Menutup Layar
Kino terus menciumi leher jenjang yang harum dan kini agak basah oleh keringat. Ia mengecup-mengembus, menggigit kecil, menghela nafas menghirup semerbak tubuh wanita yang menggairahkan ini. Rasa terimakasih memicu semangat dan birahinya, ingin rasanya ia mendekap dan melumat tubuh hangat yang ditindihnya ini.
Mba Rien tertawa kecil menerima perlakuan Kino, "Stop ....," ucapnya, tetapi kata itu seperti kehilangan makna. Dan Kino tak mau berhenti, malah semakin bersemangat menelusuri urat samar kebiruan di leher yang bak pualam itu. Kino naik menciumi dagu Mba Rien, menyusur bawah rahangnya, lalu turun lagi sampai ke pangkal leher. Tangannya dengan cepat menyibak kaos wanita itu, sekaligus membuka beha coklat di bawahnya, menampakkan dada ranum yang bergerak naik-turun dengan cepatnya.
"Ah, Kino .... Ohhh," akhirnya Mba Rien hanya bisa mendesah, dan perlahan tangannya yang tenggelam di rambut Kino kini justru menekan kepala pemuda itu. Justru mendorongnya agak lebih ke bawah, sehingga bibir Kino kini menelusuri lembah indah di antara kedua payudara yang membusung-mengembung-menggairahkan. Harum sekali lembah itu, lembut dan bergetar menyembunyikan jantung yang berdebar kencang.
Kino semakin berani, mengangkat mukanya menggigit daging yang membola halus-licin itu sehingga Mba Rien menggelinjang dan menjerit kecil, "Oh, .... jangan Kino..." tapi tangannya tak juga sanggup mendorong kepala Kino lepas dari dadanya. Mba Rien hanya bisa berkata tak bisa berbuat. Sebuah penolakan yang tak punya daya, sebuah penyerahan yang tak terelakkan. Apalagi ketika mulut pemuda yang menghembus-hembuskan nafas panas itu kini tiba di satu puncak payudaranya.
"Oh ... jangan itu,... Kino, jangan itu... ", erang Mba Rien, tetapi terlambat sudah!
Dengan cepat Kino menyedot puting kenyal yang berdiri menantang itu.
Mba Rien menggeliat, melepaskan tangannya dari kepala Kino, meremas-remas seprai seperti hendak mencari kekuatan dari situ. Dunia nyata seperti menghilang dari pandangan Rien yang kini terpejam menahan nikmat tak terperi yang menyerbu tubuhnya. Satu tangannya bergerak ke atas, menggenggam tiang ranjang seakan kini seluruh hidupnya bergantung di sana. Tak ada lagi pikiran bimbang, atau takut, atau kuatir di kepalanya. Semuanya hilang berganti kenikmatan belaka, menjalar-jalar seperti api keluar dari mulut Kino yang kini mengemut-emut puting susunya. Kino pun semakin bersemangat, menyedot kuat-kuat dan mengulum-ulum daging kecil kenyal yang terasa aneh di mulutnya itu.
Beginikah seorang bayi merasakan susu ibunya? pikir Kino sambil membayangkan betapa rakusnya dulu ketika ia masih bayi!
Rien merasakan kewanitaannya berdenyut lagi, bagai bangkit dari istirahat, setelah tak lebih dari 10 menit lalu bergeletar terlanda orgasme. Kini kedua kakinya membuka lebih lebar lagi, dan tak sadar ia menarik satu tangan Kino untuk kembali ke bawah sana. Kino pun tak perlu mendapat tuntunan lagi sekarang. Tiba-tiba saja ia sudah menjadi piawai. Tangannya dengan cepat melakukan lagi apa yang baru saja ia pelajari dalam permainan serba menggairahkan ini. Tangan itu tahu harus berbuat apa di ladang subur yang selalu menjanjikan kehangatan itu. Penuh kepastian, tangan pemuda itu kini mengusap-usap, menerobos-menelusup, meraih-raih. Rien membuka pahanya semakin lebar, semakin menguak, menyediakan keleluasaan kepada Kino.
"Ohhh, Kino.... Ohhh, aku mau .... Aaah, aku ingin ....," Mba Rien seperti kehabisan kata-kata, "Kino,... aku,... ahhh.."
Apa yang hendak disampaikannya? tanya Kino dalam hati, tetapi ia tidak berani bertanya. Mulutnya tak hendak lepas dari mainan baru di puncak payudara yang menggelorakan itu!
Dengan satu jari tengahnya, Kino membuka-menguak sepasang bibir di bawah sana. Telah menebal, bibir-bibir itu. Basah dan licin pula. Hangat dan berdenyut juga. Jari Kino seperti menari-nari, melenggak-lenggok di taman sutera yang halus menggelincirkan. Terkadang, jari itu menelusup jauh ke bawah dan sampai di sebuah liang sempit yang berdenyut-denyut.
Rien tersentak ketika disentuh ujung jari Kino di bagian yang sangat peka itu. Tubuh bagian bawahnya tiba-tiba terangkat meninggalkan kasur, dan akibat gerakan itu jari Kino akhirnya melesak masuk, tergelincir cepat sampai tenggelam sepanjang satu buku jari. Ada sedikit lengket dan panas dan basah terasa oleh Kino di ujung jari yang dilingkari sebentuk otot liat-kenyal yang bergerak-gerak seperti mulut kecil.
Dan Rien pun merintih pelan, ".... teruskan ... masukkan .... Oh, Kino... teruskan...".
Dan Kino mendorong lebih dalam, merasakan jarinya kini menelusuri dinding licin bak sutra yang basah. Dan Rien semakin keras mengerang lalu memutar pinggulnya dalam gerakan asal-asalan. Kino menarik sedikit jarinya, tapi tangan Mba Rien mendorongnya kembali. Kino menarik lagi, tetapi didorong lagi. Ditarik-didorong. Ditarik-didorong. Berkali-kali, semakin lama semakin cepat, seperti kereta api sedang mengambil ancang untuk melaju.
Rien menutup mulut dengan punggung tangannya, menahan sebuah teriakan-teriakan kecil yang terputus-putus... ah ... ah ... ah. Lalu ia menggelepar kuat sekali, dan tangan Kino lepas dari selangkangannya, seperti dilemparkan oleh kekuatan gaib. Kino sendiri terkejut sekali dibuatnya. Dan Mba Rien tidak bisa diajak bicara, karena wanita itu menggeliat, mengguling ke samping, lalu tertelungkup dengan tubuh berguncang-guncang. Ranjang berderit-derit.
Kino terpana. Astaga, apa yang telah kulakukan?
Kino hendak bangkit meninggalkan tempat tidur, tetapi tiba-tiba Mba Rien telah berbalik. Wajahnya agak memerah dan bibirnya yang menggairahkan itu seperti tomat matang. Matanya setengah tertutup, memandang sayu, tetapi penuh dengan sinar yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Kino setengah terduduk di pinggir ranjang, tak pasti apa yang harus dilakukannya. Lagipula, kini ia kuatir ada orang yang mendengar kegaduhan di kamar ini, walaupun ia juga tahu paviliun tempat Mba Rien indekos terpisah oleh halaman cukup luas dari rumah utama.
Mba Rien tiba-tiba tertawa kecil, "Aduh, Kino... lihat apa yang telah kamu lakukan," ucapnya masih agak terengah. Pakaiannya semrawut, behanya sudah terlepas sama sekali, dan roknya tersingkap lebar.
"Maaf, Mba ...," ucap Kino pelan. Ia sungguh-sungguh bermaksud minta maaf.
"Hei... kenapa harus minta maaf?", ucap Mba Rien ringan, lalu ia bangkit dan merapikan pakaiannya, tetapi tidak memakai kembali beha maupun celana dalamnya yang kini entah di mana.
"Kamu memberikan lebih dari yang aku minta, dan tak perlu minta maaf untuk itu ..." lanjut Mba Rien lagi dengan suara lembut, hampir berbisik.
Mereka duduk berdua di pinggir ranjang. Mba Rien memeluk bahu Kino, lalu mencium leher Kino sedikit di bawah kuping. Kino menggeliat kegelian, lalu balas memeluk pinggang Mba Rien. Kemudian ia mendengar wanita itu berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkuk Kino, "..sekarang giliran kamu, yaa..."
Tangan Mba Rien cepat sekali telah membuka resleting celana Kino yang diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak memaksa, Mba Rien mendorong tubuh pemuda itu sehingga telentang di kasur, sementara ia sendiri tetap duduk dan terus membuka resleting sampai lepas sama sekali. Lalu jari-jarinya yang letik mulai mengelus-elus di atas celana dalam Kino yang telah menggembung dan agak basah di sana-sini. Ah, Kino pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan apa pun yang akan terjadi berikutnya. Ia pasrah saja.
Dengan tangan yang lain Mba Rien membuka kancing baju Kino, satu-persatu dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dada Kino yang bidang telah terbuka sama sekali. Lalu Mba Rien membungkukan badannya sedikit, dan .... Kino menggeliat kegelian ketika bibir basah wanita itu tiba di putingnya yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan Kino mengerang pelan. Mba Rien bahkan lalu mengulum dan menyedot, sehingga Kino tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susumu! pikirnya dalam hati.
Sementara itu jemari-jemari Mba Rien yang lain telah masuk menyelinap ke balik celana dalam Kino, dan menemukan kejantanan pemuda itu tegak-keras-panas. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur ke atas ke bawah. Kino memejamkan matanya erat-erat, seakan memastikan bahwa ini adalah sebuah mimpi yang nyata, sebuah kenyataan yang dimimpikannya. Tubuhnya meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutnya terasa tiga kali lebih besar dari biasanya.
Mulut Rien terus mengulum puting Kino yang kecil, tangannya terus menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuh Kino, menyebabkan pemuda ini bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai terkumpul di tubuh bagian bawahnya, membuat kedua pahanya terasa berat. Seluruh otot tubuhnya seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti seorang lifter bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.
Gerakan Rien makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin puting Kino yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak seperti puting payudaranya Mba Rien. Tangan Mba Rien naik-turun dengan bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Kino mengerang panjang ketika akhirnya ia tak bisa lagi menahan serbuan puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu tangan Mba Rien yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi kantong di bawah kelaki-lakian Kino yang seperti mengeras-membatu. Tangan Mba Rien meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi sudah cukup membuat Kino menggeramkan penyerahannya, mengerangkan kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kental lepas dari tempat persembunyiannya, menghambur keluar.
Langit-langit kamar Mba Rien memudar di mata Kino. Ranjang Mba Rien terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhnya melayang. Jemari dan tangan Mba Rien masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak mengamburkan pijar-pijar pelangi di kepala Kino. Sungguh menakjubkan!
Lalu sepi bagai turun dari langit. Kino tergeletak lemas. Mba Rien tertelungkup di sebelahnya, dengan kepala tersandar ke dadanya. Nafas mereka berdua masih memburu. Samar-samar terdengar detik jam dinding. Malam minggu sedang menuju titik kulminasi.
Setelah segalanya tenang, Kino bangkit dan merapikan pakaiannya. Mba Rien keluar menuju kamar mandi. Segalanya seperti sediakala, kecuali ranjang yang berantakan tak keruan. Dengan cekatan Kino membereskan seprai dan mengembalikan bantal ke tempatnya. Ia menemukan beha dan celana dalam Mba Rien, yang segera dilipatnya baik-baik dan diletakkan di kursi meja rias. Setelah menghela nafas dalam-dalam, ia melangkah keluar, ke ruang tamu. Kosong tak ada siapa-siapa.
Lalu Mba Rien muncul dari kamar mandi. Wajahnya penuh senyum seperti biasanya. Lalu mereka duduk berhadap-hadapan. Lama tidak berkata-kata, cuma saling menukar senyum. Ketika akhirnya Mba Rien membuka percakapan, bahan pembicaraan terasa hambar, dan wanita yang wajahnya bersinar tetapi kelihatan letih itu pun berkali-kali menguap tak mampu mengusir kantuk.
Pukul 10 lewat seperempat, Kino akhirnya berpamit. Mba Rien berdiri di pintu depan memandangnya pergi. Kino tak bisa melihat wajahnya, karena terlindung bayangan pintu, tetapi ia tahu Mba Rien tersenyum. Maka ia pun tersenyum sekali lagi, lalu berbalik menuntun sepedanya ke jalan raya. Gelap malam segera menyambutnya, merangkulnya dengan embun basah yang segar. Entah kenapa, Kino merasa seperti seorang ksatria pulang dari medan pertempuran!
*******
Itulah malam paling bergelora yang pernah dijalani Kino bersama Mba Rien. Seminggu setelah itu, sekolah dimulai dan pertemuan keduanya tak pernah lagi terjadi malam hari. Kino juga tak lagi bisa sering mengantar-jemput Susi ke tempat latihan menari, karena kini ia punya aktifitas baru: mengantar Alma pulang. Mengerjakan PR bersama. Latihan vocal group untuk acara-acara sekolah. Kegiatan ekstrakulikuler selepas sekolah. Dan sebagainya.
Mba Rien masih sering mengajak berenang bersama (tetapi Alma tidak pernah ikut karena ia tidak bisa berenang), mereka masih dengan riang saling berlomba mencapai batu karang, mengalahkan Dodi dan Iwan dan Niken yang selalu terlalu banyak tertawa. Mereka juga masih mencari kenari ke hutan, tetapi anehnya tak lagi ada hujan yang menyebabkan mereka terpaksa berteduh di gua. Tak sekali pun mereka pernah membicarakan adegan-adegan bergelora yang sering diputar-ulang oleh Kino di atas ranjangnya sendirian. Mba Rien seperti lupa tentang apa pun yang terjadi malam itu, seperti halnya ketika ia melupakan kejadian di pantai dan di gua. Segalanya normal-normal saja.
Dan hari-hari pun berlalu dengan cepat, musim berganti dari hujan ke panas, dari basah ke kering. Ada suatu masa kemarau yang agak panjang, membuat daun-daun menguning dan suasana gerah di mana-mana. Pada masa seperti itu, kota kecil tempat mereka tinggal pun seperti kehilangan energi. Orang-orang jarang mau ke luar rumah, lebih sering duduk-duduk di beranda, atau berteduh di bawah pohon di halaman sendiri. Toko-toko yang jumlahnya memang tidak banyak, juga sepi pengunjung. Babah Ong, pemilik toko kelontong di ujung jalan semakin sering mengomel-mengeluh.
******
Kemarau kali ini membawa cerita lain bagi Kino. Ia semakin dekat berhubungan dengan Alma dan semakin jarang bertemu dengan Mba Rien. Bukan apa-apa, tetapi memang suasana panas menghalangi keinginan pergi ke pantai, sementara sungai juga menipis airnya, dan kenari tidak berbuah. Lagipula, setiap kali mengantar Alma pulang, Kino dipaksa mampir. Ibunda Alma, Nyonya Tuti, seorang bidan satu-satunya di kota itu, menyukai pemuda ini. Ia selalu mempunyai alasan tepat untuk menyuruh Kino berlama-lama menemani Alma. Misalnya, hari itu ibu yang bertubuh gemuk bulat itu sudah menyediakan es cendol segar. Siapa bisa menolak itu di siang yang begini terik? Tetapi Kino bersopan-santun, mencoba menolak tawaran menggiurkan itu.
"Ayooo...," sergah Alma manja, menarik kelingking Kino, menyeretnya masuk ke beranda seperti menyeret anak kambing, "Kamu tadi bilang haus..."
"Sudah siang, Alma," kata Kino mencoba berdalih.
Ibu Tuti tertawa mendengar alasan Kino, "Setiap hari kalian pulang pukul 1, apa bedanya hari ini?"
"Ayooo...," Alma menarik-narik lagi, kali ini pergelangan Kino yang dicekalnya erat-erat. Terpaksa Kino melangkah masuk, menunduk menghindari tatapan Ibu Tuti yang seperti mau menggodanya sambil berkata, "Kino malu sama Ibu, ya? Baiklah kalau begitu Ibu masuk, kalian berdua saja minum cendol itu."
Begitulah, akhirnya Kino minum cendol yang memang segar. Berdua saja di beranda yang sepi. Ibunda sudah pergi ke paviluan sebelah, tempatnya membuka praktek KB. Rumah besar yang menghadap jalan kecil menuju pasar ini tampak lengang. Berhadapan, diam-diam, Alma dan Kino menghabiskan minuman mereka. Sejuk sekali rasanya leher menelan cendol-cendol yang dingin itu.
Kino menyukai suasana seperti ini, di mana ia bisa berlama-lama berhadapan dengan Alma tanpa siapa-siapa di sekeliling mereka. Wajah Alma yang selalu tampak segar itu (Kino kadang-kadang membandingkannya dengan buah jeruk manis yang baru dikelupas) selalu sedap dipandang. Apalagi kalau kedua matanya yang bening menatap kepadanya, dengan bulu mata lentik yang jarang berkerejap. Di suasana panas seperti ini, Kino senang sekali berteduh di sinar mata yang lembut itu. Senang sekali mereguk nada rindu yang mengalun pula dari sana.
"Apa, sih, yang kamu lihat?" sergah Alma sambil menggigit-gigit sendok plastiknya.
"Kamu." jawab Kino pendek, bertopang dagu dengan satu tangan.
"Setiap hari kamu lihat saya. Tidak bosan?"
Kino menggeleng. Pertanyaan kuno, ucapnya dalam hati sambil menahan tawa. Itu pertanyaan yang mengundang tanggapan lebih lanjut, mengundang kata-kata seperti, "tak kan pernah bosan" atau "mana mungkin aku bosan memandangmu" dan yang semacam itu. Kino mengunci mulutnya, tetapi tidak menyembunyikan senyum di matanya.
"Tidak bosan?" tanya Alma lagi, sudah berhenti menggigit-gigit sendoknya. Bibirnya yang semakin basah oleh minuman terlihat indah agak berkilauan.
Kino menggeleng lagi. Ia tahu Alma ingin mendengar serentetan kata-kata berbunga tentang ketidak-bosanan, tentang kerinduan yang menerus, tentang keinginan untuk selalu berdua. Tetapi Kino menguatkan hati. Kadang-kadang ia ingin menyampaikan segala sesuatu yang indah dalam diam. Tanpa kata-kata.
"Betul?" kali ini Alma terdengar penasaran, gemas diperlakukan seperti ini oleh pemuda yang tak pernah berhenti membuatnya terpesona.
"Kenapa tidak bosan?" tanya Alma.
Kino menahan senyum. Mengangkat bahu dan tetap mengunci mulutnya. Alma semakin gemas, dan karena tidak tahan lagi, ia bangkit berpindah tempat ke sebelah Kino. Jemarinya yang halus tiba-tiba saja sudah hinggap di pangkal lengan Kino, mengancamkan sebuah cubitan.
"Ayo jawab. Atau Alma cubit!" ucapnya sengit. Kino pura-pura tidak mendengar, memandang ke luar beranda dan melihat sekeliling. Sepi sekali siang ini.
Alma mencubit pelan. Mana tega ia mencubit keras. Kino meringis pura-pura kesakitan, lalu menoleh memandangi wajah Alma yang kini dekat sekali di sisinya. Aku ingin mencium bibir ranum yang basah itu, ucap Kino dalam hati. Pasti manis seperti es cendol yang diminumnya.
"Jawab...atau...," bisik Alma lirih, tak meneruskan kalimatnya melihat kedua mata Kino memandangnya dengan penuh rindu. Dekat sekali.
Kino semakin mendekatkan wajahnya sampai bibirnya hampir bersentuhan dengan bibir Alma. Gadis itu terdiam, jemarinya berhenti mencubit, berubah menjadi cengkraman lemah. Kino menghela nafas menikmati harum nafas Alma yang hangat menghambur dari mulutnya yang setengah terbuka. Perlahan-lahan wajah mereka semakin mendekat. Kino mencium gadis itu, merasakan manis gula jawa yang tersisa di bibirnya yang basah, mengulum lembut seperti khawatir tindakannya akan menimbulkan gempa bumi.
Alma menyambut ciuman Kino dengan mata terpejam dan dengan kehangatan yang justru mengusir terik kemarau hari itu.
*******
Suatu Sabtu di penghujung musim panas, Kino menerima sepucuk surat dari Mba Rien yang disampaikan lewat Susi. Ketika itu Kino baru saja tiba dari bermain voli di lapangan di depan kantor Pak Camat. Dengan tangan masih berpeluh, buru-buru disobeknya sampul putih yang cuma bertuliskan "untuk Kino di rumah" itu. Di dalamnya, ada sehelai kertas surat biru muda tipis, dan potongan sebuah brosur. Apa ini? tanya Kino dalam hati, lalu ia mulai membaca:
Adikku Kino yang cakep... (Kino tersenyum membaca sapaan ini. Ada rasa rindu menjalar tiba-tiba. Telah lama ia tak berjumpa Mba Rien).
Hari Minggu besok, Mba Rien akan pergi ke ibukota. Ada seorang sutradara tari menawarkan peran untuk sebuah pertunjukan besar. Mba Rien tidak tahu berapa lama akan berada di ibukota. Kalau peran itu jadi diberikan kepada Mba Rien, mungkin Mba Rien akan berada di sana lebih dari setahun .. (Kino menelan ludah, merasakan mulutnya kering. Lama sekali, setahun itu!)
Mba Rien ingin mengucapkan selamat tinggal. Rajin-rajinlah belajar agar nanti bisa bersekolah ke institut teknologi yang dulu pernah kamu ceritakan itu ...(Jantung Kino berdegup kencang. Mengapa tiba-tiba ia merasa dirinya akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga?).
Mba Rien tidak akan pernah melupakan kamu. Mba Rien juga tahu kamu akan tetap mengingat Mba Rien. Tetapi jangan lupa mengingat hal-hal lain yang penting dalam hidupmu. Terutama, jangan pernah melupakan cita-citamu, keinginan mu yang tertinggi...(Sampai di sini, Kino menghela nafas panjang, merasakan segumpal kesedihan menyumbat kerongkongannya. Apakah ini ucapan perpisahan?).
Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi. Sampaikan salam Mba Rien kepada orang tuamu. Jaga Susi baik-baik, ia seorang yang berbakat tari.
Peluk-cium, Mba Rien
NB : Mba Rien lampirkan potongan brosur pertunjukan tari di ibukota dan alamat sanggarnya. Kalau kamu berkesempatan, tengoklah Mba Rien di sana.
Kino melihat jam di dinding. Jarum menunjukkan pukul tiga sore. Masih ada waktu sebelum bertandang ke rumah Alma. Cepat-cepat Kino berlari ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang berkeringat dan berdebu. Seperempat jam kemudian ia sudah mengayuh sepedanya dengan kecepatan maksimum menuju rumah kost Mba Rien. Ia ingin menemui wanita istimewa itu untuk mengucapkan selamat jalan.
********
"Baru saja Mbak Rien pergi, dijemput oleh kakaknya naik mobil." kata Mbak Laras di depan pintu. Kino lemas mendengar penjelasan itu.
"Tapi, bukankah ia baru akan berangkat ke ibukota hari Minggu besok?" tanya Kino, seperti hendak mempersoalkan benar-tidaknya Mbak Rien telah pergi.
"Betul," jawab Mbak Laras, "Tetapi kakaknya ingin Mbak Rien menginap di rumahnya, sebelum berangkat ke ibukota. Di rumah kakaknya itu telah berkumpul kedua orang tua mereka dan anggota keluarga yang lain. Semacam pesta perpisahan."
"Rumah kakaknya tidak jauh, bukan?" tanya Kino, teringat tentang kepergian Mbak Rien sewaktu masa ujian dulu. Kalau tidak salah, jaraknya hanya 6 kilometer.
"Bukan kakaknya yang di dekat sini," kata Mbak Laras, "Yang menjemputnya tadi adalah kakak yang satu lagi, yang tinggal di kota L."
Kino merasakan bumi tempatnya berpijak bergoyang-goyang. Kota itu jauhnya 100 km dari sini. Ia menunduk lesu, bersandar ke pintu rumah kost, membuat Laras iba. Kasihan pemuda ini, pikir Laras dalam hati, ia pasti sangat kecewa tidak berjumpa "kakak kesayangan"-nya. Laras bisa membaca hubungan istimewa yang terjalin antara teman kostnya dengan pemuda ini, walau tak pernah tahu seberapa jauh mereka berhubungan. Ia hanya tahu, Rien sangat menyayangi pemuda ini, dan memberlakukannya seperti adik sendiri. Tapi ia tidak pernah tahu bahwa keduanya pernah bergumul di kamar ketika ia pergi menonton beberapa waktu yang silam.
Setelah mengucapkan permisi, Kino meninggalkan rumah kost itu dengan tubuh tanpa daya. Ia tidak menaiki sepedanya, melainkan berjalan saja perlahan-lahan. Hari telah menjelang senja, matahari dipenuhi semburat merah-jingga. Angin semilir seperti mencoba memberikan sedikit saja kesejukan di hari yang panas ini. Baju Kino basah oleh keringat, karena tadi ia mengeluarkan semua tenaganya untuk cepat-cepat sampai ke rumah kost. Kini ia mengutuk-utuk ajakan Dodi dan Iwan untuk main voli, dan menyesali diri karena menampik permintaan Susi untuk menjemputnya di sanggar. Seandainya tadi aku menjemput Susi, pastilah aku masih sempat bertemu Mbak Rien! umpatnya dalam hati. Sebuah batu agak besar di pinggir jalan ditendangnya. Tentu saja, jempolnya sakit bukan main, sedangkan batu itu tak bergeming.
******
Malamnya, malam minggu yang seharusnya indah, terasa kelabu bagi Kino. Ia berusaha menyembunyikan galau di hatinya sekuat tenaga. Tetapi percuma saja menyembunyikan perasaan di depan Alma. Gadis itu punya indra kesepuluh, khusus untuk menembus dinding kalbu Kino!
Akhirnya Kino mengaku dan menceritakan kepergian Mbak Rien. Tidak itu saja, Kino juga menceritakan hubungannya dengan Mbak Rien, setelah memberlakukan sensor ketat di sana-sini. Alma terdiam mendengarkan cerita itu. Gadis ini memang telah lama menduga bahwa antara Kino dan wanita itu terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan. Tetapi ia tidak pernah punya bukti, dan kalau ia bertemu Mbak Rien (dan ini sering terjadi), ia selalu menaruh hormat kepada wanita yang tampak selalu ceria tetapi juga penuh wibawa itu. Kini, melihat dan mendengar Kino bercerita tentangnya, Alma merasa dadanya bergemuruh. Cemburu. Iri. Curiga.
"Kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanyanya ketus.
"Karena kamu tidak pernah bertanya," jawab Kino, berusaha menyembunyikan kagetnya mendengar Alma berucap dengan nada ketus. Baru kali ini ia mendengar nada itu di suara Alma.
"Kenapa tidak kamu susul ke kota L," ujar Alma, kini dengan nada sinis.
Kino mengangkat mukanya, memandang Alma lekat-lekat. Benarkah ia berucap seperti itu, sinis begitu? Kino menemukan sebuah wajah dingin, dengan bibir terkatup rapat membentuk garis tipis yang tegas. Jelas sekali, Alma yang manis dan lembut itu kini sedang meradang. Marah.
Pukul 8 malam, hanya setengah jam dari waktu kedatangannya, Kino berpamitan. Alma tidak mengantar ke gerbang seperti biasa. Tidak membiarkan bibirnya dikecup. Tidak melambai. Kino berjalan gontai pulang ke rumah. Ia merasa, sebuah babak dalam kehidupannya usai sudah. Panggung sudah kembali diterangi lampu-lampu. Penonton sudah bertepuk tangan. Pemain telah berganti pakaian dan pulang ke rumah masing-masing.
Di langit banyak sekali ada bintang. Kino menengadah. Ia menyerah pada Sang Sutradara di atas sana. Babak pertama telah selesai.
Mari menutup layar.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1466