, behasil membalikkan posisi
tanpa melepas senjatanya. Siibu yang lumayan polos tidak menyadari,
teknik ini tidak mungkin dilakukan oleh pria dengan jam terbang rendah.
Anton dengan kakinya merenggangkan kedua kaki Hindun, membuat sepasang
kakinya berada dalam kangkangan siibu. Tongkatnya masih menancap keras,
walaupun tidak sepenuhnya. Anton sedari tadi berpikir keras, bagaimana
mencapai ejakulasinya tanpa menyakiti, kalau kesakitan pasti hilang nih
investasi. ‘Kak tadi tangan kakak meremas, enak sekali lho…’ Remas lagi
dongg’ Anton bertumpu dikedua tangannya, hanya bagian bawah perut
keduanya yang menyatu. Menatap dengan selugu mungkin. ‘Iya sayang, …’
Hindun tersenyum menatap wajah kesayangannya, dengan mudah tangan kanan
Hindun, menyelip masuk dan menggenggam,’Ihh dari kemarin ini yang selalu
nyusahin’ ujarnya dalam hati. ‘Kakak baik deh…’ Anton berkata semanja
mungkin ‘Kamu yang nakal…Ton’ sedikit genit Hindun menjawab, sekaligus
meremas keras. ‘Kakkk….’ Seolah-olah tak sengaja Anton menekan kuat
bawah perutnya ‘Ohh…’ Hindun kembali tersedak, rahimnya disesaki batang
keras, nikmat. Remasannya lepas ‘Kakak yang nakal….’ Anton menarik pelan
tongkatnya seolah-olah akan dilepaskan. Tak rela si anu pergi, Hindun
segera menangkap sitongkat untuk tidak beranjak, dengan kembali meremas
dengan kuat. ‘Kakkk…’ Kembali Anton bergaya, dengan menekan kuat, tak
sengaja ‘Eghhh….’ tangan Hindun yang meremas, mengganjal si tongkat
untuk amblas lebih jauh, tapi itu sudah lebih dari cukup, membenam
diliang kewanitaannya dan melecut birahi siibu. Merasakan tekanan amblas
berhenti, Hindun menghela nafas, melepas remasannya, Kembali anton
menarik tongkatnya untuk pergi, perlahan sekali. ‘Ohhh ….’Hindun
seolah-olah menemukan permainan baru, menjelang sianu hampir lepas,
tangannya meremas kuat menghalangi pergi, menghimbau masuk kembali.
“Hhhh….’ Anton kembali berusaha menekan kuat, dinding kewanitaan Hindun
dengan batangnya, tapi segera terganjal tangan mungil yang menggengam
batang kerasnya. Saat tekanannya berhenti remasan berhenti. Demikianlah
keduanya menemui permainan baru, Hindun merasa bangga memberikan komando
dengan remasan, yang artinya hujaman di kemaluannya, melepas remasan
artinya menarik mundur. Anton, berpikir, kayaknya bisa nih, hebat juga
remasannya. “Kak…’ ‘Anton…yaa…coba gitu terus…yaaa..terus..ohhh..eghh ‘
Hindun mulai terengah memberikan komando, dengan suara dan sinyal
remasan. Birahinya sudah kembali membara bahkan seolah hendak meminta
penuntasan. Berkali-kali dengan penuh disiplin siremaja mematuhi siibu,
menekan kuat dan menerik perlahan. Hal ini membuat siibu kembali
menggelepar, kali ini dibawah tindasan siremaja. Anton merasakan
kejantanannya mulai berdenyut, mmm ini dia, bisa dilepaskan ‘Anton…’
Tidak tahan Hindun meremas kuat, tidak melepaskan remasannya ‘Kak….’
Anton bertanya menahan tekanannya, yang terganjal tangan lembut yang
menggenggam keras batang kejantanannya, mengganjal untuk masuk lebih
jauh. ‘Hhhh …sebentar sayang’ Tak tahan tangannya pegal, tangan kirinya
dengan cepat menggantikan, mulai segera meremas, dengan tenaga baru.
‘Egghhh…’ Anton segera kembali menghuja perlahan tapi kuat. Rupanya
tangan kiri Hindun tidak selincah tangan kanannya, tangan itu tak
berhenti menggenggam batangnya dengan keras. Sinyal bagi siremaja untuk
tahan menekan. “Kak…’ Anton bertanya ‘Shh…shhh…terus, agak
cepat…ayo…terus, tarik …ohhh..tekan…’ Permainan sedikit berubah, Hindun
memohon hujaman dipercepat, akibat berahi yang makin memuncak, tangan
kananya berganti posisi bagai polisi lalulintas mengarahkan kecepatan
gerak naik turun pinggul siremaja. Anton meningkatkan kediplinannya
menarik dan menghujam sesuai arahan tangan yang berwenang. Oh nikmat
banget, sebagian batangnya menghantami liang kewanitaan siibu alim,
sebagian lagi batangnya diperas habis-habisan. Anton mulai merasakan
titik akhir pendakiannya mendekat. “ohhh..terus…ohh terus…’ Hindun
kembali melenguh keras, tak tahan menerima hantaman yang semakin
bertenaga, dipangkal pahanya, tangan kirinya sedapat-dapatnya bertahan
memeras, menjaganya dari kesesakan yang tak tertahankan, Tangan kanannya
yang tadi menuntun pinggul siremaja menghantam sudah tidak lagi
diperlukan, Anton sudah mulai berlari, menghujam semakin cepat, mengejar
birahi yang sudah sampai keubun-ubun.
Hindun kembali meledak, Ditariknya tubuh dalam dekapannya, dijambaknya
rambut siremaja, digigitnya telinga dengan gemas. Nah ini dia, Anton
sedari tadi menunggu gerakan baru Hindun untuk mendukung ide nakalnya.
‘Kakak …. ohhhh’ Anton berpura-pura menggeliat, kupingnya digigit.
Memberikan sinyal bahwa daerah itu titik rawannya. ‘Oooo…ini toh
kelemahannya…’ Sisa-sisa kesadaran Hindun saat sampai pada puncaknya,
Kembali dihisapnya telinga tersebut. Anton mengambrukkan dirinya ke
tubuh siibu, berpura-pura, ‘hhh…..’ Tentu saja tidak lupa tetap
menghantam dengan kecepatan tinggi. Dalam puncak kenikmatannya dengan
gemas Hindun mengemut separuh telinga itu, ‘Kakggghhh….’ Sudah cukup
alasan bagi Anton, dilepaskannya ledakan ejakulasinya, dengan hantaman
sekuat tenaga, terus dan terus dan terus. ‘Ugh..ughh…ughh…’tubuh mungil
siibu terhentak-hentak menerima badai hujaman sekuat tenaga dari sianak
remaja. Sekuat tenaga tangan kirinya meremas pangkal batang kejantanan
itu, bertahan mati-matian agar batang itu tidak amblas lebih dalam.
Sudah demikian sesak ganjalan yang dirasakannya, rasanya tak mungkin
lagi dirinya bisa menahan siksa kenikmatan bila tongkat itu berhasil
masuk lebih dalam. Saat ledakan siremaja lumayan lama, mungkin lebih
dari tiga puluh kali hujaman sekuat tenaga, yang berusaha masuk lebih
dalam, tetapi digenggam demikian keras oleh tangan mungil yang
mati-matian bertahan, menjadikan sensasi tersendiri bagi Anton. Hindun
merasakan badaipun mereda. ‘Ohhh…kak..tadi Anton diapain….rasanya
seperti disetrum…’ Ujar Anton selugu mungkin, menyatakan bahwa hisapan
ditelinganya itulah yang membuatnya ejakulasi. ‘Hhh…hhh…rasanya kakak
tahu masalahmu sayang’ Ujar Hindun sambil mengatur engahan nafasnya, sok
tahu menganalisa. ‘Ooo…apa…itu kak….’ ‘Sudahlah lain waktu kakak
jelasin, sekarang kakak mau kembali, waktunya mulai mepet’ ‘Bener kak?,
sungguh? Anton dengan mengejap-ngejapkan matanya menagih janji dan
jaminan’ ‘Iya sayang…kakak nggak ingin kamu terus menderita’, dengan
mesra dikecupnya pipi anak itu, penuh kasih’ Hindun berjanji pada
dirinya sendiri, anak ini masih perlu terapi sekali lagi, mmm mungkin
cukup sekali lagi, mmm ahh dua kali mungkin cukup, mmm…., tidak satu
kali saja cukup. Diagnosa dan bujukan nikmat campur baur. Tapi yang
penting dia tidak boleh membuat orang lain menderita karena melindungi
keluarganya dari aib.
supir ……
Usai menurunkan penumpang terakhir diterminal, Ridwan mengarahkan bisnya
ke pool. Anton duduk dikursi disampingnya, tentu saja sudah mengantongi
no HP, telp rumah, alamat dan jadwal selama mudik Ibu Hindun. `Ehh kau,
bagaimana caramu bisa nyuruh ibu itu mau begituan sama aku? “Tenang saja
bang, yang penting, inga-inga’ Wah sial, kadung janji ama nih monyet,
nggak mungkin lah yauww, gue bagi si Wita ama dia, tapi sudah sumpah.
Gimana nih?. Ridwan kebingunan dalam hati, karena ada niatnya menjadikan
Wita simpanannya yang masih berusia 20 tahun sebagai istri mudanya.
Sudah lama dia kawin masih juga belum punya anak, dia berharap kalo si
Wita bunting akan segera dikawini, kalo tidak simpen ajah terus. Wita
Ridwan yang perawanin, dengan janji gombal kerja diloket perusahaan,
tampak sangat setia kepadanya, cocok jadi pendamping, masa gua bagi?
Sebodo amat, lihat nanti, nggak bakalan gua kasih.
Hubungan, Ridwan dengan Wita anak penjaga warung disamping pool, sudah
jadi rahasia umum dikalangan supir, semua supir iri padanya, tapi demi
kode etik, mereka saling menjaga rahasia. Wita yang bisa memperkirakan
jadwal kedatangan Ridwan yang enam hari sekali, segera menyelinap ke
kamar untuk para supir. Pool menyediakan lusinan kamar terutama untuk
supir yang domisilinya bukan dari kota tersebut. `Ehh Ton, kau beresi
dulu semuanya…aku mau setor’ Anton paham maksud supir ini. `Gimana
janjinya bang?’ `Bereslah, tenang saja tapi jangan sekarang, nantilah
kuatur dulu, OK? Eh jagain kakakmu yach, kalau datang cepat kasih kode’
`Ok bang, ingat janji lho’ Anton sebenarnya kurang minat sama Wita yang
menurutnya masih terlalu remaja, Anton sangat suka sama ibu muda,
mungkin ada masalah oedipus complex. Tapi lumayanlah kalau nggak ada,
memang kebetulan investasinya memungkinkan demikian, sudah dapet Hindun,
kemungkinan dapet Wita.
Anton, yang sedang membereskan segala urusan, mulai dari cek barang
ketinggalan, kerusakan, administrasi dll, melihat Kak Ida naik beca
diujung jalan, menuju pool. Idamawati, atau yang dipanggilnya kak Ida
adalah istri Bang Ridwan yang sudah tujuh tahun kawin tapi belum punya
anak. Berusia 31 tahun, suku jawa kelahiran sumatera, kakeknya kuli
kontrak jaman belanda. Cantik keibuan, agak tinggi sekitar 168cm, dengan
postur tubuh menawan, kalau dulu istilahnya Molegh. Dulu sih ramping
tapi setelah berumah tangga menjadi semakin berisi, menjadikan semakin
montok dan menawan. Memang kelebihan para supir adalah bisa memilih
istri dari banyak cewe cantik disepanjang jalan.
Kak Ida cukup baik kepadanya terutama karena Anton sangat rajin, tanpa
disuruh menyelesaikan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tugas
Ridwan. Anton segera menghambur kekamar supir, meneriakkan kode `Bang
Ridwan ada polisi minta setoran’ Buru-buru Ridwan berbenah, baru saja
dia bertempur menggeleparkan Wita satu Ronde. Segera mengenakan baju,
dan lari kedalam bis. Anton melenggang kedepan menjumpai Ida `Anton,
aman dijalan, mana abangmu? Ida sudah mendengar isu santer ulah
suaminya, buru-buru ke pool setelah diinformasikan suaminya sudah
kembali. Hatinya panas, digosok cemburu tapi tak mampu membuktikan
karena hebatnya kaum supir dan kenek menjaga kode etik. `Sukurlah kak,
aman, abang tadi ada dibis sedang ngecek lampu’
Singkat cerita, Ida dan Ridwan kembali bertengkar setibanya dirumah,
kali ini lebih keras, karena Ida menjumpai bekas-bekas pertempuran di
beberapa bagian tubuh suaminya. Seperti biasa, ancaman Ida minta cerai.
Kali ini Ridwan agak terpojok akhirnya mengemukakan alasan, kerinduannya
akan anak. Ida mengancam dia bisa juga nyeleweng, yang balas diancam
akan lelaki itu dibunuh. Setelah mengeluarkan senjata pamungkas kaum
perempuan sesegukan mengancam bunuh diri. Ridwan menawarkan solusi:
`Dik, kita butuh keturunan, ada kemungkinan bibit abang nggak bagus,
demikian juga sebaliknya. Mangkanya abang nyoba kelain perempuan, hati
abang tetap sama adik’ Ida semakin meledak, `Enak aja, kalo nanti
perempuan itu hamil, saya dibuang? `Bukan, gimana kalau abang carikan
bibit buat adik, kalo jadi, abang janji tidak akan nyari perempuan lain’
Terdesak karena ketahuan terpaksa Ridwan mengalah, menurunkan harga
dirinya. “Nggak perlu abang yang nyari, aku bisa sendiri’ Ida menyatakan
dendamnya. “Nggak boleh gitu dik, ini masalah kehormatan, lelaki itu
umumnya anggar jago (penulis: suka pamer), kalo dia bicara meniduri kau,
dimana kuletakkan mukaku, pasti kuhabisi dia’ Pertengkaran reses,
seperti rapt DPR
Lama, Ridwan merenung panjang memikirkan pertengkaran dengan istrinya.
Mendadak dilihatnya Anton masuk, mungkin ada keperluan dari kantor
‘Kenapa Ton’ mengedipkan mata, karena Ida mungkin menguping, maklum
rumahnya tidak besar. ‘LLAJR minta setoran bang, dia marah-marah,
barangkali setoran tadi nggak beres’ kode rahasia mereka, yang artinya
dicari cewe, dalam hal ini Wita. ‘Bilang aja besok, kas sudah tutup’
“Yaa sudah, saya juga bisa ngurus bang, saya talangin duluan,
inga..inga’ Sesuai janji, si Wita akan di ‘urus’ Anton ‘Saya kembali ke
pool ya bang’ “Sompret monyet ini’, Dalam benaknya nggak rela calon
istrinya diembat orang ‘Wah tapi sudah sumpah’. lagipula sebenarnya
besok sudah ada rencana kekampungnya Wita untuk berkenalan dengan
keluarga Wita’. ‘Tunggu sebentar’ Dirinya menghendaki kembali kepool
untuk menyelesaikan unfinished bussines dengna Wita, tapi pertengkaran
tadi lumayan hebat. Ridwan mendadak menemukan solusi’ Bagaimana kalau
monyet ini yang jadi pejantan? Toh anaknya baik, rajin, dikenalnya baik,
pandai menyimpan rahasia, dll’ Ridwan ragu-ragu “Bang, tunggu apa lagi?’
Anton berniat bali ke pool. “Ton tunggu sebentar, ada yang penting, aku
bicara dulu dengan kakakmu’
Ridwan masuk kamar, mendapati istrinya sedang berbaring menangis
sesegukan. ‘Ida… sebenarnya abang sudah lama berpikir, barangkali memang
abang yang kurang sehat sehingga kita tidak punya keturunan. Abang
sungguh-sungguh dengan usul tadi, bahkan sebenarnya sudah punya lama
punya calon, tapi takut adik tersinggung, abang malu sekali dik, bahkan
sudah lama abang menjajagi orang ini, kayaknya dia bersedia’ Ida sebagai
istri yang baik, memahami derita batin suaminya, hatinya tergerak ‘Ida
nurut sama abang, yang penting, Ida jangan disia-siakan’ “Bagaimana
kalau…Anton’ Ida kaget setengah mati ‘Tapi bang dia kan masih kecil’,
bagi Ida, Anton bagai adik kandung suaminya sendiri. ‘Huss, dia sudah
gede, tapi terserah adik, pikirkan matang-matang. Kebetulan dia ada
disini, abang tinggal dulu, biar adik bisa menilai dan menjajagi’ Ridwan
mengarang sekenanya ingin buru-buru kecewe simpenannya, apalagi besok
ada rencana kekampungnya ngelamar, sekaligus nebus hutang sumpahnya
dibis, sukur-sukur Ida bisa bunting ’sekali kayuh empat pulau
terlampaui’. Ridwan beranjak pergi meninggalkan Ida yang masih
bengong.’Kutunggu perkembangannya dari Anton, suruh dia nyari saya nanti’
‘Eh kau, dengan kakakmu saja yachh, jangan macam-macam kau, dia sudah
kubilangi, aku balik ke pool’ Anton ternganga dibuatnya ‘Bang Ridwan
gila ya?’ ‘Sudah diam, yang penting janji ditepati, kita kan cs, saya
akan kekampung Wita, ngelamar, kau atur saja disini, paling cepat 2 hari
lagi cari aku dipool. Oh iya -kau ini sudah lama kumohon bahkan kupaksa
bantu kami punya anak, mulanya kau nggak mau, setelah kuancam pecat
karena ngerusakin bis, baru sekarang kau mau, ngerti? Giliran Anton
Bengong, shock
Tahu suaminya pergi dan ada masih Anton, Ida keluar kamar menyembunyikan
bekas tangisannya. ‘Anton mandi dulu, sebentar kupanaskan masakan’
Menemani Anton makan, seusai mandi, Ida memandangi Anton yang sedang
makan tapi salah tingkah, menunduk terus, Ida memikirkan proposal
suaminya, yah apa boleh buat, yang penting dirinya tidak disia- siakan,
sukur-sukur bisa dapat anak, bahkan dia bertekat, mempelajari rahasia
kesukaan lelaki untuk merebut kembali suaminya dari perempuan lain. “Ton
kamu sudah diberitahu abangmu’ ‘Sudah lama kak tapi Saya menolak, tapi
kemarin gara-gara bikin rusak bis, saya dipaksa abang untuk mau, kalo
tidak dia nyari kenek lain’ Anton mengarang cerita sesuai petunjuk’
‘Jahat sekali abangmu itu’ Sahut Ida dengan gemas, tetapi mulai menyukai
proposal ini, karena tahu Anton sebenarnya tidak mau, bahkan sampai mau
dipecat, merasa sependeritaan. Memandang wajah kekanak-kanakan yang
tertunduk malu’ batin Ida berkata ‘Mudah-mudahan dia agak dewasa
sehingga bisa mengerti urusan orang dewasa’
Usai makan, ‘Anton, siabang suka maen cewe ya?, sudah nggak usah
pura-pura, kakak cuma mau tahu, siabang kesukaannya gimana, barangkali
kakak bisa belajar, sehingga dia bisa betah dirumah’ ‘Mana saya ngerti
kak, kerja saya kan jagain bis, sedetik pun nggak boleh ninggalin’
“Ayolah Ton, pasti antar supir sering cerita, gimana main perempuan.
Atau gini aja deh apa yang Anton tahu tentang hobi supir itu’ ‘Iya sih
saya sering denger mereka cerita aneh-aneh, yang istilahnya pun aneh!
“Apa ton,’ “Banyak, misalnya Mandi kucing, belah bambu, enamsembilan,
blowjob, teratai, duduk amazon, cunning, felatio, doggy, snake, kelinci’
‘Wah apaaan tuh’ Ida hanya tahu bersetubuh dengan cara biasa (Penulis:
misssionaris) , Ridwan nggak pernah macam-macam pada dirinya. “Mana saya
tau kak, dijelasin berkali-kali juga nggak ngerti’ “Coba yang kamu inget
apa’ ‘Teratai, karena pernah saya lihat dipraktekkan, Cunning nyiumin
anu cewe’
‘Ton coba praktekkan yang kamu tahu’ ‘Wah..nggak ngerti kak,’ Anton
kembali mengeluarkan keahlian aktingnya ‘Alaa, kakak mungkin tahu tapi
istilahnya yang asing’ Ida mengambil inisiatif, merasa orang dewasa.
Anak ini mungkin bisa membantu mempelajari rahasia lelaki, ya paling
tidak jadi boneka sungguhan. Ida beranjak ke sofa “Ayo Ton, mari sini’
Ida mendesak melihat Anton tidak juga bergerak, ‘Err…gimana yaa’ Anton
beranjak menghampiri ‘Kakak yang ngatur yaa? Anton bersimpuh serong
dihadapan Ida, yang duduk disofa. Anton pura-pura malu membelai betis,
dirasakannya kulit halus dan lembut. Belaiannya naik keatas, menyentuh
lutut, dirasakannya bulu-bulu merinding. Ida menarik dasternya sedikit
keatas, menampakkan sebagian pahanya, mengundang Anton membelai lebih
jauh. Belaiannya naik sedikit keatas, berputar-putar, kadang sedikit
memijit.Kemana tangan Anton meraba dirasakan bulu-bulu halus tegak
merinding. Anton yang pura-pura menunduk mencoba melirik keatas,
dilihatnya wajah ayu yang tegang, sambil sedikit menggigit bibirnya.
Anton bertahan meraba di wilayah paha yang terbuka, sedangkan yang masih
tertutup daster tidak disentuhnya. Ida yang kini disentuh bukan suaminya
sudah berdebar-debar, walaupun otaknya menyatakan ah anak kecil ini,
tetapi sensasi yang ditimbulkan lebih dahsyat daripada dibelai suaminya
sendiri. Ida menahan diri untuk tidak bergerak. Agak lama dirasakanya
tangan itu hanya berkutat di paha sedikit diatas lututnya, tampaknya
anak kecil ini benar-benar takut pada dirinya. Untuk mendorong
semangatnya Ida kembali menarik kembali keatas dasternya, menampakkan
sedikit celana dalamnya, mengundang tangan itu maju lebih berani. Anton
mematuhi instruksi tak langsung itu, dengan berdisiplin tangannya hanya
membelai sebatas yang diijinkan. Walaupun dibatasi, belaian dipangkal
pahanya sudah menimbulkan rangsangan dahsyat, yang ditahannya setengah
mati. Apalagi saat tangan itu menyentuh sangat dekat kepangkal pahanya,
memaksa Ida menahan nafasnya. ‘Aduh anak ini benar-benar penakut’ kok
setiap kali harus didorong. Dibelainya rambut Anton, seolah ibu
mencurahkan kasihsayang kepada anaknya,dikecupnya ubun-ubun anak kecil
itu, didekapnya dipipinya, membuat sedikit menarik kepala Anton semakin
mendekat. Membawa bibir anton menyentuh paha telanjang. Anton tidak
menyia-nyiakan kondisi itu, dikecupnya paha telanjang itu, dikecupnya
disepanjang daerah yang diijinkan, sesekali dijilat, sesekali digigit
lembut. Tangannya tidak alpa melaksanakan tugasnya melakukan survei
diseluruh kulit mulus yang terpampang. Ida menahan diri sekuat tenaga
atas rangsangan yang muncul, didekapnya kepala Anton kuat-kuat sebagai
pelampiasan nikmat yang timbul.
Sudah menjadi tabiat Ida, keyakinannya sebagai wanita baik-baik
menyatakan amat tidak pantas istri berlaku seperti perempuan jalang yang
binal. Bagi Ida, istri yang baik adalah patuh pada suami dan sopan dalam
segala hal, termasuk dalam urusan ranjang. Setiap disetubuhi Ridwan Ida
selalu mempertahankan sikap wanita alim, menahan diri tidak terlalu
menunjukkan gairahnya. Demikian juga kali ini, menerima rangsangan hebat
dari Anton, sekuat tenaga tidak menunjukkan gejolak birahinya, terlatih
sekian lama, dirangsang belaian dan kecupan, Ida masih mampu menahan
diri untuk tidak menggelinjang. Tetapi bulu-bulu yang merinding, nafas
yang tertahan-tahan, pejaman matanya, menunjukkan kondisi sebenarnya.
Anton berpikir dalam hati ‘Wah kak Ida ini kelakuannya kaya frigid, tapi
sebenarnya nggak tuh buktinya merinding dan nafasnya terganggu, perlu
diberi pencerahan nih’ ‘Kak Ida nggak enak diraba-raba yah?’ “Tidak Ton,
enak, kenapa? ‘Oooo…, kalo dengar supir-supir ngomong, termasuk juga
abang, mereka sangat menyukai perempuan yang bergairah, tapi nggak pura-
pura. Idola mereka adalah perempuan yang sangat bergairah kalau
dirangsang, julukan bagi perempuan yang susah bergairah adalah ‘gedebong
pisang’ kalo yang disukai ‘kuda binal’ disenggol dikit ngelonjak kaya
kuda’ ‘Jadi Bang Ridwan suka yang bergairah?’ tersadar Ida atas gayanya
selama ini yang makah sekuat tenaga tidak menunjukkan gairah’. ‘Iya kak,
kalo mau disenengin bang Ridwan, kakak jangan menahan diri, natural aja’
Anton pura-pura sok tahu. ‘Masa sih?’ “Iya, mereka sangat bangga bisa
menaklukan wanita, istilahnya dua- satu, tiga-satu, kalau seri sih nggak
seru. Semakin sering cewe takluk mereka semakin senang’ ‘Ooo, jadi cewe
yang disukai abangmu yang sangat bergiarah’ ‘Iya, semakin cewe puas,
puas berkali-kali semakin abang suka, tapi apa itu puas saya nggak
ngerti’ Anton mempertahankan kebegoannya. ‘Ton, kakak rupanya salah
selama ini, apa itu yangg…, ah yang penting sekarang kakak ngerti, kamu
bantuin kakak belajar ya?, apalagi Ton’ ‘Apa lagi yah..eee… ya..itu,
pokoknya kakak harus berusaha puas terus-terusan’ ‘Iya Ton’ Diraihnya
tangan siremaja, dibimbingnya membelai pahanya ‘Mmmmm…’ Ida berusaha
lepas. Bila sedari tadi, Ida duduk diujung sofa, karena tegang, sekarang
mulai rileks, agak bersandar disofa, tangannya membelai rambut. Anton
menyadari kuliah malamnya berhasil, kembali meraba dan mengecup. Tapi
sekarang agak beda hasilnya, setiap kecupan atau jilatan mulai
membuahkan desahan atau gerakan kaki. Desahan atau gerakan yang
menghimbau dirinya bergerak lebih berani. Ida sudah menarik dasternya
jauh keatas, memampangkan wilayah segitiga pangkal pahanya yang sangat
menggairahkan mata Anton.
Anton semakin maju, terkadang jemarinya menekan pangkal paha Ida,
menggosok disepanjang garis celana dalam, sesekali mencubitnya, yang
membuat wanita itu menggelinjang. Berkali-kali dibusapnya rambut- rambut
yang mencuat halus dari balik CD. Kenikmatan mulai tiba menghampiri.
‘Hhh…Ton coba dong yang tadi kamu sebutkan tadi’ Ida memerintahkan
siremaja menghapus rasa takutnya, tidak sabar menanti siremaja bergerak
agresif. ‘Saya nggak yakin kak, dan eee…eee….bajunya…’Tetap
mempertahankan bego, Anton sedikit mengingatkan. Ida sudah membulatkan
tekad melaksanakan proposal suaminya sekaligus belajar untuk lebih
disukai suaminya, berdiri mengunci pintu, mematikan lampu. Berdiri
disisi Anton, Ida menanggalkan dasternya, sedikit ragu ditanggalkannya
bra dan cdnya. Mengurangi malu Ida mendekap tubuh siremaja yang masih
bersimpuh menatap setiap gerakan dirinya, dibenamkan wajah Anton
keperutnya. Sianak membalas dekapan dengan sama hangatnya, bahkan
tangannya seolah tidak sengaja mencengkeram bokong, belahan pantat.
Anton sudah bertekad dari tadi untuk mempertahankan persepsi Ida akan
keluguan dirinya. Dikecupnya perut telanjang sang kakak, dibelainya
pangkal paha bagian belakang, dan menyentuh menikmati hangatnya daging
montok disana. Dengan sabar kedua tangannya membelai sekujur paha
telanjang sang kakak, memaksanya mendesah, dan mendekap semakin erat.
Ida ingat pelajaran tadi,dia tidak menahan diri, ‘Ton…enak Ton…mmm…’
Agak lega dirinya mengakui rasa nikmat, dirinya semakin rileks.
Dijatuhkan dirinya kesofa, setengah bersandar, menyeret wajah anton
terbenam di gundukan bukit yang dihiasi lebatnya bulu pepohonan,
mengharapkan daerah pangkal pahanya untuk kembali dikecup. Anton tidak
menyia-nyiakan undangan ini. Dia mulai sedikit-sedkit mengeluarkan
keahliannya, sambil tetap bersimpuh, direnggangkannya kedua paha,
mengangkang. Tubuhnya masuk kedalam kangkangan paha si kakak, memudahkan
dirinya untuk mulai melakukan pembantaian. Lidahnya mulai menjelajahi
sekujur paha kiri bagian dalam, mulai dari lutut naik keatas, menyentuh
pangkal ppaha berbalik turun, berulang- ulang. Tangan kanannya memegang
lutut agar tetap mengangkang lebar. Tangan kirinya mulai buas, meremas
paha kanan, sesekali menggaruknya. ‘Ohhh…’ Ida tersentak setiap lidah
itu menghampiri pangkal pahanya. Berkali-kali tersentak dan melenguh.
Anton berdisiplin hanya menjarah area diluar liang kewanitaan. Deraan
nikmat semakin membakar dirinya, dengan menguatkan diri, Ida
mencengkeram rambut Anton dengan kedua tangannya, dan membenamkan wajah
itu agar menyentuh daerah kewanitaannya. Kepala itu ditahannya untuk
tidak lagi pergi kemana-mana, seolah berkata, cukup sudah kau merantau.
Anton menyambutnya dengan serangan berat, lidahnya mulai membajak bibir
kemaluan sang kakak, menjilat dan menghisap’ ‘Ahhhh….Anton….’ Ingat
harus tetap bego ‘Kak kenapa sakit?’ Anton mendadak menghentikan
serangannya’ ‘Ohhh…tidak Ton… enak… terus Ton..’ Anton kembali menyerang
dengan lidah kasarnya membajak sisi dalam bibir kewanitaan, membuat
pinggul itu meronta menerima nikmat. Ida mulai membiarkan tubuhnya
menggelinjang setiap didera kenikmatan.’Ohhh,,,sayang…ohhh…’Sedikit-demi
sedikit Ida menyadari semakin ia merespon, reaksi deraan nikmatnya
semakin berlipat. Nafas Ida sudah terengah-engah tidak keruan,
pinggulnya sudah bergejolak tak terkendali, dengan cepat birahinya
menjelang puncak pendakian. Anton dengan sigap mengimbanginya dengan
mulai menjulurkan lidahnya dalam-dalam ke liang kewanitaan.
‘Shhh…shhh…shhh…’Ida mengeluh tak kuat menahan, siksa birahi, setiap
lidah kasar itu menyeruak rongga kewanitaannya, kekasaran lidah
menimbulkan efek ganda tak terhanankan. Anton terpaksa mulai menahan
kelojotan pinggul Ida yang semakin kuat tak terkendali. Anton hapal
tanda ini, sang kakak menjelang tiba di puncak. Segera diangkatnya kedua
paha sang kakak, ke atas bahunya, membuat pinggul itu terangkat keatas
dengan tubuh selonjor di sofa. Punggungnya tertekuk disandaran sofa,
hanya atas pinggulnya yang masih menumpu di dudukan sofa. Berat badannya
menumpang di bahu siremajai. Ida mencari- cari pegangan diatas sandanra
sofa. Anton menarik nafas dalam-dalam menyiapkan diri untuk melakukan
pembantaian. Lidahnya mencari klit, dihajarnya seperti orang menjilat es
krim, dengan jilatan panjang dan bertenaga, berulang-ulang ‘Aghhh….’ Ida
menggelepar. Pinggulnya sulit menggelepar, dia hanya mampu mengejang
kuat, pahanya hanya mampu dijepitkan kuat kuat dileher siremaja.
‘Nggggggg…..hhhhh’ Ida meledak, saat Anton semakin cepat menjilati
klitnya. Seluruh tubuhnya mengejang keras, dihajar puncak kenikmatan.
Tangannya mencengkeram keras ujung sofa menahan ledakan yang merasuki
seluruh tubuh, pahanya menjepit dahsyat leher siremaja. Dengan lihai,
Anton semakin buas melakukan pembantaian, lidahnya dcucukan sedalam-
dalamnya keliang kewanitaan, perlahan tetapi kuat menekan dinding-
dinding kewanitaan. Lidahnya merasakan betapa panasnya liang itu,
walaupun dibanjiri cairan kewanitaan yang sedari tadi sudah luber
kemana-mana. Ida sudah diawang-awang, tidak disadarinya tubuhnya
kelojotan kesisi kiri, bak penggulat yang hendak membanting musuhnya
dengan jepitan dileher, mengejang kuat. Anton kembali merasakan puas
menyaksikan seorang wanita takluk diujung lidahnya. Dengan perlahan
namun penuh tenaga lidah itu terus mengayuhkan birahi si wanita agar
tetap dipuncak nikmat. Entah berapa lama berselang, tubuh Ida melemas
dan lunglai tak berdaya, tersengal-sengal. ‘Ohhh anton, enak sekali
sayang..hhh sudah…sudah…’ Ida ingat untuk tidak menahan diri, dinyatakan
kepuasannya secara terbuka. ‘Iya kak…’ Anton beringsut menurunkan kedua
paha telanjang itu dari bahunya, membuat siwanita terlonjor lemas
dilantai, bersandar di kaki sofa. Anton duduk disisinya.
‘Anton…mmmphhhhh’ Ida mengecup bibir sianak dengan penuh kasih- sayang,
berterima kasih dituntun sekian lama merasakan deraan nikmat sekaligus
mengajarinya menjadi istri yang disukai suami.
Setelah sekian lama dalam keheningan’ Ida berhasil meredakan nafasnya
‘Ton, tadi kakak sudah puas sekali, terus apalagi yaa yang disukai kaum
lelaki? ‘Ooooo tadi itu kakak puas, saya kira kesakitan, sudah ketakutan
dari tadi’ Konsisten bego. ‘Tidak Ton, tadi enak…sekali tidak nyangka
kamu bisa begitu’ ‘Itu yang salah satu saya tahu cunning, nyiumin anu
cewe, habis kalo dengerin ceritanya paling gampang, cuma cium dan jilat’
‘Wah berarti kamu hebat dong, hanya dengar teori langsung bisa praktek,
terus gimana lagi?’ ‘Ngg kayaknya sih, kakak nggak boleh berhenti
puasnya, harus berusaha mencapai puas lagi, gituh’ ‘Gimana?’ ‘Kakak
meraba-raba dengan hot, tetapi dengan niat supaya silelaki kembali
galak’ Bingung Ida mendengarnya ‘Maksudnya gimana?’ ‘Yaa begitu…mana
saya ngerti!’ ‘Tadi satu lagi apa, teratai? coba lagi, pasti kamu bisa,
tadi saja bisa, ayo kita sama belajar, ayo Ton, terus gimana’ “oh
iya…lupa, kakak harus agresip, jangan pasip’ ‘Maksudnya?’ ‘Nggak tau..’
‘Ooo mungkin…’ Ida menyadari Anton masih mengenakan bajunya. Jemarinya
mulai meraba dan melepaskan satu persatu kancin baju ‘Ton lepas ton’ Ida
naik, duduk disofa, jarinya mengarah resleting celana, dibukanya
ditariknya remaja itu agar berdiri, dipelorotinnya celana, dengan cepat
jemarinya menurunkan cd Anton. Mendadak Ida merasa lega sudah sama-sama
telanjang. Segera tampak dalam keremanangan alat vital siremaja yang
masih layu. ‘Kalau teratai, yang saya lihat, ngggg, sini kakak duduk
saya pangku’. Anton duduk menyandarkan diri disandaran sofa, dituntun
kakaknya duduk menyamping dipangkuannya. Segera dirasakannya Kehangatan
pantat Ida menekan pangkal kemaluannya. Pundak kanan Ida menempel di
dada siremaja, kedua tangannya merangkul dibelakang kepala. Kaki Ida
rapat selonjor sejajar sofa. Tampaklah seorang Ibu muda yang ayu dan
seksi duduk menyamping dipangkuan remaja, keremangan malam dengan sinar
seadanya membuat kulit ibu yang putih lembut bak berpendar lembut, indah
menawan. Posisi ini, membawa tangan kiri Anton bebas membelai sekujur
punggung, tangan kanannya bebas menjamah bagian depan tubuh Ida.
Didekapnya tubuh telanjang itu dengan mesra. Dikecupnya pipi halus wajah
yang cantik, dihembuskan nafasnya di teliga, diciuminya wilayah itu,
membawa Ida menggeliat geli ‘Mmmm…’ Ida mempraktekkan kata agresif,
dicarinya bibir anton, dilumatnya, dihisapnya dalam-dalam. ‘Kalo ini sih
Ida sudah lebih dari lulus’ ‘Eee kak, saya pegang ya! Anton
mempertontonkan kedunguannya. ‘Iya sayang, ayo jangan-ragu-ragu’ Yakin
bahwa sang kakak sudah ‘pengungkapan penuh’ anton melepaskan
kebuasannya. Membiarkan bibirnya dilumat, tangan anton, memulai perang
gerilya. Tangan kirinya membelai ketelanjangan punggung, menjalar mulai
dari leher menjelajah sampai ke belahan pantat. Tangan kanan mulai
membantai payudara montok. Payudara ini sedari tadi sangat
mengganggunya, menantang untuk minta dijamah, tetapi demi mempertahankan
keluguan Anton mendisiplinkan diri menahan menyentuh sepasang bukit
kenyal yang sangat menggairahkan. Dilepaskan kegemasannya dengan lembut
dan bertenaga diremasnya sebelah susu itu, yang langsung membuat Ida
disentak kembali rasa. Posisi teratai dimana Ida yang duduk dipangku
dengan sebelah sisi tubuhnya rapat didada Anton, membuat seluruh
kemolegan tubuh depannya terbuka bebas terhadap ancaman tangan kanan
Anton. Tanpa tadeng aling- aling lagi tangan anton menjarah semua daerah
suci wanita ini. Tangan kasarnya dengan buas mempermainkan kedua bukit
montok seenaknya. Memeras, mencakar, memelintir pentil. Ida tidak sadar
memejamkan matanya kuat-kuat menahan rasa nikmat yang kembali mendera
dilampiaskannya dengan mendekap kepala Anak ini dengan erat. Kembali Ida
sekuat tenaga menahan desahannya, walaupun tubuhnya sudah kembali
menggelinjang. ‘Kak sakit?’ Anton masih pura-pura bego, kembali
mengingatkan materi kuliah ‘Ohhh…nggak Ton…ohh ….enak…enak…’ ‘Kalau
enak, kakak kasih tahu biar saya nggak khawatir, kan saya nggak ngerti
kak? Kalo gini sakit nggak…’Kembali Anton memeras payudara itu’ ‘Hhhhh
enak Ton…terus ton…terus…ahh’ Ida melepaskan desah nikmatnya ‘Yang
keras…ahhh…yaaa’ Sesekali memberi komando. Ida kembali menyadari dengan
melepas reaksi tubuhnya atas kenikmatan yang mendera, baik itu dengan
mengerang maupun kata-kata, terasa sangat ..gimana yahh… sangat seksi,
serasa mengharubiru sanubari kewanitaannya yang terdalam. Urutan,
cakaran dipunggung, dan remasan, belaian dipayudara kembali membakar api
birahi. Nafas Ida mulai tersengal-sengal, tubuhnya menggelinjang semakin
sering. Anton meningkatkan intensitas aktivitasnya, dengan sedikit
menundukkan kepala, mulutnya menyergap pentil yang tegak menantang
dengan indah, sembari tangan kanannya menyiksa payudara kiri. ‘Shh….’
Ida melenguh disergap deraan nikmat yang makin tinggi. “Sayang…ohh…’
Anton sudah menginginkan tindakan lebih jauh, tetapi tetap menahan diri,
menunggu komando. ‘Gimana yah caranya supaya seolah-olah disuruh’ Tangan
kanannya turun kebawah, diselipkannya sela pangkal paha yang terkatup
rapat. Ujung jarinya meraba bukit kecil yang dihiasi bulu- bulu halus
yang terasa lembab ditangannya. Anton membagi wilayah serangnya,
bibirnya berkonsentrasi menghajar seputar payudara yang indah menantang,
tangan kanannya beralih pada pangkal kemaluan. Didera nikmat, sekujur
tubuhnya merindukan penuntasan lebih dalam. Ida mulai tidak sabar
menunggu, tapi dia tidak tahu harus bilang apa. Anton pun demikian
menahan diri. ‘uhh…’ Ida terjengkit saat dirasakannya sebagian jemari
menelusup liang pertahannya, ‘Anton…ya..gitu ton…ohh’ Desahannya
menyemangati anak ini supaya tidak ragu-ragu menyeruak kedalam dirinya.
Sekian lama menerima hajaran nikmat, Ida tidak tahan lagi
‘Sayang…ayo..sayang…ohhh…’ Anton bersorak dalam hati mendengar perintah
ini ‘OK baby..’ Sedari tadi dirasakannya kejantannya sudah tegang
menuntut penugasan, tapi ditindas hingga tertekuk, akibat pantat Ida
yang duduk dipangkuan. ‘Iya kak…gimana yaa?, ee..coba kakak naik
sedikit’ Anton mengangkat sedikit bokong yang indah itu, Tuinggg..
membebaskan tongkanya mengacung tegak menantang pantat yang sedari tadi
mendindasnya. Ida mengangkat tubuhnya merespon, menurut menggeser
pantatnya kesatu arah, sampai dirasakannya segumpal daging keras
menenmpel dimulut liang kewanitaanya. ‘Ohhh ini dia…’ dirinya menyadari
akan dimasuki benda asing selain milik suaminya sendiri, tak terasa
dadanya berdebar sangat keras, menanti apa yang akan terjadi, gerakannya
berhenti, Tangan Anton yang tadi mengangkat bokongnya, sekarang
mencengekram, menuntun Ida menurunkan badannya. Ida tersadar, ‘oh iya
betul…begitu seharusnya’ bergumam dalam hati, dengan birahi yang membara
diturunkan tubuhnya menekan daging keras yang mengganjal dimulut
kemaluannya. Sepp, masuk sedikit. Nyangkut, terganjal, ohh hangat sekali
anu si Anton. Yess.. anton bersorak dalam hati, ‘Kak…’ Anak itu
mendesiskan kegundahannya. ‘Uhhh Anton…tahan yaaa” Anton geli mendengar
sikakak mengkhawatirkan dirinya. Ida menarik nafas, Ditekannya kembali
bagian bawah tubuhnya dengan kuat, slepp, berhasil memaksa daging itu
memasuki kedalaman tubuhnya. ‘Ohh terasa menyesakan, daging itu kenyal
menyumpat liang keanitaannya membuatnya sesak susah bernafas. Walaupun
sesak, Ida merasakan lega kerinduannya terobati. ‘Kakak…aaaa…’ pura-pura
Anton menyuarakan penderitaannya. ‘Hhhhh…sabar sayang…hhh’ ditengah
kesesakannya didera ganjalan keras, Ida memohon anak itu menahan
kesakitannya. Tubuhnya bergetar berusaha menekan lebih keras dengan
mengedan panjang. Berhasil amblas sebagian besar. Ida terengah-engah
kehabisan nafas, tidak kuat lagi untuk menekan lebih lanjut, seolah-olah
tongkat keras itu mati-matian menolak, dibenamkan lebih lanjut. Tapi
sebenarnya kewanitaannya belum sepenuhnya menyesuaikan diri, terasa
penuh menyumpal. Ditambah lagi posisi pahanya yang rapat membuat
hambatan semakin kuat.
Mencari pegangan dileher Anton, Ida mulai memacu diri, seolah menunggang
kuda ala wanita bangsawan dengan kedua kaki terjuntai disisi kiri.
Sedikit saja pinggulnya bergerak menghasilkan ledakan birahi yang hebat.
Memaksanya merintih. Tertatih-tatih Ida memacu diri menunggangi
kejantanan Anton, terangah- engah nafasnya, saat kewanitaannya dalam
kesesakan berupaya merejam tongkat yang terpancang disana. Pinggulnya
diputar sekuat tenaga, sesekali mengejan, menahan derita nikmat.
‘Shhh…shhh….shhh…’ perlahan tapi pasti kewanitaanya mampu mengerami
kerasnya kejantanan siremaja. Dengan semangat luar biasa akibat ledakan
birahi kewanitaannya akhirnya mulai mampu menandingi keperkasaan sang
tongkat. Ida memutar pinggulnya, bila dibandingkan dengan alu menghantam
lumpang, atau ulegan menggerus atau menguleg cobek, yang tampak adalah
lumpang atau cobeg kemaluannya memutar atau menguleg alu kejantanan
Anton. “Anton sudah merem melek sedari tadi sejak kejantanannya berhasil
dibenamkan. Sekarang dirinya santai saja menikmati gerusan atau ulegan
kewanitaan si kakak. Dengan mesra didekapnya tubuh telanjang erat-erat
seolah memberi semangat, ‘ayo uleg…ayu uleg terus…’ Sesekali
ditimpalinya dengan keluhan manja, yang terdengar bagai nyanyian pemompa
semangat Ida yang memang sudah kepayahan dari tadi akibat dirinya
menerima desakan kajantanan.
Sesaat berjuang menguleg alu kejantanan dengan kewanitaannya, Ida
merasakan dirinya sangat lemas, serasa lepas sendi-sendi seluruh
tubuhnya, memaksa kewanitaannya menggerus tongkat yang perkasa. Tetapi
karena nikmat yang dihasilkan setiap geliatan pinggulnya mendorongnya
tetap memacu kenikmatan. Lemas nian rasanya, tapi oh…oh..oh…
Ditepi puncak pendakiannya dalam sisa-sisa tenaganya, Ida menyentak-
nyentakkan dengan buas, pinggulnya kekiri kekanan, menyeret tonggak itu
merebah kekiri atau kekanan, sekaligus menghasilkan gesekan keras batang
kajantanan dengan otot dinding kemaluannya. Dirinya tidak mampu
mengamblaskan lebih jauh tongkat keras itu, tak kuat rasanya menahan
kesesakan. Anton berdesis-desis keenakan merasakan gilasan
dikemaluannya. Tetapi ebih dari itu dirinya sangat senang memangku
sesosok tubuh indah telanjang yang kelojotan berjuang menggapai nikmat,
dengan menggeliat- geliat memeras kejantanannya dengan kewanitaannya.
Anton tidak perlu bekerja keras, dirinya cukup memangku dan memberikan
dekapan mesra, membiarkan sendiri wanita itu tersengal- sengal menggapai
puncak kenikmatannya.
Hingga akhirnya, ‘Hhhhh Tonhhhhh……..’ Dengan setengah menjerit panjang
dan parau, Ida kembali meledak dalam luapan kenikmatan yang mengharubiru
seluruh sel-sel daam tubuhnya. Sensasi yang luar biasa, mungkin dia
belum pernah mengalami sensasi ini seumur hidupnya. Tubuhnya loyo ambruk
dalam dekapan sianak, yang dengan penuh kasih memberikan dorongan semangat.
Dalam Mengarungi deraan nikmat dipuncak birahi, Ida merasakan kejantanan
siremaja yang semakin kokoh tertanam, sekarang seolah- olah mengejek si
liang kemaluan yang telah takluk, dengan berkedut- kedut. Anton dengan
teknik kegelnya, membimbing kakaknya tetap bertahan dalam orgasmenya
melalui denyutan-denyutan kejantanannya. Bagi Ida yang setengah mati
liang kewanitaannya disesaki sitongkat jantan, kedutan itu bagai memeras
dari dalam seluruh dinding kewanitaanya. Ida hanya mampu meresapi nikmat
orgasme berkepanjangan dengan terengah-engah mendekap tubuh seremaja.
Anton yang tengah mempelajari teknik sex Tao, merasakan puncak kepuasan
saat Ida menarungi orgasmenya yang panjang. Anton tidak memerlukan
ejakulasi untuk itu. Kebahagiaan wanita telanjang yang didekapnya adalah
kepuasannya. Dinikmatinya berlama-lama denyutan kejantanannya dalam
kehangatan kewanitaan. Dengan penuh rasa empati kembali didekapnya tubuh
telanjang Ida dalam pangkuannya, seolah-olah berbisik, ayo istirahat sayang
Tak rela melepaskan keindahan, Ida terlena, dan tertidur, telanjang
dalam pangkuan siremaja. Anton dengan puas menikmati hal tersebut,
menikmati setiap senti kulitnya yang bersentuhan dengan tubuh telanjang.
Sampai pagi.
Seminggu dikampung, Indro telah diperkenalkan ke seluruh keluarga besar
Hindun. Hindun bangga karena banyak yang mengagumi suaminya yang
berkududukan lumayan kerja dikantoran di Jakarta. Bahkan Ada beberapa
yang meminta bantuan anak atau keponakannya dibantu dicarikan kerja di
Jakarta. Indro tak kuasa menolak, bahkan terlajur menyanggupi membantu
Tara seorang keponakannya, yang sudah lulus D3 ekonomi tiga tahun lebih
tapi tidak juga memperoleh kerja. Akhirnya diputuskan Tara ikut ke
Jakarta, setelah mudik. Tara cukup ayu menawan, sehingga menjadi alasan
Indro membawanya, untuk diupayakan melamar sebagai resepsionis di
kantornya. Kalo penampilan kurang menarik, sulit untuk jadi petugas
front office. Awalnya Hindun senang saja Indro bisa menolong sanak
keluarganya, Orang tua Tara sepupu dekatnya sangat berterima kasih dan
memohon padanya agar membimbing gadis itu sebagai ganti orang tua.
Suatu saat Indro sekeluarga melancong ke air terjun yang berjarak 6km
dari kampung, Tara sebagai penunjuk jalan. Ternyata menjelang tiba
dilokasi kedua anaknya sudah kelelahan dan tidak melanjutkan ke lokasi,
karena harus sedikit memanjat. Indro yang merasa tanggung memilih
meneruskan perjalanan bersama Tara. Hindun menemani kedua anaknya
bermain air disungai. Kembali dari lokasi air terjun perasaan Hindun
tidak enak, dia menduga terjadi sesuatu diantara keduanya, tapi
dipendamnya erat- erat, karena tidak ada bukti, apalagi keduanya
menunjukkan sikap yang wajar. Hindun berpikir keras, bagaimana mencegah
bibit bencana ini. Dirinya kadung sudah janji, tapi tinggal bersama
dengan anak gadis yang demikian ayu, sedikit banyak merupakan potensi
keretakan rumah tangga. Hindun teringat Anton dan Pak supir. Kesan
Hindun kepada keduanya sangat baik, keduanya telah menolong dirinya
terhindar dari aib. Apakah mereka bisa meberi saran? Timbul masalah,
Tara tidak punya tiket, dan sangat sulit mencari tiket dadakan saat lebaran.
Melalui percakapan di HP, Hindun dengan penuh perhatian menanyakan
‘kesehatan’ Anton, yang dijawab dengan geli ‘Sudah banyak sembuhnya’.
Hindun sangat berharap bisa mengulangi terapi, sabagai rasa tanggung
jawabnya. Hindun juga mencurahkan masalah, kekhawatiran suaminya tergoda
oleh gadis cantik yang akan dibawa ke Jakarta, dia curiga telah terjadi
sesuatu diantara suaminya dan Tara. Hindun juga menanyakan kemungkinan
pesan tiket bis pulang tambahan. Rupanya bis Anton masih di luar kota
dalam perjalanan kembali dari Jakarta.
Otak encer Anton berputar keras, bagaimana caranya dia bisa bersama
Hindun, Bang Ridwan dipersembahkannya cewe cantik, sehingga dirinya
selain tetap sebagai kenek yang merangkap supir serep juga merangkap
suami serep. Setelah mematangkan rencana, Anton menghubungi Hindun, dan
memintanya datang ke pool bersama cewe itu, Anton menjanjikan Abangnya,
bang Ridwan ’sang supir’ punya rencana jitu. Melalui HP, Anton
menguraikan rencana yang katanya ide Bang Ridwan
‘Mas Indro, saya ditemani Tara ke kota mesan tiket bus pulang, abang
jaga anak-anak. Mudah-mudahnya kenalan kita kenek yang kemarin bisa
bantu’ Hindun memperkirakan bis Anton sudah masuk lagi ke kota…’ Indro
setuju saja. Lebih enak main ama anak dari pada kepasar.
Dalam perjalanan berdua Tara, Hindun menjalankan skenario yang
dipaparkan Anton via HP ‘Tara, kamu mau merantau ke Jakarta punya
simpenan ilmu tidak?’ Bagi orang daerah sana, hal tersebut sudah lumrah.
‘Eee tidak kak, kenapa?’ ‘Wah berat juga kalo tidak, persaingan di
Jakarta sangat ketat, jaman sekarang tidak cukup lagi dengan suap dan
koneksi, banyak yang main ilmu bahkan jual diri’ ‘Ooo, jadi gimana kak’
Tara memahami. ‘Lebih baik sebelum berangkat ke Jakarta kamu cari bekal
ilmu’ ‘Wah Tara tidak paham kak, juga waktunya kan sudah mepet’
‘Kebetulan kakak ada kenalan orang pintar, nanti kita temui saja’ ‘Ma
kasih kak’
DIpool bis, karena ada Tara disisinya Hindun bersikap normal kepada
Anton yang sudah menunggunya di kantor pool. ‘Pak kami sudah punya tiket
4, tapi perlu tambahan satu lagi, masih bisa?’ ‘Wah sudah habis sejak
dua bulan lalu, dipesan orang’ Sahut Anton akting cuek. ‘Sama langganan
tidak bisa dibantu? ‘Coba nanti ketemu Supirnya dibelakang, Kalau mau
bangku darurat, bicarakan saja’ ‘Oh iya, Pak supir kan sistennya orang
pintar, ini adik saya mau konsultasi’ ‘Nanti sekaligus saja, yuk saya antar’
Didepan pintu kamar untuk para supir ‘Tunggu sebentar, saya bujuk dulu
yaa’ Ridwan sudah menunggu didalam: ‘Bang pacar saya yang kemarin saya
ceritakan sudah datang. Abang pura- pura jadi asistennya orang pintar,
ngasih pengobatan minyak pengasih, seperti yang saya ajarin kemarin,
abang nurut aja deh, pasti sukses’ “Rumit kali cara kau, apa nggak bisa
yang lebih simpel seperti yang dulu’ ‘Bang ini kan pacar aku, masih
baru, ingin segera kubagi sama abang, seperti abang ngebagi. Tapi karena
masih baru perlu sedikit muter- muter biar aman, kalo tidak saya
langsung diputusin’ ‘Ok lah, kau jangan jauh-jauh yaa, disebelah aja’
‘Pak kami perlu tambahan satu tiket untuk adik saya ini yang mendadak
perlu ikut, mengejar batas akhir lowongan kerja, kata adik kenek tadi
bapak bisa mengupayakan bangku darurat’ Hindun menahan jengahnya,
teringat kejadian seminggu berselang ‘Bisa sih, tapi adik harus
bergantian dengan kenek atau saya kalau sedang istirahat’. Ridwan juga
kebingungan, Pacar simonyet yang mana sigadis cantik atau kakaknya yang
ayu. ‘Oh tidak apa-apa’ Tara menyambut gembira
‘Ngomong-ngomong saya dengar Bapak punya kenalan orang pintar, apa bisa
membantu sehingga adik saya ini dapat segera diterima kerja, maklum saja
kata suami saya pesaingnya banyak, pintar-pintar, masing- masing punya
beking dan yang parah sebenarnya sudah terlambat’ Hindun menguraikan
masalah Tara
“Oh iya… orang pintar perusahaan kami sangat hebat, dan untuk urusan
begitu perlu waktu, tidak bisa dadakan, lagipula dia diluar kota’
‘Tolonglah pak’ ‘Eee sebenarnya ada cara lain, yaitu dengan minyak
pengasih, kebetulan memang kami punya stok untuk bis-bis kami yang
puluhan jumlahnya. Minyak itu sudah dimanterai oleh beliau, saya bisa
memberikan ke adik…siapa namanya?…Tara? “Bagaimana caranya pak’ Tara
menyahut sedikit curiga, maklumlah banyak beredar berita dukun cabul’
‘Begini, adik mandi membersihkan diri, nanti diolesi minyak pengasih.
Kebetulan ada kakaknya, biar dia yang ngolesi. Nanti saya membacakan
manteranya’ Susah payah Ridwan melaksanakan skenario dari Anton. “Ooo,
kayaknya bukan dukun cabul, kan kak Hindun yang ngolesi’ Tara berpikir
positif, dan menyahut ‘Tergantung kakak, ngerepotin atau tidak’ ‘Gitu
aja kok repot kok dik, kita harus berterima kasih kepada Pak Supir yang
sudah mau membantu, kursi darurat dan minyak pengasih, bagaimana balas
budinya ini pak?’ Respek Hindun kepada supir ini kembali meningkat. “Ah
ibu, nasihat guru saya, kita hidup didunia mencari teman’ Ridwan
berimprovisasi.
Ketiganya tidak sadar menjadi korban ‘grand skenario’ Anton sianak kecil
“Adik mandi sebersih-bersihnya didalam sana, setelah itu hanya
mengenakan sarung ini, berbaring disitu, nanti mbak yang ngolesi, saya
yang ngasih aba-aba sambil baca mantera. Saya menyiapkan minyak dan
menyiapkan diri dulu’
Tara Keluar dari kamar mandi dengan rambut basah terurai dan hanya
mengenakan sarung, tergulung sebatas dada, sungguh sangat menawan bak
dewi venus turun dari kayangan. Menggairahkan dengan sebagian paha tak
tertutup kain, yang menampakkan keindahan kaki langsing nan indah.
Ridwan pura-pura tidak melihatnya, hanya melirik melalui ekor matanya’
‘Wah hebat nian Anton mencari pacar secantik ini’
Hindun memperhatikan kecantikan Tara, menghela nafas dalam-dalam menahan
kecemburuannya,’bibit masalah ini tidak boleh dibiarkan, bagaimanapun
caranya Indro tidak boleh digaet olehnya, mudah-mudahan cara Anton bisa
berhasil’
‘Pakaian dalamnya sudah dilepas? …silahkan telungkup dibale-bale, santai
saja. Mbak duduk disampingnya, Ini minyaknya, siap-siap mengoleskan
sesuai aba-aba, saya bersila dilantai, membelakangi, tidak usah malu,
saya duduk menghadap kesana membelakangi jadi sama sekali tidak melihat.
Lagi pula ruangan agak gelap, lampu saya matikan, hanya sebatang lilin
untuk membantu saya konsentrasi.
“Oleskan mulai dari kepala, keleher,’ Ridwan bergumam seolah baca
mantera, wesssewesssewesss “Oleskan ke..’Ridwan memerintah sambil
pura-pura komat-kamit.
‘Sudah ujung jarinya? Adik berbalik berbaring, mbak lakukan lagi seperti
tadi mulai dari rambut turun kedahi dan seterus’ Ridwan berkomat-kamit
Ketika olesan Hindun sampai diarea segitiga kewanitaan, sesusai skenario
Ridwan menjerit tersentak kebelakang, seolah dihantam sesuatu ‘Hegg….aduhh’
Hindun dan Tara kaget, Tara sontak bangun duduk, Hindun berbalik,
keduanya menatap Ridwan meringkuk dilantai seolah kesakitan ‘Kenapa Pak?
Hindun bereaksi, Menjalankan skenario, sambil terengah-engah kesakitan
Ridwan menjawab, ‘Adik tidak bersih, minyak pengasihannya menolak masuk
ketubuh adik dan berbalik menghantam saya’ Tara terkesima ‘Maksud
bapak?’ “Adik dalam tiga hari ini baru berhubungan dengan lelaki, yang
parah lelaki ini tidak sah, di anu adik masih ada sisa lelaki, yang
menjadi kotor karena tidak sah’ Anton merancang skenario ini setelah
menyerap keluh kesah Hindun atas kecurigaannya di air terjun. Ridwan
mengerenyitkan mata seolah menahan rasa sakit.
Tara kaget, ‘Oh betul kemarin lusa di air terjun dirinya merelakan Indro
menyetubuhinya, hebat sekali orang ini’ Hindun meluap amarahnya menahan
benci ‘Ooo betul kecurigaanku kemarin, berani mereka macam-macam padahal
kami berada tidak jauh, hebat juga Bapak ini bisa menebak kejadian yang
tidak dilihatnya’ Hormat Hindun sekarang pangkat tiga.
“Jadi bagaimana pak?’ Tara cemas, cemas karena gagalnya pengasihan, tapi
lebih cemas lagi skandalnya diketahui Kak Hindun, mudah-mudahan dia
tidak sadar, tapi kan tiga hari ini saya kan bersama keluarga mereka
terus, waduh gimana ini? ‘Agghh panas…, mbak tolong cari Anton suruh dia
menghubungi orang pintar lewat telepon agar membantu saya mengatasi
masalah ini, mudah- mudahan bisa dari jauh, barangkali dia dikamar
sebelah’ ‘Baik pak’ Hindun patuh keluar kamar. Adegan babak pertama
berakhir dengan sukses.
“Sekarang terserah adik, ritual dilanjutkan atau tidak, tetapi sekarang
situasinya sulit, kalau guru saya ada disini tidak masalah, tapi karena
tidak ada jadi agak berabe’ ‘Berabe gimana pak? Tara agak lega Hindun
pergi khawatir dia curiga. ‘Ritualnya menjadi sulit karena kotoran dalam
tubuh adik menolak, sedangkan mantera sudah dilepaskan, harus ada yang
kalah’ ‘Ya sudah, saya nurut saja kata bapak’ ‘Itu yang berabe dik,
ritualnya menjadi berat, ilmu saya masih cetek sehingga harus kontak
fisik. Kalau tidak ada masalah, saya mampu, tapi sekarang gimana yaa?
Lumayan juga akting Ridwan sebagai dukun alim. ‘Saya nurut saja, tapi
mohon pak jangan bilang sama kakak, saya berhubungan dengan lelaki tidak
sah dalam tiga hari ini, tolong pak’ ‘Wah, adik ini benar-benar
merepotkan, masa saya harus bohong? ‘Tolong pak, saya takut dimarahi’
‘Ya sudah lihat nanti’
‘Sekarang lampu saya nyalakan, saya perlu melihat agar jelas masalahnya,
kontak fisik tidak bisa dihindarkan’ ‘Iya pak’ Tara sudh pasrah ‘Yesss
suksesssss’ Ridwan bersorak dalam hati, hebat nian si Anton, luar biasa
rencananya’ ‘glegghhh’ Tak sadar dia menelan ludah, wuihhh dua kali dia
dikasih cewe alim, cantik-cantik lagi.
“Dik saya ulangi ritualnya ya, kalau nanti terasa ada gejolak dari dalam
tubuh jangan ditahan, mudah-mudahan kotoran bisa keluar lewat pori-pori’
Ridwan duduk bersimpuh disisi tubuh yang berbaring telentang lurus.
“Cantik sekali wajah yang terpejam malu ini, betapa halus kulit
remajanya, putih mulus. Betapa indah tubuh ramping yang hanya terbalut
sarung, lekuk-lekuk tubuhnya tak mampu disembunyikan kain tipis.
Pandangan matanya melahap kaki jenjang telanjang sampai dipertengahan
paha, betapa beruntung dirinya’ Dibalurkan minyak itu kekedua telapak
tangannya, dibalurkannya mulai dari kepala, kedahi, seputar mata,
keseluruh bagian wajah yang cantik terpejam’ Tidak lupa Ridwan
berkomat-kamit tidak karuan, wessewesssewsss.
Dilulurkan minyak oleh tangan perempuan dan tangan lelaki sungguh jauh
berbeda. Muka Tara terasa panas, malu wajahnya disentuh tangan kasar.
Dadanya mulai berdebar. Ada sedikit kecurigaannya orang ini dukun cabul,
tetapi dari tadi dia kan memang tidak mau kontak fisik, dan dia sangat
hebat bisa tahu dirinya baru bersetubuh dengan lelaki. Oh memang
dirinyalah yang menimbulkan masalah.
Terasa minyak habis menyerap, dibalurkannya lagi, digosokkannya dengan
lembut dikedua sisi telinga sang gadis, diperhatikannya mata terpejam
itu sedikit berkejap, memang benar bagi kebanyakan wanita daerah telinga
termasuk paling peka. Balurannya turun kekulit halus dileher jenjang,
terus menurun ke sebelah tangan, dilihatnya leher gadis itu bergerak
menelan ludah. Ridwan ingat benar-benar instruksi Anton, harus sabar dan
disiplin, dipatuhinya seperti isi kitab suci. Dijangkaunya lengan gadis
yang satunya, yang membuat dirinya terpaksa beringsut lebih merapat.
Terasa kering tangannya, dituangkan lagi minyak, kembali dibalurkan
dipangkal lengan, yang segera dirasakan ditumbuhi bulu-bulu halus.
Ridwan menahan nafas, karena daerah itu merupakan salah satu daerah
favoritnya, tidak sabar dia ingin melumatnya, tapi ditahannya, karena
ingin sukses. Terasa jemari kasar itu menyentuh pangkal lengannya yang
juga pangkal payudaranya, Tara tertahan nafasnya oleh munculnya gejolak
birahi. ‘Ohh telapak tangan kasar itu meraba seluruh dadanya yang
telanjang tidak terbalut kain, ohhh’ Sungguh berbeda saat tadi dibaluri
oleh tangan halus Hindun’ Tara memejamkan matanya lebih kuat, tangannya
mencengkeram bale-bale yang terasa keras dibawah punggungnya. Setengah
berharap tangan itu agak sedikit kurang ajar. Ridwan yang sangat cermat
memantau perkembangan, memahami bahasa tubuh tersebut, tetapi dia tetap
disiplin. Balurannya pindah ke ujung kaki ‘Ahh sial…’ Tara sedikit
gemas, padahal dia yakin susunya akan segera disentuh. ‘Bapak ini memang
benar-benar sopan’ Tara mengatur nafasnya pelan-pelan mencoba tidak
ketahuan, gejolak birahinya yang tadi meletup sekarang agak mereda.
Dinikmatinya baluran minyak oleh tangan kasar menjalari telapak kaki,
pergelangan, betis, naik kelutut. Berpindah kekaki sebelahnya, terasa
badan supir ini semakin merapat karena harus menjangkau kaki sebelahnya.
Tara segera menyadari bahwa silelaki sudah rapat disisi tubuhnya yang
terbaring lurus. Saat mulai menjangkau daerah diatas lututnya, kembali
dada Tara bergemuruh didera birahi. Bulu-bulu dikakinya bangkit
‘Wesssewessewesss…wesewesssewesss… Dik saya merasakan penolakan mulai
muncul, saya akan sedikit menekan, kalau ada apa-apa jangan ditahan,
mudah-mudahan bisa lepas’ sambil berkomat-kamit Ridwan memberi aba-aba.
Bila tadi hanya sekedar membalur, sekarang kedua jemari Ridwan melakukan
gerakan mengurut, mulai dari atas lutut naik kepangkal pertengahan paha.
Ridwan melihat tubuh itu menegang, saat urutan tangannya semakin naik
keatas kepangkal paha yang telanjang tidak tertutup kain. Ridwan
memindahkan urutannya paha sebelah, gadis itu mulai mendesah ‘Hhhh…’
tubuhnya menggelinjang pelan. ‘Wesewessewesss’ Diremasnya dengan
perlahan tapi kuat, sambil diurut. Licinnya minyak melipatgandakan efek
kenikmatan, urutan telapak tangan Ridwan disekujur paha yang telanjang.
‘Ahhh…’ Tara mulai mengeluh menahan deraan birahi. Sensasi paha
telanjangnya diurut dukun sakti dengan tangan kasar berbalur minyak
menghantarkan gadis itu ke angan-angan binalnya. Tubuhnya menuntut
lebih. ‘Adik, eee yang tidak tertutup kain sudah, eee tinggal yang
ditutup kain, eee gimana yahh, saya malu juga nih, soalnya tidak pernah
sampai harus kontak fisik’ ‘Hhh… terus saja pak…jangan ragu…’ Tara
membuka matanya melihat sesosok tubuh lelaki duduk disisinya
menggaruk-garuk kepala dengan wajah kebingungan. Dalam diri Tara sudah
bercampur antara ambisinya sukses di Jakarta dengan hausnya pemenuhan
birahi’
(Penulis: kalau ada juri piala oscar, Ridwan pasti dapat nominasi karena
kehebatan aktingnya’ ‘Eeee..malu dik…’ ‘Jangan pak, kasihan saya dong
kalau sampai pengasihannya gagal’ Tara menangkap keraguan dukun ini,
dibukanya lilitan sarung didadanya diturunkannya sampai keperut.
Tuiiinggg, tersembullah sepasang bukit kembar, menjulang menantang.
Bukit kembar mulus seputih salju dengan dihiasi puncak kemerahannya yang
sudah menegang sedari tadi. Bukit kembar gadis muda yang nyaris tidak
pernah disentuh lelaki, dengan bentuk yang sungguh sempurna. Sekuat
tenaga Ridwan menahan dirinya untuk segera menyosor tubuh telanjang itu,
bahkan dia pura-pura melengoskan mukanya sambil memejamkan mata. Tara
sudah yakin 100% kealiman dukun ini, diraihnya tangan sang dukun, dengan
sinyal jangan ragu-ragu. Sambil melengos dan memejamkan mata, Ridwan
kembali menuangkan minyak ketangan, mulai membalurkan disekujur bukit
kenyal yang indah. ‘Hhhhh….’ Tara tersentak merasakan jemari kasar
membalurkan minyak dipayudaranya, birahinya meledak dengan intensitas
semakin kuat. Tubuhnya menegang, matanya terpejam. Tidak sadar tangannya
gemas menggenggam jemari yang sedang menjarah dadanya. Merasakan jemari
halus meremas tangannya yang sedang bekerja, Ridwan mengintip dan segera
membuka matanya lebar-lebar mengetahui Tara kembali terpejam. Matanya
nanar melahap keindahan sepasang payudara gadis cantik ini. Ridwan
menghayati perannya, berupaya tangannya hanya melakukan gerakan membalur
minyak, ditahannya keinginan untuk meremas dan memelintir pentil keras
itu. “Hhhhh….’ Sesak nafas Tara menerima belaian kuat dipayudaranya.
Tubuhnya semakin bergelinjang, tak sadar jemari halusnya meremas tangan
yang memberinya kenikmatan. Ridwan membalurkan minyak kepayudara
sebelahnya, yang semakin menggeletarkan tubuh telentang gadis cantik
ini. Kedua belah tangan gadis ini sekarang sudah memegang masing-masing
pergelangan tangannya, menahannya untuk pindah membalur ketempat lain.
‘Ohhh….’ Tara sudah mulai mendesah, menginginkan ritual lebih
dipayudaranya. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan si supir yang
dari tadi sangat nakal menjarah tubuhnya, menekannya kedadanya. Ridwan
memenuhi harapan sigadis, kedua tangannya yang dicengkeram sigadis,
memulai teknik massage, dengan bantuan minyak telapak tangnnya berputar
dan menekan. Baluran minyak diseputar lereng masing- masing bukit
kenyal, membuat tubuh si gadis begelinjang keras. “Ohhh…’ Tara mendesah,
sepasang kaki yang tadi rapat lurus membujur mendadak kejang, terlipat,
seolah menahan derita dera kenikmatan. Paha terangkat dan lutut yang
kejang tertekuk rapat keatas memaksa sarung yang tadi menutup sebagian
pahanya, melorot, menampakkan semakin banyak ketelanjangan paha dan
pangkal pahanya.
Nanar mata Ridwan menerima pemandangan hebat ini, dikomandoi tangan Tara
yang mencengkeram masing-masing pergelangan tangannya, Ridwan mulai
membantai kedua payu dara itu, balurannya ditekan lebih kuat.
Masing-masing telapak tangannya menekan kuat dan memutar bak mengurut
masing-masing susu yang berani kurang ajar menjulang dihadapannya.
Tangan kiri memutar searah jarum jam, tangan kanan melawan jarum jam,
bagai buldozer hendak meratakan bukit kenyal. ‘Ahhhh….’ Tubuh Tara
bergetar menerima perlakuan ini, bagian bawah tubuhnya menggelinjang
melengkung kejang menahan derita, mencoba merapat ketubuh lelaki yang
disisinya. Lututnya yang terlipat berusaha menjangkau sia-sia tubuh
dukun yang memberinya derita nikmat. Bagian bawah tubuhnya setengah
meringkuk merapat, membuat Ridwan dihadiahi pemandangan ketelanjangan
pinggul dan pangkal paha si gadis. Ridwan pura-pura sebelah tangannya
hendak beranjak membalur bagian lain, segera ditahan oleh cengkeraman
tangan Tara, seolah berkata ‘jangan…, jangan pergi’ ‘Wessewessewsss, Dik
semua sudah, tinggal yang itu…’ dengan komat- kamit Ridwan bertanya,
sambil memeras ganas kedua susu itu. ‘Ohhh…pak….iya pak…hhh’ Kacau sudah
logika sigadis didera birahi nikmat yang ditimbulkan baluran minyak
tangan ganas Ridwan yang lihai. Tapi tangannya tidak rela melepas
kenikmatan yang mendera susunya, dicengkeramnya agar tidak pindah ke
lain hati ..eh.. ke lain tubuh. ‘Wahh kebetulan’ pikir Ridwan, sambil
terus memeras kuat tapi lembut, tubuhnya beringsut, beranjak, setengah
berlutut, kebagian kaki Tara. Posisi tangannya sekarang menjangkau lurus
payudara itu, sambil tetap memeras. Dengan hati-hati saat posisinya
sudah OK, sambil kedua telapak tangannya menekan dan memutar susu, kedua
pasang ibu jari dan telunjuknya memelintir pentil susu yang dari tadi
mangganjal. ‘Ohh…pak..ohh..’ kesekian kalinya Tara mengeluh dan
menggelinjang. Dengan lihai kedua siku Ridwan mencongkel kedua belah
paha yang terkatup rapat, memaksanya membuka. Paha itu menolak, karena
masih kejang menahan derita nikmat, dagu Ridwan turun membantu nyelip di
lutut Tara, membongkar lipatannya, telapak tangan dan jemarinya bekerja
sama memerah dan memelintir. Terkangkangklah paha itu dihadapan wajah
Ridwan yang setengah telungkup dibagian bawah tubuh Tara. Tanpa ba..bu
lagi Ridwan segera melumat pangkal kewanitaan sigadis, menuntaskan
kegairahan yang sedari tadi ditahannya setengah mati. “aghhh…’ Tara
merasakan ledakan nikmat dibagian tubuhnya yang lain, saat lidah Ridwan
terasa mencucuk mulut kemaluannya. Kedua tangannya segera mencengkeram
kepala yang begitu kurang ajar mejamah daerah kesuciannya.
Kalau sudah begini, Ridwan sangat pede (percaya diri), pelacurpun takluk
pada kelihaian lidahnya, apalagi gadis kencur ini. Kedua tangannya sudah
diistirahatkan, diselipkan dibawah bokong sigadis, mengganjalnya agar
lebih terkangkang, sekaligus membantu sigadis agar lebih mudah
menggelinjang. Lidahnya sekarang mulai bekerja. Desahan Tara sudah mulai
tak terkendali, kepalanya terhentak kekiri dan kekanan, nafasnya
tersengal-sengal.
Santai saja Ridwan menjarah pangkal paha sigadis, santai saja lidah itu
menjilati, mengecup, mengulum, mencucuk, bahkan mengemut daerah
kewanitaan. Pinggul Tara menggeliat meronta mecoba melarikan diri,
setiap saat lidah yang kasar dengan buas menyentuh bagian tubuhnya yang
paling intim. Kedua belah tangan Ridwan yang mencengkeram kedua belahan
bokong sigadis, membantu Tara mengelinjangkan pangkal pahanya. Bak
sedang makan separuh buah semangka yang dibelah, Ridwan sepuasnya
melahap hidangan liang kewanitaan Tara. Mulutnya menjilat, mengecap dan
menghirup kelaparan, kedua belah tangannya membantu bokong sigadis
bergetar-getar. Tara tak berdaya dilanda arus birahi hingga tiba dimuara
puncaknya. Tangannya hanya mampu mencengkeram kepala dengan rasa tak
tertahan, jepitan pahanya tidak mampu meredakan sedikitpun dera nikmat.
Saat itulah tanpa disadari keduanya, Anton masuk keruangan. Pandangan
Ridwan terhalang kedua paha yang menjepit kepalanya, Sedangkan Tara,
boro-boro melihat, sadarpun tidak, matanya terpejam terus, kadang
terbeliak hanya putihnya saja. Kalau ditanya berapa satu tambah satu,
jawabannya pasti ‘terus…ohh teruss’. Dengan diam-diam Anton menggunakan
kamera digital perusahaan mengambil beberapa foto adegan menggairahkan
tersebut, diupayakannya wajah cantik Tara yang terengah- engah melonjak
menahan nikmat, tertangkap jelas kamera digital murahan yang cuma
3,2mega pixel. Selanjutnya diambilnya juga gambar dalam mode movie,
sampai kapasitas memorinya habis.
Tak lama kemudian Tara meledak dalam puncak kenikmatannya’
‘Pak…..arghhhh…ohhh’ , mendesahkan berkali-kali nafas panjang, karena
lidah silelaki terus saja dengan santai melumat bagian tubuhnya yang
paling peka. Tara merasakan tubuhnya kembali meledak dan meledak, bahkan
menggelinjangpun dia tak kuasa. Kedua belah tangan Ridwan senaknya saja
memutar-mutar bokongnya, bak tangan ibu menampi beras untuk dimasak.
Santai saja Ridwan memutar-mutar bokongnya sesantai lidahnya mengemoti
bibir kemaluannya, selama itu Tara lupa diri terbang keawang-awang.
Semenit berlalu, puncak nikmat itupun berlalu, meninggalkan jejak nafas
tersengal-sengal, dan tubuh lunglai tak berdaya. Tak pernah Tara
merasakan kepuasan sedemian intens dan sedemikian panjang. Berapa kali
persetubuhan dengan pacarnya, sama sekali tidak dapat dibandingkan
dengan saat ini. Hujaman kejantanan Indro dua hari lalu di puncak air
terjun, walaupun banyak memberikan nikmat tapi tidak intens karena
bagian dari upayanya menyogok Indro membantunya menggapai ambisi.
Melihat sigadis sudah lunglai, dengan penuh kepuasan, Ridwan
menghentikan siksaannya, dia berpikir menganalisa, untuk langkah
selanjutnya dia mengikuti saja skenario Anton . Dibaringkannya tubuhnya
miring disisi Tara yang lunglai tertelentang telanjang, terpejam. Sarung
yang tadi dikenakan kini hanya menutup sebagian kecil perutnya saja.
Dikaguminya kedua bukit kembar yang indah menjulang bergetar-getar
akibat nafas yang tersengal-sengal. Dirangkulnya tubuh telanjang
sigadis, tangannya meraih botol minyak, dituangkannya sedikit di bagian
dada yang menantang, kembali dibalurinya dada yang telanjang. Lembut dan
penuh kesopanan.
Sekian menit, akhirnya kembali juga Tara kealam sadarnya walaupun masih
sedikit, kalau IQ normalnya 105,sekarang mungkin baru 85. Perlahan-lahan
dirasakannya baluran lembut minyak di dadanya, ‘ohhh…kok bisa ya ritual
berbuah kenikmatan seperti ini?’ Lupa diri didekapnya tubuh sidukun,
seolah berterima kasih dan gemas’
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
3145