Cuma Lima Detik
Nama saya Ricky (samaran), tinggi 167, umur 27 tahun, kebetulan warga keturunan. Pada tahun 1995 saya kuliah di daerah Semanggi, jurusan teknik, lalu karena satu dan lain hal pada tahun 2000 saya kuliah lagi di universitas komputer terkenal di Jakarta Barat. Saya punya kecenderungan tertarik jika melihat wanita yang lebih tua, rasanya ingin sekali bermain cinta dengannya, karena menurut saya wanita tersebut sexy sekali.
Wajahku tergolong biasa saja, tidak jelek dan tidak ganteng-ganteng sekali (kata orang-orang begitu sih). Badan saya cukup atletis, sehingga kalau orang yang baru pertama kali bertemu pasti beranggapan bahwa saya rajin fitness, padahal terbilang jarang sekali, sekali-sekali saja, itu pun kalau ke rumah pacar saya yang terakhir (yang nota bene sekarang sudah bubar).
Saya tinggal di Jakarta dan sudah bekerja di Jakarta Barat. Saya akan menceritakan pengalaman sex yang agak memalukan sebenarnya untuk diceritakan, tapi ya tidak apa-apa untuk berbagi pengalaman. Kisahku ini benar-benar terjadi, bukan rekayasa dan maaf kalau kurang bisa cerita dengan baik karena ini adalah tulisan pertamaku dan saya baru tahu bahwa menulis, mendeskripsikan suatu keadaan dari kedua belah pihak itu ternyata sulit sekali!
Tidak banyak wanita yang singgah dalam kehidupanku, paling hanya beberapa saja, mungkin dikarenakan sikap dan karakterku yang pemalu. Mungkin juga karena lingkungan dimana saya dibesarkan dan pergaulan saya yang tergolong baik-baik.
Saya akan menceritakannya secara berurut, dengan wanita yang pertama terjadi pada tahun 1997, pertemuan kami terjadi di suatu acara kemahasiswaan yang diikuti oleh banyak kampus, di Villa Nisita, di kaki gunung Gede. Pada waktu itu saya masih kuliah di kampus Semanggi.
Namanya Rike (samaran), kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi di daerah Grogol. Pertama kali bertemu, sikap saya biasa saja karena menurutku dia tidak begitu cantik, tapi kulitnya putih bersih, berbodi langsing dengan rambut panjang tergerai (saya suka wanita berambut panjang dan berkulit putih). Kami dikenalkan oleh temanku, saat itu mereka sedang asyik mengobrol, karena waktu itu memang saatnya makan siang.
“Rike..” katanya sembari mengulurkan tangannya.
“Ricky..” kusambut tangannya yang ternyata kulitnya halus sekali. Akhirnya kutahu juga namanya, gumamku dalam hati.
Dari obrolan siang itu aku tahu sedikit latar belakangnya, keluarganya. Rike berasal dari daerah Jawa Tengah yang mempunyai dialek khas, jadi kalau dia berbicara, orang lain pasti akan langsung tahu darimana dia berasal.
Tiga hari lamanya acara tersebut berlangsung, tidak banyak komunikasi yang terjadi, hanya sekali-kali baik saya maupun dia saling mencuri pandang saja. Pernah suatu kali tatapan mata kami bertemu tetapi kami sama-sama buang muka, lucu sekali kalau mengingat-ingat hal tersebut. Lalu kami saling bertukar nomor telepon, dan kuberi juga nomor pagerku (waktu itu masih jamannya pager).
Sewaktu kuliah saya kos di daerah dekat kampus, tiga hari setelah acara tersebut saya menelepon ke rumah dan saya diberi tahu bahwa kemarin Rike menelepon. Lalu saya langsung menelepon kosnya di daerah Grogol.
“Hallo, bisa bicara dengan Rike?” tanyaku.
“Dari siapa ini?” sahutnya di seberang sana.
“Dari Ricky” jawabku.
“Sebentar ya..” jawabnya.
“Non.., ada telepon, dari Ricky!” kudengar samar-samar suaranya memanggil Rike.
“Hallo..” terdengar suaranya yang khas.
“Hallo juga..” sahutku.
“Apa kabar? Ini Ricky, waktu itu kamu telepon ke rumahku ya?” tanyaku.
“Iya, tapi kamunya gak ada..” jawabnya.
“Kan aku kos, lupa ya?” kataku.
Singkat cerita aku diajak ke tempat kosnya di lantai 3, dan hanya 1 kamar, sedangkan adik dan cicinya ada di lantai 1 dan 2, dan seperti dugaanku kamarnya rapi sekali, memang seorang melankolis sejati, pikirku dalam hati.
Dengan berjalannya sang waktu hubungan kami semakin dekat, memang tidak ada kata ‘jadian’ di antara kami, hanya kami tahu sama tahu saja. Hubungan yang benar-benar tidak memikirkan sex, maklum kami masih sangat polos waktu itu. Hanya saja aku yang sering membayangkan bersetubuh dengannya karena sering menemaninya tidur-tiduran di ranjang yang sama, melihat bra-nya pada saat dia menunduk dan menulis.
Sampai pada suatu saat saya peluk dia dan minta diajari berciuman, waktu itu Rike memakai piyama kaos dan celana panjang, awalnya dia tidak mau tetapi akhirnya dia mau juga. Pertama kali berciuman rasanya agak aneh, gigi kami sering beradu. Dia mengajariku berciuman, tapi tetap saja banyak salahnya karena memang waktu itu saya belum pernah berciuman sama sekali.
Aku menindih tubuhnya, sambil berciuman saya pegang payudaranya, dan dia memperingatkanku..
“Eit, tangannya..”
“Iya deh, maaf..” sahutku.
Saking asyiknya berpagutan, posisi kami sudah terbalik, dia ada di atasku. Kali ini kucoba lagi memegang payudaranya, tapi kali ini dia diam saja, tidak memberikan respons penolakan. Tanganku kumasukkan ke dalam kaos tidurnya dan meremas dari payudara dari luar bra-nya. Sementara tanganku yang satunya lagi meremas pantatnya.
“Matiin dulu dong lampunya, kan aku malu..” pintanya. Lalu aku bangkit berdiri dan mematikan lampu, Rike membuka kaos dan bra-nya lalu berkata.
“OK deh, saya ladenin kamu, buka kaos kamu..” lalu kami berpagutan lagi.
Saya tidak bisa melihat jelas payudaranya karena kamarnya remang agak gelap dan hanya lampu depan kamarnya yang menyala, hanya putingnya saja yang terbayang bulat. Yang bisa saya rasakan hanya kenyal payudaranya saja, payudaranya tidak besar, putingnya kecil sekali. Sambil meremas kucoba memelintir putingnya hingga nafasnya memburu dan agak berat, belakangan kuketahui bahwa ukurannya 32A. Di tengah pergumulan tersebut, saya mencoba menarik turun celana panjangnya, tetapi dia tidak mengijinkannya.
“Atas aja..” katanya.
Dan besoknya, di bibir kami terlihat luka-luka bekas pertempuran semalam. Sejak saat itu setiap kali kami bertemu, kami melakukannya walaupun hanya sebatas ‘bagian atas’. Karena terlalu sering datang, saya merasa tidak enak dengan adik dan kakaknya hingga kami sepakat jam kedatangan diubah menjadi jam 11 malam agar tidak diketahui orang kos. Kadang-kadang Rike yang kuajak ke kosku, jam 12 kujemput dan pulang lagi ke kosnya sekitar jam 3-an.
Pernah suatu kali, sewaktu bercumbu tanganku masuk ke dalam celana dalamnya dan kudapati celananya sangat basah dan kutanya..
“Kamu terangsang ya?” (bodohnya aku saat itu..) tapi dia tidak mau mengakui.
“Enggak..” Lalu kami melanjutkan percumbuan, lalu tiba-tiba tangannya menurunkan resleting celanaku, lalu aku berkata..
“Jangan..”
“Tapi aku pengen lebih..” sahutnya.
Akhirnya kuturunkan celana panjang dan celana dalamku biar dia leluasa, pikirku. Hari itu, percumbuan tersebut berakhir begitu saja. Sampai pada suatu saat, kejadiannya di kos saya, tengah malam tentunya, kami mulai berpagutan, kulepas kaos dan bra serta celana panjangnya hingga praktis hanya tinggal celana dalamnya, dan aku sudah bugil karena sejak dia ‘minta lebih’ waktu itu saya pasti menurunkan celana panjang saya.
Mungkin karena dia merasa tidak enak hanya saya yang bugil, akhirnya atas inisiatifnya sendiri dia melepaskan celana dalamnya, lalu kubantu menariknya ke bawah agar terlepas. Baru kali itu aku melihat vagina secara langsung, bulu-bulunya dicukur rapi membentuk piramid terbalik, lalu kutindih dia, kakinya dia renggangkan sehingga terasa agak hangat kurasakan. Kucoba mendorong-dorong penisku agar masuk, tapi tidak masuk-masuk juga.
“Gak pas posisinya..” ujarnya, lalu dia mengambil penisku dan memposisikan di bibir vaginanya.
Walaupun sudah kudorong-dorong, tetap saja tidak masuk, mungkin karena dia masih perawan, pikirku. Setelah sekian lama mencoba dan gagal lalu kucoba memasukkan jariku ke dalam vaginanya, basah.. Kudorong keluar masuk, licin, hangat sekali rasanya.. Lidahku menciumi putingnya, kiri dan kanan bergantian, hingga dia bergumam. Kurasakan putingnya semakin keras dan otot-ototnya menegang lalu dia melemas. Ngos-ngosan seperti habis berlari jauh.. Dan bodohnya lagi, aku tidak tahu bahwa Rike telah orgasme..
Lalu setelah dia agak tenang, kami berciuman lagi, saling mengulum lidah, dan meremas payudaranya sambil memainkan putingnya.. Lalu kutindih lagi dia, dia meregangkan kaki dan membelit pantatku agar makin mendekat. Penisku tepat di berada lubang vaginanya, kugesek-gesek di seputar bibir vaginanya, lalu dia berkata..
“Enak Rik..” lalu kuciumi payudaranya dan tanpa sadar tiba-tiba penisku masuk menyeruak ke dalam vaginanya.
“Masuk ya?” tanyaku, Rike meringis.
“Sshh..” aku tahu dia kesakitan, lalu aku coba mengubah posisi.
Ketika hendak mengubah posisi, kurasakan nikmat sekali pergesekan antara kulit penisku dan dinding vaginanya lalu kurasakan aku hendak orgasme. Karena aku tidak ingin Rike hamil di luar nikah maka segera kucabut penisku dan akhirnya spermaku muncrat di luar. Jadi kira-kira hanya 5 (lima) detik penisku berada di dalam vaginanya.
Begitu kucabut, terlihat darah segar agak banyak membanjiri spreiku, lalu malam itu juga Rike mencuci sprei yang terkena node darah keperawanannya, lalu dia menangis, tersadar bahwa dia sudah tidak perawan lagi.
“Aku sudah tidak perawan, gimana masa depanku kalau aku tidak married dengan kamu?” dia bergumam.
Tapi penyesalannya cuma bertahan dua hari, selebihnya kami tetap melakukannya sebatas petting seperti biasa karena sulit sekali menembus vaginanya, pernah dia berkata..
“Aduh Rik, masukin deh, sekali saja..”, aku coba, tetapi tetap sulit sekali masuknya.
Belakangan dia baru mengakui pernah beberapa kali orgasme dengan tanganku, dan parahnya saya tidak pernah tahu kalau dia sudah orgasme.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2635