Mistis Cinta Pulau Terpencil
Hembusan angin laut datang silih berganti meninggalkan bunyi mencicit pada ruas tali temali dan tiang utama diatap kapal, yang diatasnya bertengger lampu berwarna merah dan hijau sebagai pemandu diwaktu malam. Alun yang datang dalam gulungan besar, laksana permadani raksasa berwarna biru, menggulung, mengunung dan seolah mau menelan kapal kayu yang sudah renta termakan asinnya air laut.
Bunyi mesinnya terdengar begitu ringkih, apalagi ketika haluan kapal mesti menyeruak, menembus gulungan alun yang memutar tiada henti dan menyisakan buih putih ketika memecah. Dilangit tak ada camar, awan hitam menggelantung menyisakan ujung runcing di kejauhan badai sedang berputar tepat dijalur yang mesti kami lalui agar dapat mancapai pantai Padang.
Para penumpang kelihatannya berusaha agar tertidur dan dapat sejenak melupakan bayangan ombak serta gelombang maupun angin badai yang sedang bergolak dan menakutkan. Hanya bunyi ombak yang tak henti mendesis ketika pecah dilambung kapal dan bunyi deritan panjang yang keluar dari persendian kapal kayu, yang sudah kering termakan umur. Bunyi deritan itu seperti sudah kukenal dengan baik.
“Dimana? Aku toh bukan pelaut ?”
Aku membatin dalam hati sambil terus memusatkan perhatian, menyimak derit demi derit disetiap alun yang datang dan pergi. Oh Tuhan. Betul, betul sekali, bunyi deritan itu sangat mirip dengan bunyi deritnya ranjang kayu di Mentawai, yang kering tanpa pelicin.
Oh.. Bunyi itu. Bunyi itu. Bunyi yang selalu mengiringi setiap gerak dan geliat kami, tatkala berpacu menikmati dan mereguk madu birahi yang terlarang.
“Upik.. Tolong lah. Aku sudah tak tahan lagi”
Pak Sitor menghiba sambil memegang pangkal kemaluannya yang panjang, hitam, dan berbentuk aneh. Kemaluannya sangat mirip ular cobra, kepalanya runcing mengkilat, makin ketengah makin besar dan melebar, tetapi dibagian pangkalnya kembali mengecil, keras, hitam dan kaku. Aku bergidik, merinding, membayangkan penis sebesar itu akan menusuk serta mengocok habis kemaluanku yang masih sempit karena belum pernah melahirkan dan masih dalam hitungan lima bulan semenjak diperawani suamiku.
“Pak saya takut. Jangan dulu dimasukin Pak..”
Aku mencoba menghindar ketika Pak Sitor hampir berhasil menindihku. Saat itu kami sudah telanjang bulat, aku sudah orgasme berkali kali karena ternyata Pak Sitor walaupun sudah berusia kepala empat, namun masih sangat lihai mempermainkan jari jemari serta menyedot dan memelintir kemaluanku dengan ujung lidahnya.
Diluar hujan laknat masih menderu mencurahkan air dari langit, hujan ini lah yang membuat Pak Sitor tidak bisa pulang kerumahnya, setelah menghantar aku dengan ojeknya tadi sore.
“Pak. Sebaiknya bapak tidur disini saja, sangat bahaya kalau mesti naik motor dalam keadaan hujan dan gelap begini”
Memang akulah yang menawarkan hal itu kepada Pak Sitor, aku berfikir toh dia sudah demikian akrab dan dekat dengan aku. Tiap pagi Pak Sitor menjemputku dirumah kayu ini dan mengantarkan aku ketempat kerja dengan ojeknya. Tidak pernah sekalipun dia terlambat menjemputku sehabis jam kantor, Teng… Jam empat dia sudah siap dengan motor bebeknya. Tidak ada pilihan lain selain mempergunakan ojek Pak Sitor sebagai sarana transportasi dari rumah kekantorku. Ini adalah kepulauan yang masih terbelakang, masih serba terbatas dan masih sarat dengan mistis.
“Iyalah pik.. Tapi… Dia kelihatan sedikit ragu ragu.
“Jangan kawatir Pak, aku tidur dikamar dan bapak tidur diluar, nanti akan kubentangkan kasur”
Tiba tiba listrik padam, gelap menerpa disekeliling kami.
“Wah upik. Kau lihat tak, tadi korek apiku kutarok dimana ya”
“Tidak Pak.. Saya nggak lihat. Waduh gelap sekali Pak”
“Oup”
Tiba tiba kami bertubrukan, secara reflek Pak Sitor memelukku dan aku marasakan ujung payudaraku menepel erat didadanya.
“Eeh… Maaf, Upik. Aku kaget”
“Tak apa apa Pak”
Untunglah keadaan gelap gulita sehingga Pak Sitor tak tahu kalau wajahku memerah karena jengah bercampur gelisah. Tubrukan tadi telah membangkitkan rasa aneh di hatiku, rasa yang hanya pernah aku alami ketika suamiku memeluk dan membelai payudaraku. Bulu bulu halus ditengkukku tiba tiba merinding, diikuti debaran jantung yang meninggi dan kerongkongan seperti tersedak karena dadaku terasa menyesak serta nafas jadi terengah engah.
“Tidak. Tidak.. Ini tidak boleh terjadi..”
Aku bergumam meyakinkan diri sendiri. Pak Sitor adalah tukang ojek yang terlebih dahulu kenal dengan suamiku, ketika beberapa bulan lalu dia berada disini sebelum berangkat ke Australia untuk tugas belajar.
“Dik. Sini aku kenalkan dengan Pak Sitor. Yang kemaren motornya kupinjam dan kita pakai jalan jalan”
Demikian suamiku memperkenalkan Pak Sitor kepadaku. Tidak ada yang istimewa dari penampilan Pak Sitor, kulitnya hitam tebakar matahari pulau yang selalu menyengat. Hanya saja badannya masih kelihatan kekar walaupun usianya hampir sebaya dengan ayahku. Pangkal lengannya padat berisi, dadanya bidang dan tegap, sementara wajahnya membayangkan watak keras dan pantang menyerah yang khas dimiliki orang orang dari Sumatera Utara. Belakangan baru aku tahu kalau Pak Sitor itu dulunya adalah kuli angkat barang di Teluk Bayur, pantaslah tubuhnya kekar dan tegap.
“Upik….”
Aku menarik tanganku dari genggaman Pak Sitor yang agak kasar dan keras, ketika kami bersalaman.
“Oh. Ini ya istri kau, Uda!”
Pak Sitor selalu menyebut dan memanggil suamiku dengan sebutan uda. Aku tahu itu panggilan yang keliru, karena uda adalah sama dengan panggilan Mas kalau di Jawa, sedangkan Pak Sitor pantasnya malah kami panggil ayah.
“Bah. Tak usah kau persoalkan kan lah masalah itu, aku kalau ketemu orang Jawa selalu kupanggil Mas. Tak ada yang protes”
Demikian sanggahan Pak Sitor ketika kami berusaha memberitahu dia mengenai ketidak tepatan panggilan uda kepada suamiku.
“Waduh kasian sekali kau Upik, masih penganten baru mau ditinggal pulak. Macam mana itu..!”
“Itulah Pak. Makanya aku titip istriku sama bapak, tolong jaga dia, antar dan jemput dia kekantornya setiap hari, dan untuk itu bapak akan dapat bayaran spesial dari kami. Tapi”
Aku ingin membantah tetapi suamiku telah memotong kata kataku dengan cepat sambil memeluk mesra bahuku.
“Sudahlah. Aku tahu Pak Sitor akan menjaga kamu dengan baik”
Jauh didalam lubuk hatiku, aku tidak setuju dengan keputusan suamiku, aku sedikit takut melihat penampilan Pak Sitor yang terlalu macho buat orang seusia dia.
“Tenang saja lah kau Uda. Dia akan kujaga dengan baik, akan kupastikan tak ada satupun orang lain yang bakal mengganggunya dipulau ini.”
“Terima kasih Pak”
Suamiku menjawab sambil menggamit tanganku dan mengajakku memasuki rumah kami. Itu dalah hari terakhir suamiku berada di pulau besamaku, sebentar lagi aku mesti ke dermaga mengantar dia untuk kembali ke Padang dan terus ke Australia selama satu setengah tahun dalam rangka tugas belajar dari perusahaannya.
Tidak ada lagi airmata ketika aku melepasnya dipelabuhan, semua sudah tumpah ruah tatkala semalaman kami bercinta habis habisan. Airmata dan air kemaluan kami mengalir menyatu dalam setiap pori kenikmatan yang kami pacu ronde demi ronde, seakan ingin menimbun stock orgasme buat hari hari penuh penantian selama kami berpisah.
Seiring perjalanan waktu, hubuganku dengan Pak Sitor semakin akrab, kekakuanku sedikit demi sedikit mulai mencair. Sesuai typical orang dari utara Pak Sitor bersifat terbuka, terus terang dan pemberani. Beberapa kali aku diganggu lelaki iseng sewaktu mau kepasar atau pulang jalan-jalan, tetapi semua mereka berubah hormat kepadaku begitu Pak Sitor menegur dan memarahi mereka.
“Eh.. Hati hati kau. Jangan ganggu si uni itu, atau kau diberi ketupat bangkahulu oleh lae Sitor”
Begitu yang pernah kudengar bisik bisik mereka. Suatu pagi aku kaget ketika Pak Sitor datang tidak sebagaimana biasanya.
“Lho.. Pak kok motornya diganti”
“Iyalah ini berkat bayaran yang kau berikan tiap bulan itu”
“Tapi motor kemaren kan masih bagus Pak”
“Betul tapi kurang kuat. Apalagi jalanan kan tambah rusak sejak musim hujan ini”
Betul juga, tidak jarang aku mesti turun dulu ketika motor memasuki lobang yang cukup besar karena motornya tidak sanggup membawa beban 2 orang. Sekarang motor Pak Sitor adalah Yamaha Rx King, memang lebih kuat dan lebih kencang walaupun hanya motor second.
Semenjak memakai motor baru, aku merasakan adanya kontak bodi yang lebih intens antara aku dan Pak Sitor, khususnya ketika kami berboncengan. Desain tempat duduk motor yang tinggi dibagian belakang serta posisi dudukku yang menghadap kedepan membuat tonjolan payudaraku sering menyentuh punggung Pak Sitor ketika motor direm mendadak atau memasuki lobang.
Pada awal awalnya aku berusaha agar hal itu tidak terjadi dengan menempatkan tasku sebagai pembatas, tetapi hal tersebut membuat aku hampir jatuh ketika motor masuk lobang dan tasku ikut bergeser seakan mau jatuh, reflek aku memegangnya, akibatnya peganganku ke sadel motor terlepas dan aku hampir terpelanting.
“Bah. Hati hati kau Upik, bisa bahaya kalau kau lebih perlu sama tas dari pada keselamatan diri kau!”
Pak Sitor memperingati aku dengan sedikit keras karena akibat pergerakan tubuhku tadi, motornya hampir masuk selokan.
“Maaf Pak. Aku nggak sengaja”
“Ya sudahlah… Sini tas kau akan kutarok di tengki bensin agar kau lebih leluasa berpegangan”
Akhirnya akupun menyadari bahwa Pak Sitor sepertinya sengaja melarikan motornya dengan kencang dan tiba tiba direm dengan mendadak agar payudaraku bisa menempel ke punggungnya. Semula aku sempat marah tetapi lama lama ada suatu dorongan dari hatiku. Kenapa nggak dinikmati aja, cuma nempel aja kok!
Terus terang tiap kali payudaraku menempel dipungung Pak Sitor, biasanya dia akan meliukkan motornya kekikri dan kekanan sehingga punggungnya terasa bergesekan dengan puting susuku. Aku memejamkan mata menikmati sensasi liar itu. Aku tahu dengan pasti Pak Sitor juga menikmatinya, tetapi kami sama sama diam dibawa angan masing masing. Kadangkala ketika rumahku tinggal beberapa meter lagi Pak Sitor sengaja membelokkan motornya..
“Upik.. Nanti aku akan langsung pulang kerumah. Jadi aku tambah bensin dulu ya”
“Iya.. Pak”.
Aku tahu itu hanya akal akalan Pak Sitor agar aku lebih lama duduk diboncengannya dan diapun dengan sengaja menempuh jalan memutar menuju ke kedai bensin. Sampailah pada suatu sore dimana dikantorku begitu banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari itu juga, karena laporannya mesti dikirim dengan kapal besok pagi ke kota Padang.
“Pak, Aku pulang habis magrib jadi bapak kesini aja nanti ya”
Aku memberi tahu Pak Sitor ketika jam empat tadi dia sudah standby di depan kantorku.
“Oh, Iyalah, kalau begitu bisalah awak narik satu dua tarikan lagi ya”
Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum dan Pak Sitor segera berlalu dengan cepat. Pak Sitor datang tepat waktu, pas habis magrib dia sudah membunyikan klakson motornya didepan kantorku yang gelap karena tidakpernah ada lampu penerangan.
“Iya Pak. Sebentar aku rapikan kertas dulu”
Aku menyahuti panggilan klakson Pak Sitor yang sudah ber tit tit tit berkali kali, didalam hati aku ngedumel. Nggak sabar amat sih jadi orang!
“Bah, Lama kali kau. Aku kawatir nanti kehujanan, kau lihat lah langit itu. Sudah mau runtuh dia”
“Oh.. Maaf Pak saya kira gelap karena udah malam aja”
“Habis kau dari pagi sampai malam begini cuma melotot melihat kertas yah.. Mana kau tahu mau hujan apa tidak!”
Aku segera melompat menaiki sadel motornya, kulihat langit memang sudah hitam pekat dan angin bertiup dengan kencang seperti mau mematahkan barisan pohon nyiur yang berderet dipinggir pantai.
“Kau pegang yang kuat ya. Aku mau kencang dikit biar tak kehujanan kita”
Belum sempat habis omongannya, motor sudah berjalan dengan kencang, mau tak mau aku harus memeluk tubuh Pak Sitor dari belakang. Nafasku mulai terasa sesak begitu merasakan sentuhan punggung Pak Sitor pada payudaraku. Sentuhan itu mengirimkan ransangan melalui puting susu dan menjalar kesekujur tubuh serta membuat bulu bulu halus dikudukku jadi meremang.
Pandanganku nanar, tubuhku terasa lunglai, apalagi aroma rambut Pak Sitor yang asli dan alami telah mempercepat degup jantungku, akhirnya kurebahkan tubuhku sepenuhnya memeluk erat punggung Pak Sitor. Aku tak peduli lagi motor itu mau kencang atau tidak, aku tak peduli hari mau hujan atau tidak. Yang ada dihati dan otakku adalah rasa senang bisa menikmati duduk berdempetan dengan laki laki.
Ingin rasanya tangan ku kuturunkan dari pingang ke selangkangan Pak Sitor tetapi rasa malu masih tersisa jauh dilubuk hatiku, niat itu aku urungkan hanya pipiku yang kutempelkan tepat didibawah ujung rambut Pak Sitor. Melalui kupingku dapat kurasakan getaran hebat sedang terjadi ditubuh Pak Sitor, jantungnya bedebar kencang dan motorpun jadi melambat. Tubuh Pak Sitor yan biasanya membungkuk memegang stang motor, sekarang berdiri tegak dan duduknyapun seperti sengaja digeser lebih kebelakang.
Tanpa kusadari posisi dudukku sekarang sudah semakin mengangkang, apalagi jalanan sepi serta gelap gulita, maklum daerah terpencil dan ditambah lagi dengan keadan hujan yang akan segera turun. Aku pakai celana panjang dengan bahan dasar yang cukup tipis sehingga aku dapat merasakan bagian alat vital ku menempel ketat ke pinggang Pak Sitor. Pelukanku semakin rapat dan denyut jantung serta denyut vaginaku berpacu dipinggang dan punggung Pak Sitor.
“Upik… Kita sudah sampai”
“Oh”
Aku terperanjat dan kaget, karena konsentrasiku pada saat itu hanya sebatas payudara dan vaginaku yang terasa mulai basah. Setelah lebih sembilan bulan ditingal suamiku ke Australia, tuntutan kebutuhan bathin itu semakin hari semakin menggila, tak heran sedikit saja tersentuh alat vitalku segera bereaksi.
Begitulah awal mula dari malam laknat tersebut terjadi antara aku dan Pak Sitor.
“Bah.. Lama kali lampu ini padam, biasanya setengah jam sudah nyala lagi”
“Iya Pak.. Mungkin ada pohon tumbang dan memutus kabel listrik, maklum angin dan hujan kencang begini”
Aku harus berteriak memberikan jawaban, karena suara ku hilang disela sela gemuruh air hujan yang mengguyur atap rumah yang terbuat dari seng.
“Upik sudah jam berapa ini”
“Hampir jam sepuluh Pak.” Jawabku
“Aku harus pulang… Hujan begini bisa bisa besok pagi baru berhenti”
Pak Sitor berkata sambil berdiri dan menggulung kaki celananya. Saat itulah tanpa kusadari ada sesuatu yang medorong mulutku untuk bicara, aku sudah berusaha menolak bisikan itu tapi aku tak kuasa. Dia seperti datang dari jauh membisikkan kata dengan penuh gema dan kekuatan gaib.
“Upik… Jangan biarkan dia pulang. Hanya dia satu-satunya manusia yang dapat menemanimu dalam gelap seperti ini”
Aku seperti mencium bau wangi yang aneh yang datang entah dari mana.. Ya.. Itu bau kemenyan putih yang dibakar.
“Hai Upik.. Kenapa kau melotot seperti itu.. Apa yang kaulihat”
Pak Sitor menghampiriku dalam keremangan lampu dinding, aku masih terkesima oleh bisikan dan wanginya bau kemenyan itu.
“E.. E h nggak Pak, Nggak apa, maksud sa.. ya… Tidak aku tidak boleh mengatakan itu. Aku coba melawan bisikan gaib itu.
“Eh macam mana kau ini. Ada apa Upik, kok kau seperti melihat hantu… tak perlu takut Upik, dalam hujan lebat begini jangankan orang, hantu saja sudah segan jalan keluar, jangan kawatir..”
Pak Sitor seperti sengaja memberikan intonasi yang berat ketika mengucapkan kata hantu… apakah dia tahu kalau aku memang sangat takut dengan hantu. Walaupun aku belum pernah melihat hantu itu seperti apa.
“Kalau dia pergi kau akan tinggal sendiri dalam gelap dan sunyinya malam!”
Bisikan itu kembali datang mendera, sementara bau kemenyan semakin semerbak membuat kepalaku mulai pusing. Ketakutan tiba tiba menyelimuti segenap jiwa dan ragaku, aku mulai kehilangan kontrol atas fikiran warasku.
“Pak… Jangan pulang”
Kata kata itu terlempar dan keluar dari mulutku begitu saja, aku tak menghendaki perkataan itu tapi aku juga tak kuasa mencegah bibirku untuk mengucapkannya.
“Diluar gelap Pak dan hujan masih deras nggak usah pulang”
Aku semakin kehilangan orientasi, tubuh dan jiwaku seperti dikusai sesuatu, aku tak berdaya untuk bertindak dan berfikir sesuai keinginanku, oh Tuhan..Kekuatan apa yang telah merasuk kejiwaku.
“Baiklah, aku temanin kau malam ini, tapi tolong panaskan air aku ingin minum kopi”
Seperti robot aku mengikuti permintaan Pak Sitor, aku ingin membantah dan bicara, tapi lidahku kelu dan sama sekali tak bergerak ketika otakku memberikan perintah.
“Wah sedapnya kopi buatan kau ini Upik, sama seperti orangnya manis”
Pak Sitor tiba tiba sudah merangkul bahuku dan kepalaku jatuh dalam pelukannya. Aku hanya diam, kemana kekuatan dan keberanianku selama ini. Dia bukan suamiku, dia hanya tukang ojek, tua dan hitam! Tapi aku tak kuasa menolaknya. Tepat diubun ubun kepalaku, panasnya nafas Pak Sitor menyengat tersembur keluar dari hidungnya yang pesek, seketika tubuh ku terasa kaku, dan panas itu semakin menjalar dari kepala terus kebawah.
Ketika panas itu melewati payudaraku, terasa bagaikan jari jari kekar menggelitik dan menjentik halus kedua putingnya. Payudaraku meregang keras dan memadat, kedua putingnya bagai berlomba mencuat lurus dan kaku, siap menerima remasan dan hisapan. Rasa panas yang diiringi bau kemenyan nan makin menyengat terus menelusuri permukaan tubuhku, aku tidak lagi duduk dipangkuan Pak Sitor tapi sudah terbujur kaku didepannya.
Rasa panas itu sekarang mengelinding dari pusar turun ke arah kemaluanku, bulu bulu halus kemaluanku serentak berdiri bagai dikomando. Perasaan aneh menyelimuti fikiranku, aku bagaikan terbang dan melayang, vaginaku bagai tersengat aliran listrik, berdenyut, mengembang dan menguncup sendiri tanpa bisa kutahan, aku begitu teransang oleh harumnya bau kemenyan dan aliran udara hangat itu.
Aku dapat merasakan denyutan vaginaku semakin kencang dan dari dinding bagian dalamnya aku dapat merasakan aliran cairan hangat menyeruak kepermukaan. Celana dalamku mulai basah dialiri cairan itu, pinggulku tak kuasa kutahan untuk tidak bergerak turun naik.
Tiba tiba secercah cahaya datang menimpa wajahku, aku kaget dan seperti terbangun dari mimpi. Persis dihadapanku bola pijar 40 watt sudah menyala listrik kembali hidup.
“Pak… Aku kenapa”
“Wah tak apa apa Upik… Kau hanya tertidur dan menggigau… Mungkin kau kecapean”
Sepintas aku melihat Pak Sitor memegang sejumput daun daunan ditangan kanannya sedangkan tangan kirinya sibuk mengipas perapian kecil yang entah datang dari mana. Diatas bara kelapa, onggokan kemenyan mengeluarkan asap dan bau yang beraroma kemitisan.
“Upik… Kau sedang capek, sekarang pejamkan matamu… Biar kupijat kau”
Aku ingin berontak. Aku ingin lari, aku ingin berteriak, tetapi kemana tenagaku. Kemana suaraku. Aku hanya bisa terkapar diam dan pasrah. Aku tak kuasa tuk mengangkat kedua tanganku, semua persendianku seperti terkunci dan berat, hanya mataku yang masih terbuka sambil menatap apa yang akan diperbuat Pak Sitor terhadap tubuhku.
Pak Sitor mencelupkan daun daunan ke air kembang di dalam baskom plastik hijau, yang biasa kugunakan buat menarok kain cucian.
“Wah tubuh kau panas sekali Upik. Biar kucipratkan dulu air ini agar kau merasa segar kembali”
Tetes demi tetes air itu jatuh menerpa mukaku, setiap tetesnya kurasakan bagaikan bongkahan air es, dingin dan sangat meyejukkan.
“Sekarang santai saja dan pejamkan mata kau”
Kurasakan kedua jempol Pak Sitor menekan halus kedua alis mataku, gerakannya lembut dan teratur. Mulai dari bagian mata sebelah dalam terus keujung mengikuti garis alisku yang tipis dan tersusun rapi. Tiba tiba kedamaian dan kesejukan seperti dihembuskan kesetiap pori pori kulit dan menjalari seluruh hati dan jiwaku.
Pijatan Pak Sitor mulai turun kearah bahuku, aku sekarang bisa menikmatinya tanpa perlawanan sama sekali. Pijatan itu sedikit demi sedikit terus turun, turun mili demimili dan jari jarinya mulai menelusup kebawah bajuku.
“Upik… Sekarang kau duduk.. Biar kupijat bagian punggungmu”
Tak kuasa aku menolak, Pak Sitor persis duduk behadap hadapan denganku, hembusan safasnya panas menerpa hidungku. Kedua telapak tangannya diletakkan dibahuku, jemarinya meremas lembut batang leherku dan sedikit menyentuh pangkal kupingku.
Oh… Aku merasakan tubuhku melemas dan syahwat mulai terbangun kembali. Tangan itu masih terus menelusup kepunggungku, meraba, membelai sekaligus mengirimkan signal ransangan yang begitu kuatnya. Tangan itu tidak hanya diam disitu, dia terus bergerak dan dengan sentakan halus pengait BH ku terlepas sudah.
“Upik.. Bajumu kubuka ya… Biar lebih leluasa aku memijatnya”
Aku hanya diam dan terpejam, sekarang aku duduk tanpa baju, sementara BH masih mengantung ketahan dikedua lenganku. Pangkal payudara ku sudah tak tertutup dengan sempurna, putih kulitnya memancarkan cahaya kenikmatan dimata Pak Sitor, matanya tak pernah lepas dari situ.
“Oh.. Upik… Ini buah paling ranum yang pernah aku lihat, biarkan aku memegangnya”
Aku tidak mengerti kenapa dia mesti minta izin, karena belum lagi habis ucapannya aku sudah merasakan remasan kasar dikedua payudaraku. Remasan itu keras dan memutar, mula mula dipangkal payudara terus merambat naik menuju putingnya.
Oh… Setiap gerakan jemari Pak Sitor menimbulkan getaran hebat kesekujur tubuhku. Permukaan tangannya yang kasar menimbulkan sensasi dan halunisasi yang belum pernah kurasakan selama ini.
“Upik…. Biar kuhisap puting susu kau ya”
Aku hanya diam. Dua kutub fikiran yang bertentangan berkecamuk didalam otakku, sebelah ingin menolak perlakukan Pak Sitor tapi sebelah lagi mendorong aku untuk menikmatinya.
“Jangan… Pak”
Aku berkata jangan… Tetapi tangan kiriku justru bergerak sendiri memegang payudaraku dan menuntunnya ke bibir Pak Sitor. Pak sitor menghisap putingku dengan gemasnya, aku betul betul sudah tak punya perlawanan lagi. Pasrah dan berharap Pak Sitor segera melumat seluruh permukaan tubuhku.
Vaginaku berdenyut kencang sekali, bibir bibirnya saling merapat dan merenggang seirama hisapan Pak Sitor di payudaraku. Aku dapat merasakan sesuatu sedang bergerak jauh dari dalam rahim ku. Rasa itu makin lama makin dekat menuju clitorisku dan rasa itu mendorong cairan hangat mengaliri permukaan dan dinding dinding vaginaku.
“Upik…. Tak enak kita dilantai ini”
Pak Sitor memangku tubuhku menuju kamar dan menidurkan akau ditempat tidur kayu satu satunya dirumahku. Satu demi satu pakaian dalamku dilorot Pak Sitor dari tempatnya, aku telentang pasrah tanpa sehelai benangpun, kulitku yang halus dan putih mebuat mata Pak Sitor tambah beringas. Bibirku sedikit terbuka terdorong rasa haus sex yang terbangun akibat rabaan dan remasan Pak Sitor tadi.
Tanpa dapat aku tahan pangkal pahaku telah terbuka dengan sendirinya, aku merasakan cairan hangat mengalir disela sela bibir vagina dan turun membasahi pangkal pahaku. Pak Sitor telah melempar semua pakaiannya, tubuhnya yang kekar laksana raksasa dalam siluet keremangan cahaya lampu. Dia menaiki tempat tidur dari arah kakiku dan dia berjongkok diantara kedua selangkanganku.
Tiba tiba kedua tangannya memegang dengkulku dan mendorongnya kekiri serta kekanan, kini vaginaku telah terbentang lebar dihadapannya. Badannya menunduk dengan pelan, aku merasakan kecupan hangat tepat dilobang pusarku. Aku menggelinjang karena rasa geli dan ransangan yang menghunjam dan mengharu biru semangat kewanitaanku.
Kedua tangannya terbentang lurus keatas, menggapai pucuk runcing payudaraku, sementara kepalanya bergerak turun menapak bulu halus yang menutupi bagian atas vagina ku. Aku dengar suara berguman yang tak jelas ketika mulut dan lidah Pak Sitor mulai menyibak dan menggelitik bibir kemaluanku.
Oup… Pinggulku seperti telompat ketika ujung lidah Pak Sitor menyapu dan menjilat clitorisku. Sementara tangannya masih tetap asyik meremas dan mencubit halus kedua payudaraku. Cairan bening dan hangat telah tumpah membasahi bibir dan mulut Pak Sitor, aku dengar bunyi kecipak.. Ketika lidah Pak Sitor begerak cepat dan memutar dipermukaan vaginaku.
Panasnya ludah dan lidah Pak Sitor telah membuat nafsu dan gairahku hampir mencapai puncaknya. Lidahnya makin kencang menusuk lobang vagina dan bibirnya semakin kuat menghisap clitorisku.
“Pak… Terus Pak… Hisap… Hisap… Hisap”
Aku berkata sambil terengah engah.. Karena dorongan kenikmatan yang luar biasa sedang menjalar jauh dari dalam tubuhku menuju kearah vagina. Dia terus bergerak seperti rasa buang air kecil yang sengaja ditahan tahan. Setiap kali Pak Sitor menghisap clitorisku maka dorongan itu semakin kuat dan terus mendekat kepermukaan vaginaku.
“Pak.. Lidahnya Pak… Tusukkan kedalam.. Yah… Ya… Didindingnya Pak… Jilat!!”
Aku semakin menekan kepala Pak Sitor agar lidahnya dapat lebih dalam lagi menusuk vagina ku. Tiba tiba dia melakukan gerakan yang tidak aku sangka sangka, vaginaku dia buka lebar lebar dan mulutnya menghisap habis semua lendir serta cairan yang ada divaginaku.
“Ooh… Pak… Aku nggak tahan… Aku lleepass”
Cairan putih bening itu.. Langsung hilang kemulut Pak Sitor, dia begitu lahapnya menelan dan membersihkan vaginaku dengan lidahnya.
“Pik… Sekarang giliran aku ya, coba kangkangkan lagi pantek kau… Supaya gampang aku tembus”
“Pak… Jangan dulu aku takut”
Kulihat Pak Sitor telah siap menusukkan penisnya yang hitam legam dan laksana ular cobra dengan kepala besarnya. Tangan kanannya mengenggam penis itu sambil tetap mengosok gosok bagian ujungya.
“Wah… Tak apa apa pik, toh… Lobang pantekmu sudah basah semua, gampang lah masuknya.”
Aku tidak dapat lagi mencegahnya, dia membungkuk diatas perutku, ujung penisnya diletakkan tepat dilobang vaginaku. Baru ujungnya saja sudah hampir menutup semua lobang itu, bagaimana kalau dia mendorongnya masuk.
“Pak… Pelan pelan ya”
“Tenang kau Upik…. Asal kau kangkangkan yang, lebar pasti enaklah masuknya”
Badan Pak Sitor makin membungkuk, bibir dan lidahnya melumat habis bibir dan mulutku, sebelah tangannya bertumpu ke pinggiran dipan kayu yang kami tiduri sedangkan sebelahnya siuk meremas paudaraku.
“Ouh… Pak… Aku basah lagi”
Sedotan kencang dibibirku membuat naluri nafsu kewanitaanku kian mengganas dan remasan kasar di payudaraku menimbulkan rasa nikmat yang luar biasa yang mendorong vaginaku kembali mengembang dan mengeluarkan cairan.
Aku rasakan pantat Pak Sitor mulai menekan dengan pelan, aku takut membayangkan kontol hitam besar tesebut akan merobek vaginaku, aku coba sedikit mengeser pantatku tetapi percuma karena ujung runcing kontol Pak Sitor telah mulai memasuki pitu gerbang kemaluanku.
“Upik…. Jangan bergerak kau… Nanti kontolku meleset bisa luka pantekmu… Diam saja sampai aku masuk semua”
“Iya… Pak… Tapi… Jangan.. Masukkan semua”
Aku makin merasakan bagian kepala kontol Pak Sitor telah menyeruak kedalam lobang vaginaku, aku juga merasakan dengan pasti betapa sesuatu seperti mengganjal diselangkanganku, tetapi tidak seperti yang kubayangkan ternyata tidak menimbulkan rasa sakit.
Karena posisi Pak Sitor yang membungkuk membuat pangkal kontolnya yang keras terus menekan dan menggosok clitorisku. Semakin kencang dia menusukkan kontolnya semakin enak pula aku rasakan.
“Oh… Pak…. Tekan yang kuat Pak… Iya…. Yang kencang Pak”
“Sudah habis masuk semua Upik…. Oh.. Tinggal bijinya yang masih diluar”
“Pak… Bijinya mengenai bawah pantekku Pak… Waduh… Enak Pak… Terus Pak”
Tak ada lagi yang lain difikiranku, yang aku rasakan saat ini hanyalah nikmatnya genjotan Pak sitor yang makin lama makin kencang… Sekaligus mengeluarkan bunyi berkecipak karena vaginaku betul betul telah mandi madu nikmat
“Pak.. Pelankan dikit… Nanti dipanku bisa patah”
“Biar aja Upik…. Besok kubetulkan kalau patah”
Dipanku hanya dipan kayu biasa.. Dan tiap gerakan mengocok yang dilakukan Pak Sitor selalu diiringi bunyi berderit dari kayu dipan yang sudah kering.
“Pik… Angkat sedikit pantat kau… Biar kontolku tepat menusuknya”
“Iya Pak… Nih.. Tusuk yang keras Pak”
“Oh oh oh…. Pik aku mau lepas”
“Aku juga.. Pak”
“Boleh didalam tak”
“Terserah… Pak.. Ayo… Aku datang…. Oh”
Gerakan Pak Sitor makin menggila sementara kedua lengannya erat memeluk pinggangku. Membuat tubuh kami bagian bawah betul betul menyatu dan tusukan kontolnya begitu dalam menghunjam. Aku rasakan tiba tiba tubuhnya mengejang.
“Oh… Upik… Aiirrnya… Tumpah ohh”
Semprotan hangat terlepas bertubi tubi dari ujung kontol Pak Sitor, setiap semprotan diiringi oleh getaran kepala kotol yang terasa neggelitik bagian dalam vaginaku.
“Oh… Pak…. Tusukkan lagi Pak… Aku hampir sampai”
Pak Sitor menarik kontolnya dan kembali menusukkan dengan kekuatan penuh.
“Oh… Siitoor aku… Keluar… Lepas… Sitor”
Aku berteriak sekuatnya, ketika rasa nikmat orgasme itu, menjalar dari bagian dalam rahimku, bergerak keluar dan lepas di clitoris yang tertekan pangkal kontol Pak sitor yang masih berdenyut kencang. Derit dipan kayu semakin kuat terdengar “Nyeit… Nyeit… Nyeit” dan tiba tiba aku merasakan getaran hebat menguncang dipan tempat tidurku.
Aku seperti tersadar oleh getaran tadi. Aku melihat sekeliling, dimana Pak Sitor, aku memegang selangkanganku. Masih kering dan aku masih memakai celana panjang.
“Muaro… Muaro… Padang… Padang”
Aku tersentak dari lamunanku, getaran hebat yang tadi aku rasa ternyata ditimbulkan oleh benturan kapal ke dermaga. Nun disana.. Kulihat seseorang melambaikan tangannya. Dia adalah suamiku. Aku sangat menyesali atas semua yang menimpaku selama aku tinggal dipulau itu, aku telah menjadi korban kehebatan ilmu hitam Pak Sitor yang dia pelajari dari penduduk setempat. Kupeluk erat suamiku, kutumpahkan tangis dan rinduku didadanya
“Uda… Maafkan Upik….”
“Sudahlah Upik…. Itulah sebabnya Uda mengirim Inyiak dukun untuk menjemputmu, karena dari jauh dia sudah tahu kalau kamu kena diguna-guna”
“Mari sayang kita lanjutkan bulan madu kita yang terputus, aku sudah tak sabar ingin mencium wanginya aroma vaginamu”
“Ah Uda”
*****
Demikian kisah nyata diatas diceritakan oleh pelakunya sendiri, sekarang mereka telah kembali berkumpul dan sedang berbahagia menungu kelahiran anak mereka yang pertama. Anda punya cerita juga! Kenapa tidak kita nikmati bersama! Kirimkan ke emailku untuk kita teruskan kepada segenap pencinta, penikmat dan penghamba keindahan sex.
Tamat
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2661