6. Ranjang Yang Ternoda - Perawan & Pria Tua
Dina sangat kaget, ia tidak menyangka ternyata sejak awal suaminya berada di dalam ruangan tempat ia melayani nafsu dua bos tua yang penuh nafsu terkutuk. Ibu muda yang cantik itu sama sekali tak mengira, Pak Pramono tega melakukannya.
Anton ternyata berada di dalam ruangan kantor Pak Pramono sepanjang hari ini. Ia bisa mendengar dengan jelas dan melihat bayangan Dina dari balik kelambu tempatnya disembunyikan dengan badan terikat dan mulut tersumpal. Suami Dina itu bisa melihat tubuh sang istri dipermainkan dengan buas oleh dua lelaki tua yang haus seks, perasaan Anton hancur melihat istrinya menderita, apalagi semua ini terjadi karena ulahnya yang menggunakan aset kantor. Ia tak mengira sama sekali perbuatannya yang merugikan perusahaan tertangkap basah dan berdampak langsung pada kehancuran kehidupan rumah tangga Anton dan Dina.
Dina mengusap pipinya yang basah oleh air mata, ia tidak menduga akan bertemu Anton dalam situasi seperti ini. Entah kenapa, Dina merasa malu dan berusaha menutup ketelanjangannya dari tatapan nanar mata Anton yang menyala penuh kebencian. Kedua tangan Dina bergerak menutup dada dan selangkangannya, walaupun usaha itu tentunya tak berhasil. Sementara itu, dua sosok lain yang juga telanjang, Pak Bambang dan Pak Pramono tertawa melihat Anton yang terikat erat di kursi tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan istrinya.
Sambil bermain-main, Pak Pram merenggut tangan Dina dan membimbingnya ke arah kemaluannya yang kembali menegang. Dengan gerakan berulang, didorongnya tangan Dina naik turun mengocok kemaluannya. Mulusnya tangan Dina membuat Pak Pramono kembali terangsang, penis itu membesar dan ukurannya membuat Anton terbelalak takjub. Dina menggelengkan kepala dan merintih memohon ampun dengan air mata menetes. Tidak ada seorangpun yang akan percaya, ia – seorang ibu muda yang alim – sedang mengocok kemaluan pria lain di hadapan suaminya. Tetesan air mata Dina deras menuruni wajah membasahi lantai. Hebatnya, setelah berkali-kali menegang hari ini, Pak Pram tidak menunjukkan tanda-tanda kecapaian, malah kemaluannya kembali menegang menantang usai dikocok perlahan oleh jari-jari lentik Dina.
Pak Pramono menjambak rambut Dina agar kepala perempuan jelita itu tak bergerak kemana-mana. Dengan nakal Pak Pram mengoleskan ujung gundul kemaluannya ke mulut Dina dan menggesekkannya di pipi, mata dan hidung istri Anton itu. Dina tahu apa maksud Pak Pram, dengan terpaksa ibu muda dua anak itu membuka mulut. Tanpa menunggu aba-aba, Pak Pram langsung melesakkan penisnya yang besar menjejal masuk ke mulut Dina. Anton terbelalak melihat kemaluan Pak Pram yang besar dan panjang bisa masuk ke mulut Dina, ia bisa membayangkan penderitaan sang istri yang harus membuka mulutnya lebar-lebar agar benda itu bisa masuk.
Ada sensasi aneh melihat seorang suami berada dalam posisi tak berdaya menyaksikan istrinya sibuk menyepong lelaki lain tepat di depan matanya, apalagi sang istri adalah seorang wanita molek yang sangat cantik dan seksi seperti Dina. Sensasi itu membuat Pak Pramono mencapai klimaks dengan sangat cepat. Hanya beberapa menit disepong Dina, Pak Pram menyemprotkan pejuhnya membanjiri mulut istri Anton. Dina terbatuk-batuk dan berusaha memuntahkan kembali sperma Pak Pram yang dijejalkan ke tenggorokannya, untunglah Pak Pram segera menarik batang kemaluannya sehingga wanita cantik itu tidak sampai kehabisan nafas. Karena Pak Pramono menarik penisnya dengan terburu, air maninya menyemprot juga ke wajah Dina.
Dengan penuh kemenangan, Pak Pramono menyorongkan wajah Dina yang belepotan air mani ke arah sang suami. “Lihat ini baik-baik, Pak Anton. Lain kali anda berbuat kesalahan, yakinkan diri anda untuk menebus kesalahan itu sebelum sesuatu seperti ini terjadi.”
Anton menatap jijik wajah istrinya yang belepotan sperma lelaki lain, ia menatap geram ke arah Pak Pramono. Dina yang merasa kotor menunduk malu tak berani menatap mata Anton sementara pejuh bercampur air mata menetes dari pipi turun ke lantai.
Sambil duduk di kursi, Pak Pramono dengan santai mengelus-elus tubuh Dina yang duduk lemas di lantai. Wanita cantik itu bahkan tak berani menatap mata suaminya yang terikat erat, ia tahu nasib dan masa depan mereka berada di tangan Pak Pramono dan rekannya yang bernama Bambang.
Pak Pram melirik ke arah Pak Bambang yang ternyata sudah kembali menyiapkan kemaluannya. Dengan senyum menghina Pak Pram menatap Anton yang menatap tak percaya gerakan Pak Bambang menarik Dina dan membaringkannya di lantai. Tubuh gemuk Pak Bambang masuk di antara kaki jenjang Dina yang putih mulus. Dengan main-main pria tua itu menepuk penisnya yang besar di selangkangan sang ibu muda.
“Aku tidak akan menjamin istrimu bisa menikmati penisku ini, Pak Anton. Tapi aku bisa menjamin kalau AKU pasti menikmati detik demi detik mencicipi tubuh seksi istrimu.” Kata kakek tua itu.
Anton meraung namun karena mulutnya tersumpal kain, tak ada suara keluar dari mulutnya. Dina menggelengkan kepala karena kelelahan, ia tidak mengira Pak Bambang akan menyetubuhinya lagi dan kali ini, langsung di hadapan suaminya!
“Siap Ibu Dina? Mudah-mudahan yang kali ini bisa membuatmu hamil ya.” Pak Bambang terkekeh lagi. Ia menarik pinggulnya ke belakang dan dengan kecepatan tinggi menghunjamkan penisnya masuk ke dalam kemaluan Dina.
“Ahhhhh!! Sakit!!” jerit Dina sambil memejamkan mata, air mata menetes dari ujung pelupuknya. Bermain cinta tanpa foreplay sangat menyakitkan bagi seorang wanita, karena liang rahimnya belum benar-benar basah oleh cairan pelumas yang keluar dari dinding vagina. Kali ini Pak Bambang menusukkan penisnya di saat Dina belum siap, membuat penis yang lebih besar dari milik Anton itu meraja di liang kemaluan sang ibu muda. Dina menjerit kesakitan tiap kali penis Pak Bambang menusuk masuk ke dalam memeknya.
Anton tidak bisa mempercayai pemandangan yang kemudian berlangsung di depan matanya. Selama hampir seperempat jam istrinya yang cantik jelita disetubuhi oleh monster tua bertubuh gemuk menjijikkan. Lebih pedih lagi bagi Anton, istrinya itu berulang kali mengejang dan berteriak-teriak kesakitan tiap kali Pak Bambang melesakkan kontolnya ke dalam. Karena tak tahan dengan sodokan demi sodokan penis Pak Bambang, Dina akhirnya mengangkat kakinya dan menggunakan kaki jenjang itu untuk memeluk pinggang Pak Bambang yang lebar sementara tangannya mengait di leher. Istri Anton yang merem melek akhirnya mencoba menikmati permainan ini, bahkan dengan berani Dina menggoyang pinggulnya untuk membalas sodokan penis sang kakek tua.
“Ehhhmmmm… a-aku sudah mau keluaaar…” begitu nikmatnya Dina dientoti Pak Bambang sampai-sampai wanita cantik yang tadinya alim itu meracau tak jelas. “Auuuhh… ehmm… jangaaan… teruuuus… sakiit… ugh… ahhh… ahh…”
Akhirnya Dina tak kuat lagi menahan nafsu birahinya yang sudah memuncak, tubuhnya langsung mengejang dan tak lama kemudian liang rahimnya dibanjiri oleh cairan cinta. Pak Bambang menyusul Dina tak lama kemudian, tubuhnya menegang, lalu bergetar, lalu tanpa bisa ditahan, air mani menyemprot tanpa henti di dalam memek Dina yang masih dijejali kemaluannya. Air mani mengalir dari sela-sela penis yang melesak di dalam memek Dina dan menetes keluar.
“Ha ha ha. Lihat ini, Pram. Gadis kecilmu ini benar-benar pelacur, mudah sekali dia dibikin orgasme. Berani taruhan, pasti kontol suaminya tidak sanggup memuaskannya seperti ini.” kata Pak Bambang. “Pak Anton! Istrimu jago ngentot nih, aku puas sekali. Mudah-mudahan ada spermaku yang bisa menembus ke dalam dan menghamilinya. Pengen lihat aku, kalau bapaknya sejelek aku, ibunya secantik istrimu, anaknya jadi kayak apa…”
Pak Pram melangkah dengan penuh percaya diri menghampiri suami Dina yang terikat tak berdaya di kursi, penisnya masih berdiri tegak seakan menantang kejantanan Anton yang tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan istrinya digumuli dua orang bejat. “Istrimu enak sekali dientoti, Pak Anton. Susunya empuk, memeknya rapet, bibirnya mungil, bokongnya bulet, pokoknya enak sekali dientoti. Mudah-mudahan kami tidak merusak memeknya, karena penis kami ukurannya jauh lebih besar daripada milikmu yang sebesar pensil itu. Memek Ibu Dina masih terhitung rapat untuk kami berdua, tapi saya tidak yakin ukuran penis Pak Anton akan sanggup memuaskan Ibu Dina. Apalagi Ibu Dina sudah merasakan nikmatnya dientoti dua laki-laki sejati.”
Pak Bambang tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan Pak Pramono yang menyakitkan bagi Anton itu. Di samping Pak Bambang, Dina terbaring lemas dengan memek yang masih terus mengeluarkan sperma tumpahan sang kakek bejat. Berkali-kali ibu muda itu terbatuk sambil mengeluarkan air mani Pak Pramono yang masih tersisa di mulutnya.
“Lihat keadaan istrimu sekarang, Pak Anton. Bisa dibayangkan berapa banyak pejuh yang sudah kami tumpahkan dalam rahim Ibu Dina. Mungkin saja kelak Ibu Dina akan melahirkan anak kembar, yang satu mirip Pak Bambang dan yang satu lagi mirip saya.”
Kembali Pak Bambang tertawa, Pak Pramono amat pintar memanipulasi kata-kata untuk mengumbar emosi Anton.
“Untuk mengakhiri semua penderitaan ini…” kali ini Pak Pram tidak main-main, ia mendekat ke arah Anton, menatapnya tajam dan mencengkeram kedua lengannya dengan sekuat tenaga, “aku sangat berharap Pak Anton mau bekerja sama untuk terakhir kalinya dengan kami.”
Keringat Anton mengucur deras, apalagi yang diinginkan bosnya yang kejam ini? Dia sudah menghancurkan hidupnya, hidup Dina, hidup keluarganya. Apalagi yang diinginkannya?
“Pak Bambang adalah orang yang sangat kaya dan sangat mampu membiayai kehidupan Ibu Dina selanjutnya, termasuk biaya untuk menyekolahkan kedua anak kalian dan biaya hidupmu yang menyedihkan itu. Kami akan berbaik hati menyediakan sebuah rumah di kota lain dan modal untuk usaha bagi Pak Anton, sekaligus menjamin kehidupan kedua anak kalian, dengan syarat… Pak Anton bersedia menceraikan Ibu Dina dan menyerahkan kepemilikan Ibu Dina pada Pak Bambang. Itu artinya, Pak Anton tidak boleh bertemu lagi dengan Ibu Dina… selamanya.”
Mata Anton dan Dina terbelalak tak percaya, mereka tidak mempercayai pendengaran mereka, benarkah Pak Pram mengajukan proposal pada Anton untuk menjual Dina? Anton menggeram marah dan melompat-lompat gemas. Pria itu meraung-raung dan menggeram penuh emosi, tapi dalam keadaan terikat ia tidak bisa berbuat banyak, air matanya menetes membanjiri wajah, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, semua ini terjadi karena kesalahannya. Ia harus tunduk pada indecent proposal yang diajukan oleh bosnya ini kalau ingin selamat.
Dina menangis tersedu-sedu, ia terlalu lemah untuk menolong Anton, wajahnya menunduk ke bawah dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah.
“Aku tidak tertarik menikahi wanita ini.” tiba-tiba saja Pak Bambang berucap. “Akan tetapi, aku punya seorang anak yang usianya kurang lebih sama dengan Pak Anton, bedanya kalau Pak Anton lulusan universitas terkenal, anakku itu lulusan SLB. Sangat tidak membanggakan seorang konglomerat punya anak idiot, tapi akan sangat membanggakan memiliki cucu cantik seandainya anakku itu menikah dengan wanita secantik Dina.”
Kali ini giliran Pak Pramono yang menganga heran. Ia memang sudah tahu kalau Pak Bambang memiliki seorang anak idiot yang disembunyikan di sebuah villa jauh dari kota besar. Tapi ia tidak menyangka pria tua ini berniat menikahkan Dina dengan anaknya itu, benar-benar tindakan yang di luar perkiraannya.
Mendengar kata demi kata yang diucapkan Pak Bambang, mata Dina menjadi berkunang-kunang, pandangannya pun mengabur. Wanita cantik itu ambruk ke lantai dan pingsan.
Kisah penderitaan Dina belumlah usai, justru baru akan dimulai.
###
Ruang Dokter Wibowo menjadi sepi ketika sang dokter berusia lanjut itu menerangkan dampak kecelakaan yang menimpa Hendra, suami Alya.
“Kecelakaan fatal yang dialami oleh Pak Hendra mengakibatkan beliau menderita trauma atau benturan di kepala dan akibatnya terjadi kerusakan syaraf motorik pada jaringan fungsi otaknya. Sejauh pengamatan kami hingga saat ini, mulai dari bagian bawah perut hingga ke ujung kaki syaraf beliau tidak bisa berfungsi secara normal dan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan. Saluran pengeluaran beliau sejauh ini tidak mengalami masalah, tapi tidak ada jaminan beliau akan mampu melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berjalan ataupun berlari secara normal, termasuk melakukan hubungan suami istri. Walaupun kelumpuhan semacam ini tidak permanen tapi bisa dikatakan kelumpuhan Pak Hendra adalah kelumpuhan jangka panjang.” Kata Dokter Wibowo.
“Ja-jadi suami saya lumpuh, Dokter?” Seluruh tubuh Alya bergetar dan airmatanya tidak berhenti meleleh membasahi pipi. Lidya memeluk kakaknya yang sedang tertimpa musibah dan berusaha menenangkannya agar tetap tabah. Tubuh Alya bergetar menggigil karena perasaannya panik dan kalut, Lidya hanya bisa berdoa agar semua masalah yang menimpa keluarga mereka segera bisa terlewati.
“Lumpuh dari bagian perut ke bawah, beliau tidak akan bisa menggunakan kedua kaki dan tidak akan lagi mampu melakukan hubungan suami istri, walaupun seperti yang saya katakan tadi, tidak ada masalah dengan saluran pengeluarannya.” Lanjut Dokter.
“Apakah kelumpuhan itu bisa sembuh nantinya, Dokter?” tanya Alya lagi.
Sang dokter menggeleng, “belum bisa dipastikan, Bu Hendra. Dalam beberapa kasus, kelumpuhan semacam ini memang bisa sembuh karena sifatnya tidak permanen dan hanya menimpa bagian tubuh tertentu saja, walaupun tidak bisa dipungkiri kemungkinan Pak Hendra bisa kembali pulih seperti sediakala dalam waktu singkat mungkin hanya hanya sekitar 5 sampai 6%, itupun dalam jangka waktu yang sangat panjang bahkan mungkin hingga menahun, apalagi semakin tua umur seorang penderita, makin berkurang pula kemampuan syarafnya bisa pulih. Sangat tipis kemungkinan Pak Hendra bisa sembuh total.”
Ruangan Dokter Wibowo yang berada di RS ***** menjadi sangat panas, ac memang sudah menyala, tapi perasaan orang-orang yang berada di dalam ruangan itu semua sangat kacau balau. Alya, Lidya dan Anissa sedang berada di dalam ruang periksa dokter sementara Andi, Dodit dan Pak Bejo menanti di luar. Opi tidak ikut menemani mereka dan dititipkan pada Bu Bejo di rumah.
“Berapa lama kakak saya harus menjalani rawat inap, Pak Dokter?” tanya Anissa, seperti halnya Alya, gadis cantik itu juga menangis sesunggukan meratapi nasib kakak kandungnya yang malang.
“Paling cepat sekitar dua minggu dan paling lambat mungkin satu bulan, tergantung dari kondisi Pak Hendra sendiri. Saat ini beliau sangat lemah dan tidak bisa melakukan aktivitas apapun, walaupun bagian perut ke atas bisa dibilang tidak mengalami cidera serius.” Jawab Dokter.
“Seandainya suami saya tidak mengalami masalah dengan saluran pengeluaran, kenapa dia tidak bisa melakukan kegiatan suami istri, dok?” tanya Alya lagi.
“Sayangnya, kecelakaan itu juga membuat beliau mengalami impotensi. Saya masih belum bisa memastikan apakah impotensi Pak Hendra juga bersifat temporer atau permanen. Hasil testnya baru bisa diperoleh dalam beberapa hari ke depan.” Jawab Dokter Wibowo.
Air mata Alya kembali meleleh, tapi ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah merawat suaminya. Ketiga wanita cantik itupun meninggalkan ruang dokter.
“Mbak Alya tidak apa-apa, kan?” tanya Lidya khawatir melihat kakaknya.
“Tidak apa-apa. Aku bersyukur Mas Hendra selamat dari kecelakaan itu.” kata Alya kemudian. “Aku tidak peduli dia cacat atau lumpuh, aku akan selalu berada disisinya, aku sangat mencintainya. Di saat sulit seperti inilah, aku wajib menemaninya.”
Anissa dan Lidya saling berpandangan dan kagum pada Alya yang sedang berusaha kuat menabahkan diri. Tapi sesungguhnya, kisah penderitaan Alya belumlah usai, justru baru akan dimulai.
###
Annisa memperhatikan Alya yang masih duduk di samping ranjang Hendra dengan setia. Tidak mudah mengajak Mbak Alya pulang walaupun mungkin kakak iparnya itu sudah sangat kelelahan. Mbak Lidya dan suaminya sudah pulang dan Mbak Dina belum juga menunjukkan batang hidungnya sedari tadi. Harus ada seseorang yang menemani Mbak Alya seandainya dia butuh makan atau mengurus administrasi rumah sakit yang belum selesai. Anis segera mendiskusikan masalah itu dengan Dodit dan Pak Bejo.
“Begini saja, Non.” Usul Pak Bejo. “Karena Mbak Alya belum mau diajak pulang, sebaiknya salah satu dari saya atau Mas Dodit mengantar dulu Non Anis pulang karena hari sudah mulai gelap. Nanti kalau Mbak Alya sudah merasa capek dan ingin pulang, yang tinggal di sini bisa mengantar pulang setiap saat. Kalaupun Mbak Alya mau menginap di sini, lebih baik ada seseorang yang menemani.”
Annisa menganggukkan kepala, “wah, kalau begitu biar Mas Dodit saja yang tinggal di sini, kalau-kalau nanti Mbak Alya mau cari makan atau mengurus surat-surat, Mas Dodit bisa lebih cepat membantu.”
“Saya juga tidak apa-apa kok, Mbak.” Kata Pak Bejo.
“Terima kasih, Pak, tapi sepertinya kami sudah terlalu banyak ngrepotin Pak Bejo.” Kata Dodit. “Kamu pulang dulu aja ya, say. Aku tinggal di sini sama Mbak Alya.”
Annisa mengangguk sementara Pak Bejo tersenyum malu-malu. “Wah, Mas Dodit ini bisa aja, saya gak merasa direpotkan kok Mas, kan keluarga Mas Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”
“Iya sih, tapi siapa tahu Bu Bejo juga ada urusan yang gak bisa ditinggal? Kan kasihan anak-anak Pak Bejo kalau di rumah gak ada yang ngurus? Lagipula mobil yang dibawa Pak Bejo kan mobil pinjaman dari saudara, pokoknya, kami sekeluarga berterimakasih banyak sama Pak Bejo.” Kata Dodit lagi, sambil tersenyum dia mengambil dua lembar lima puluh ribuan berwarna biru dan memberikannya pada Pak Bejo saat bersalaman. “Ini Pak, buat beli rokok.”
“Lho? Mas Dodit gimana sih? Gak usah, Mas! Beneran, gak usah!” Pak Bejo menggeleng kepala sambil berusaha mengembalikan uang Dodit, pria tua itu memang jagonya sandiwara, pura-pura nolak padahal pengen. Pemuda baik hati itu tetap memaksa sambil memasukkan uang ke dalam saku baju Pak Bejo.
“Cuma seadanya kok, Pak. Buat beli rokok atau ganti bensin nganterin Non Anis.”
“Iya, Pak. Gak apa-apa, diambil aja.” Rayu Anissa sambil tersenyum manis.
Pak Bejo yang pintar bersandiwara pun pura-pura luluh dan menerima uang pemberian Dodit. “Wah, sebenarnya saya melakukan ini semua tanpa pamrih apa-apa, Mas Dodit. Beneran. Keluarga saya sudah sangat sering ditolong Mas Hendra dan Mbak Alya, ini kesempatan saya untuk membalas kebaikan hati mereka. Terima kasih banyak ya, Mas Dodit. Non Anis.”
Dodit dan Anissa mengangguk dan tersenyum ramah. Setelah Anissa dan Dodit berbincang-bincang berdua, akhirnya mereka menemui Pak Bejo di teras rumah sakit.
“Ayo, Pak. Kita pulang sekarang.” Ajak Anis, gadis itu melambaikan tangan pada Dodit. “Aku pulang dulu ya, say. Titip Mbak Alya sama Mas Hendra.”
“Iya. Hati-hati di jalan.” Balas Dodit.
“Mari, Mas Dodit. Saya duluan.” Ujar Bejo.
“Iya, Pak Bejo. Saya titip Anissa ya.”
“Pokoknya beres, Mas.” Pak Bejo menyeringai aneh sambil meninggalkan Dodit di tangga rumah sakit dan mengiringi kepergian Anissa menuju mobil. Dodit menatap kepergian orang tua itu dengan perasaan yang tidak enak, tapi dia percaya penuh pada tetangga Mas Hendra itu karena Pak Bejo sekeluarga sudah seperti saudara sendiri. Kenapa orang tua itu menyeringai aneh? Dodit menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan masuk kembali ke gedung utama rumah sakit.
Sementara itu, kemaluan Pak Bejo bergerak menegang karena gembira. Kesempatan berduaan dengan Anissa telah datang. Pantat bulat si cantik itu akan jadi miliknya.
Anissa tidak sadar, ia kini sedang berada dalam ancaman hebat lelaki yang sudah memperkosa kakak iparnya. Anissa sudah berada dalam genggaman Pak Bejo Suharso!
###
Nada tunggu.
Tidak ada yang mengangkat, Lidya menutup gagang telpon.
Lidya bertanya-tanya kemana Mbak Dina sebenarnya. Sudah sejak pagi dia tidak bisa menghubungi HP dan telepon rumahnya. Mas Anton juga sama saja, tidak bisa dihubungi. Kemana mereka pergi? Mas Andi sudah mencoba menjemput tapi ternyata rumah mereka kosong dan terkunci rapat, anak-anak juga tidak terlihat berada di rumah. Padahal ada musibah yang menimpa salah satu anggota keluarga, tapi Mbak Dina gagal dihubungi. Kasihan Mbak Alya, dia amat butuh dukungan dari keluarga. Kemana Mbak Dina sebenarnya?
Usai gagal mencoba menghubungi Mbak Dina, Lidya melangkah masuk ke dapur untuk menghangatkan lauk makan malam. Pikiran wanita muda itu sangat kalut, ia sama sekali tidak menyangka, di saat dia mengalami masalah berat ternyata kesulitan yang tak kalah hebatnya dialami oleh Mbak Alya. Apa sebenarnya yang terjadi pada keluarga mereka? Lidya merasa beruntung suaminya sudah pulang, kedatangan Andi membuat Pak Hasan tidak berani macam-macam terhadapnya, walau sekali dua kali Pak Hasan dengan nakal menepuk pantat atau mencolek buah dadanya.
Lidya mulai mengambil bahan makanan dari dalam lemari es dan menyusunnya dengan rapi di tempat yang sudah ia sediakan. Ketika sedang sibuk menyiapkan bahan masakan itulah tiba-tiba saja ada sepasang tangan perkasa memeluk tubuh Lidya dengan sangat kuat. Wanita cantik itu tidak bisa bergerak dan pucat pasi. Mulut yang berbau minuman keras, tangan yang nakal menggerayang, tubuh yang masih tegap dan kasar. Orang ini jelas Pak Hasan, Andi akan memperlakukannya dengan lebih lembut.
“Pak! Jangan ah! Mas Andi kan ada di atas! Dia sedang mandi… bagaimana kalau dia nanti…”
“Memangnya kenapa kalau Andi sedang mandi di kamar atas? Kita pasti akan mendengar suara langkah kakinya kalau dia turun lewat tangga. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, Nduk. Sejak anakku datang, kamu selalu menghindari aku dan tidak pernah lagi mau berdua denganku.” Desis Pak Hasan menahan emosi. “Aku kangen sekali dengan tubuhmu yang molek ini, aku ingin tidur denganmu.”
“A-aku…” Lidya kebingungan mencari kata-kata yang tepat.
Kepanikan Lidya dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Pria tua itu menggunakan kedua tangannya untuk menjelajah keseksian tubuh sang menantu. Tangan kirinya masuk ke dalam celana pendek Lidya dan meremas-remas pantatnya yang bulat, sementara tangan kanannya memainkan buah dada Lidya yang ranum. Pantat Lidya putih mulus dan sangat halus tanpa cacat, sangat merangsang nafsu Pak Hasan. Sedangkan buah dada menantu Pak Hasan itu tidak perlu lagi diceritakan, bulat besar menggiurkan.
“A-aku tidak mau melakukan ini lagi …” Lidya mencoba meronta dan melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya, sia-sia saja karena pria tua itu jauh lebih kuat. “Lepaskan aku… Mas Andi…”
“Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh anakku itu seandainya dia turun ke bawah dan melihat kita sedang bermesraan seperti ini, hmm? Ayah kandungnya sedang bermain-main dengan pantat mulus dan payudara molek istrinya.” Pak Hasan membisikkan kata-kata yang membuat Lidya urung melakukan perlawanan. “Aku hanya ingin menikmati keindahan tubuhmu, Nduk. Bukan hal yang aneh kan? Kita sudah berulang kali bermain cinta dan…”
“Aku tidak ingin melakukan ini lagi!” Lidya mencoba tegas.
Karena jengkel, Pak Hasan menggeram dan mendorong tubuh menantunya sampai menempel ke tembok. Karena posisi tubuhnya yang terjebak pelukan Pak Hasan dari belakang, Lidya tidak mampu melawan, dia terdorong ke depan sampai menempel ke tembok. Untunglah dorongan Pak Hasan tidak cukup keras sehingga menyakiti sang menantu. Lidya menjerit kecil tapi karena takut Andi akan mendengar suaranya, si cantik itu menutup mulutnya sendiri.
Dengan terengah-engah Pak Hasan menahan agar tubuh Lidya tetap menempel di tembok dapur, pria tua berbisik perlahan ke telinga Lidya. “Aku sudah berusaha ramah padamu, Nduk. Tapi kalau kau mengajak main kasar, aku tidak akan segan-segan meladenimu. Aku ingin kau mendengarkan kata-kataku karena aku tidak akan mengulanginya lagi… paham?”
Lidya mengangguk dengan ketakutan.
“Aku ingin menidurimu lagi. Aku tidak peduli Andi sedang berada di rumah atau pergi bekerja, tapi saat aku ingin memasukkan kontolku ke dalam memekmu yang wangi, maka kau wajib membuka lebar-lebar kakimu agar aku bisa menikmatinya. Aku tidak suka perlawananmu hari ini, dan sebagai hukumannya, selama seminggu ini aku akan memberikan perintah-perintah yang harus kau turuti. Kalau tidak mau melakukannya, aku akan tetap menjepitmu dalam posisi ini sampai Andi turun ke bawah.” Ancam Pak Hasan. “Pendek kata, aku ingin kau menjadi budakku seminggu ke depan, bagaimana?”
Lidya menggeleng kepala, “A-aku tidak ingin melakukan ini lagi… ini salah… ini…”
Terdengar langkah kaki di lorong kamar atas, sepertinya Andi sudah bersiap turun ke bawah menyusul Pak Hasan dan Lidya. Keringat istri setia itu menetes sebesar jagung, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak mau lagi melayani kebejatan sang mertua, tapi kalau Mas Andi sampai tahu, seluruh dunia mereka pasti akan hancur berantakan. Detik demi detik berlalu, terdengar langkah kaki Andi turun melalui tangga, Lidya makin panik, ia berusaha meronta tapi gagal karena jepitan kunci Pak Hasan sangat kuat. Dengan hati remuk redam, akhirnya Lidya mengangguk pasrah.
“Baiklah…” bisik Lidya lemah.
“Baiklah apa?” Pak Hasan meringis keji penuh kemenangan sambil mengulum-ngulum daun telinga Lidya. “Baiklah kau akan menjadi budakku atau baiklah kau akan nekat membiarkan Andi melihat kita sedang bermesraan?”
“Baiklah aku bersedia menjadi budak bapak…” desahan yang keluar dari mulut Lidya terdengar panjang dan pasrah.
Kisah penderitaan Lidya belumlah usai, justru baru akan dimulai.
###
Mobil yang dikendarai Pak Bejo berkelak-kelok melalui jalan yang belum dikenal Anissa, karena memang belum mahir menyetir mobil, Anissa kurang begitu mengenal wilayah dan tidak hapal jalan-jalan kecil yang dilalui Pak Bejo. Tapi kali ini Pak Bejo melalui jalan yang tidak biasanya dilalui, berkelak-kelok melalui jalan sempit dan melewati daerah yang sepi hunian. Kendaraan yang berpapasan dengan mobil mereka bisa dihitung dengan jari.
Rumah sakit tempat Mas Hendra dirawat dan rumah tempat tinggal Mbak Alya memang cukup jauh, tapi jalan yang dilalui Pak Bejo ini seakan-akan membuat perjalanan mereka pulang menjadi lebih jauh dan lama. Karena hari mulai gelap, Anis memberanikan diri bertanya pada Pak Bejo.
“Pak, kita lewat jalan apa sih? Kok kayaknya malah jadi lebih jauh?” tanya Anissa.
“Oh, maaf. Saya belum menjelaskan ya? Kita mampir sebentar ke rumah adik saya, Non Anis. Kebetulan tadi dia sms katanya ada titipan untuk istri saya.”
“Oh gitu. Sms yang masuk saat kita keluar dari rumah sakit ya?”
“Iya. Nggak apa-apa kan, mampir sebentar?”
“Nggak apa-apa kok, tapi sebentar saja ya, Pak.”
“Iya.”
Walaupun jengkel karena tidak diberitahu sebelumnya kalau Pak Bejo akan mampir ke tempat lain, Anissa diam saja. Perjalanan berlanjut tanpa ada percakapan lagi, Anissa terus melirik ke arah jam tangannya karena walaupun hari semakin larut, tidak ada tanda-tanda mobil akan berhenti.
Tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak di tengah kawasan perbukitan yang dipenuhi pohon rindang dan amat sepi, mereka jauh dari jalan utama dan sudah cukup jauh untuk kembali ke rumah sakit. Annisa mulai khawatir, walaupun ia sangat percaya pada Pak Bejo tapi karena hari sudah gelap, Anissa mulai berpikiran macam-macam.
“Kok berhenti di sini, Pak?” Anissa makin ragu. “Pak Bejo yakin ini jalan pulang ke rumah Mbak Alya?”
Ada sesuatu yang ganjil pada kelakuan Pak Bejo sore ini dan makin lama kecurigaan Anissa makin besar, walaupun masih muda, Anis bukanlah gadis bodoh. Rute pulang yang tidak seperti biasa, alasan mampir di rumah saudara, berhenti mendadak di tengah jalan, situasinya makin aneh. Anissa memeluk dirinya sendiri yang menggigil dan mulai membayangkan hal yang tidak baik.
“Aduh, saya minta maaf, Non Anis. Tiba-tiba saja saya ingin buang air kecil, sebentar saja ya Non…” rayu Pak Bejo. Anissa tidak bisa melihat senyum licik tersungging di bibir Pak Bejo karena gelapnya malam.
“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya Pak, saya takut.” Anissa tersenyum, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan meyakinkan bahwa Pak Bejo bukanlah orang jahat.
Pria tua itu meninggalkan kursinya dan melangkah keluar mobil sambil menahan tawa iblisnya.
###
Anissa sedang menikmati lantunan lagu jazz lembut yang mengalun di radio ketika terdengar ketukan pelan di jendela mobilnya. Wajah Pak Bejo yang tiba-tiba muncul mengagetkan dara itu. Anis memencet tombol membuka jendela.
“Ada apa, Pak?” tanya Anissa.
“A-anu, non… sepertinya saya kehilangan kunci mobil sewaktu buang air kecil tadi.”
“Aduuuh… Pak Bejo ini gimana sih?” nada suara Anissa meninggi karena jengkel, tapi gadis itu segera memperbaiki nada suaranya agar Pak Bejo tidak marah. Mereka hanya berdua saja di tempat sepi ini dan hal terakhir yang diinginkan Anissa adalah membuat Pak Bejo marah. “Saya temani deh mencari kuncinya.”
Anissa melangkah keluar dari mobil, karena hari mulai gelap, ia menggunakan nyala HP-nya sebagai penerang sementara Pak Bejo menyiapkan lampu darurat bertenaga baterei yang ia ambil dari bagasi mobil. Karena sering memakainya, Pak Bejo sudah sangat hapal dengan mobil yang ia pinjam dari salah seorang sepupunya ini.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Anissa, di suatu tempat di lokasi itu, Pak Bejo baru saja menggelar koran yang sudah ia bawa sedari tadi sebagai alas, tempat di mana nantinya Pak Bejo akan menikmati malam terindah bersama Anissa, tempat di mana Anissa akan kehilangan kegadisannya.
Anissa mulai khawatir karena Pak Bejo menggiringnya makin masuk ke tengah pepohonan rindang dan sudah cukup jauh dari jalan utama. Gadis itu mulai merasa seakan-akan dia sedang memasuki satu jebakan.
Akhirnya Anis menyerah, “Saya telpon Mas Dodit aja deh, Pak… hari sudah terlalu malam, saya takut…”
Belum sempat Anissa melanjutkan kata-katanya, Pak Bejo dengan sigap menubruk gadis itu! Anissa menjerit ketakutan karena tiba-tiba disergap Pak Bejo yang bertubuh besar, ia ambruk ke tanah dan HP yang sedari tadi ia bawa terlempar jauh.
“PAK BEJO! APA-APAAN INI?!” Anissa mencoba menyadarkan pria tua yang sudah lupa diri itu, tapi Pak Bejo sudah berubah menjadi setan dengan hawa nafsu tak terkendalikan. Bagaimanapun Anissa mencoba meronta dan melawan, Pak Bejo tetap tak bergeming. Dengusan nafas Pak Bejo yang berat membuat Anissa makin panik, ia tahu apa yang diinginkan Pak Bejo saat ini, ia tahu pasti dari dengusan nafas penuh nafsu itu. “LEPASKAN SAYA!! LEPASKAAAAN!!”
Jeritan, pukulan, cengkraman, semua upaya silih berganti dilakukan oleh Anissa yang terus meronta dalam pelukan lelaki tua berotak mesum itu. Sayangnya Pak Bejo adalah seorang preman yang sangat kuat, semua perlawanan Anis malah membuat pria tua itu semakin terangsang, makin Anis melawan, makin ingin rasanya Pak Bejo menaklukkan si cantik ini. Setelah si jelita itu takluk nanti, Pak Bejo akan menidurinya tanpa ampun!
Cukup lama dua sosok manusia itu bergumul di tanah, Pak Bejo yang mulai merasa jengkel akhirnya mengeluarkan pisau lipat dari dalam kantong celananya dengan susah payah dan menempelkannya di leher Anissa.
“Kalau begini terus, kita berdua yang akan rugi dan kelelahan, Non Anis.” bisik Pak Bejo sambil menekan leher Anissa dengan pisau dan mengancamnya. Anissa yang menyadari adanya sebilah pisau yang siap menggorok lehernya akhirnya menghentikan semua aksi perlawanan.
Dengan senyum kemenangan dan terkekeh pelan, Pak Bejo mengelus pipi Anissa. “Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah ingin mencicipimu, gadis manis.”
“Dasar lelaki tua busuk! Bajingan! Laknat! Lepaskan aku sebelum…”
JLEB!
Pak Bejo menancapkan pisau tepat di sebelah kepala Anissa dengan penuh kemarahan, gadis itu langsung lemas dan menggigil ketakutan. Mata Anissa mulai berkaca-kaca karena ia sadar bencana apa yang saat ini sedang mengancam dirinya. “Jangan… jangan…”
Pak Bejo kembali menarik pisaunya dari tanah dan menempelkannya ke leher Anissa.
“Kamu sudah dewasa, sudah tahu permainan apa yang sedang kita mainkan saat ini. Aku tidak akan segan menyakitimu baik dengan pisau ini ataupun dengan tangan kosong seandainya kau berani melawanku. Lebih baik kita bekerja sama maka aku tidak akan menyakitimu, setuju?” dengan sengaja Pak Bejo menekan pisaunya lebih dalam ke leher Anissa namun tidak sampai menyayat kulitnya yang putih mulus seperti pualam.
“I-Iya…” lirih Anissa menjawab, ia sangat ketakutan. Air mata gadis itu mulai menetes.
“Cup cup, tidak perlu menangis, sayang. Aku janji tidak akan menyakitimu, semuanya pasti baik-baik saja dan menyenangkan. Kalau sampai tidak enak, jangan panggil aku Bejo. Heh heh heh…”
Dengan penuh percaya diri, Pak Bejo memeluk Anissa dan menempelkan kemaluannya yang sudah membesar ke paha sang gadis cantik. Tangan pria tua itu bergerilya menyusuri seluruh tubuh Anis, bergerak turun dari atas, mulai rambut, hidung, pipi, leher, hingga ke payudara.
“Kamu cantik sekali, sayang.” Bisik Pak Bejo di telinga Anis.
Anissa memejamkan mata ketika bibir hitam pria tua itu menelusuri leher dan pipinya, sentuhannya membuat bulu kuduk sang dara berdiri dan merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Belaian demi belaian Pak Bejo disarangkan, semua demi mencoba membuai angan Anissa yang masih dilanda shock dan ketakutan yang amat sangat.
Tangan Pak Bejo dengan mahir membuat gadis itu rileks dan mulai pasrah pada tangan jahil sang pria tua. Nafas Anissa mulai berat, walau pasti tidak mau mengakui, tapi gadis itu pasti mulai terangsang. Kali ini Pak Bejo menarik tangan dan menjelajah masuk ke perut Anissa dari bagian bawah pakaian yang dikenakan dara cantik itu.
Sentuhan lembut Pak Bejo mau tidak mau membuat Anissa merinding, pria tua itu bisa merasakan gelinjang tubuh Anis ketika tangannya bergerak ke atas menuju ke buah dada sang dara yang ranum. Gadis itu menatap Pak Bejo dengan mulut terbuka kecil dan mata yang menerawang entah ke mana.
Mengetahui Anissa sudah mulai terangsang, Pak Bejo memberanikan diri menyingkap baju dan BH gadis muda itu. Sekejap saja, gundukan payudara sentosa sang dara menyambut dinginnya malam dan siap dinikmati oleh sang pria tua. Pak Bejo mengusap dan meremas payudara Anis, membuat gadis itu menjerit lirih karena tak kuat menahan nafsu.
“Ouuughhh…” desah Anissa lirih ketika puting susunya dipermainkan lidah Pak Bejo.
Kecupan demi kecupan membuat Anissa yang masih minim pengalaman bercinta menjadi merem melek menahan diri agar tidak terangsang.
“Aheemm… haaahhh… ahhh…” erangan sensual Anissa terdengar sangat erotis bagi Pak Bejo, ia menggigit puting payudara gadis itu dengan gigitan kecil dan meninggalkan cupang di balon buah dadanya.
Kepasrahan Anissa membuat Pak Bejo dengan bebas melucuti satu demi satu pakaian yang dikenakan gadis itu. Sesuai dengan namanya, Pak Bejo adalah orang yang ‘bejo’ atau beruntung. Ia menjadi orang pertama yang menikmati keindahan utuh tubuh seksi sang gadis muda rupawan ini. Akhirnya kedua sosok berlainan jenis itu bertelanjang bulat.
“Benar-benar bidadari turun dari langit.” Walaupun hanya diterangi oleh lampu darurat, tapi setiap lekuk keindahan tubuh Anissa bisa terlihat jelas oleh Pak Bejo. Pria tua itu menundukkan kepala dan mendekatkan bibirnya ke bibir Anis. dengan satu sapuan, bibir mereka saling bersentuhan. Bibir mungil yang ranum, basah dan sensual. Dengan penuh nafsu, Pak Bejo melumat bibir Anis.
Pak Bejo memaksakan lidahnya masuk ke mulut Anissa, sementara tangannya menarik tangan Anis dan memaksanya memegang kemaluan Pak Bejo yang sudah mengeras seperti batang kayu. Gadis polos itu hanya diam saja dan menurut perintah Pak Bejo, ia sangat takut pada pria tua yang nekat itu.
Tiba-tiba saja Pak Bejo berdiri, setelah berdiri tegak di hadapan Anissa, Pak Bejo menjambak rambut indah Anis supaya bangkit dari posisi berbaring dan dengan kasar pria tua itu mendorong kepala Anissa ke depan selangkangannya supaya wajah dara itu bisa mendekat ke arah penisnya, Anissa meronta dan menolak, tapi Pak Bejo mengunci tubuhnya dengan erat sehingga sang dara tidak bisa bergerak banyak.
Anissa masih terus meronta hendak melawan ketika akhirnya, PLAKK!! Satu tamparan mendarat di pipi mulusnya. Tamparan itu begitu keras sehingga pipinya memerah dan air matanya meleleh seketika, Anis tidak mengira Pak Bejo akan menyakitinya setelah beberapa saat memperlakukannya dengan lembut.
“Kalau tidak mau mati kuperkosa sebaiknya kamu berlutut sekarang juga dan melayani apa mauku!” Kata Pak Bejo tegas, kata-kata pria tua itu diucapkan pelan namun sangat menakutkan hati Anissa karena penuh ancaman. Mata gadis itu berlinang air mata dan tubuhnya merinding karena tidak tahu harus berbuat apa. Melihat Anissa kebingungan, Pak Bejo malah terangsang, akhirnya penis Pak Bejo berdiri tegak tepat di hadapan sang dara, ukurannya yang besar mengagetkan Anis.
“Berlutut, kulum kontolku.” Perintah Pak Bejo pada gadis yang sedang ketakutan itu.
Walaupun masih perawan, tapi Anissa sudah pernah menyepong penis Dodit, itupun karena Anissa yakin Dodit adalah pria yang kelak akan menikahinya sehingga Anissa mau melayani sang kekasih beroral-seks. Dodit yang baik juga menahan diri dengan tidak melanjutkan petting dan foreplay mereka sampai ke tahap penetrasi. Satu-satunya penis milik seorang laki-laki yang pernah dilihat oleh Anissa adalah milik Dodit, tapi kini dia menatap satu kontol besar yang ukurannya melebihi milik sang kekasih, perasaannya bercampur antara kalut dan takjub. Tangan Pak Bejo yang sudah tak sabar membimbing Anissa menggenggam kemaluannya.
“Ampuuun… jangan paksa saya, pak… jangan… ter-terlalu besar…” rengek Anissa tanpa dihiraukan oleh Pak Bejo. Tangannya yang halus tanpa cacat menggenggam batang kemaluan sang pria tua dengan ragu-ragu.
Setelah menunggu lama tanpa ada reaksi dari Anissa, dengan jengkel Pak Bejo menampar lagi pipi Anissa yang tadi sudah memerah. Pria itu memang sangat kasar dan memuakkan, dia semena-mena menyakiti gadis muda yang tak berdaya. Anissa jatuh terjerembab karena tamparan Pak Bejo, wajahnya kian sembab membiru karena terus dihajar.
“Sudah ditampar masih berani melawan! Kalau tidak mau kubunuh sebaiknya cepat kau kulum kontolku!!”
Tangis Anissa makin menjadi, dia meringkuk di bawah dan tidak mau berdiri, tapi setelah Pak Bejo mengancam dengan mengangkat tangannya, Anissa buru-buru berlutut dan meraih kembali penis Pak Bejo yang tadi ia lepaskan dan meletakkan batang kontol itu tepat di depan mulutnya. Anis masih ragu-ragu hendak menyepong kemaluan Pak Bejo.
“CEPAT!” kembali Pak Bejo membentak.
Dengan nakal pria tua itu mendorong pinggulnya ke depan sehingga kemaluannya berulang kali menyentuh wajah Anissa. Gadis muda yang cantik itu terpaksa menahan tangis dan membuka mulut dengan berat hati. Pak Bejo tertawa-tawa dengan sadis sambil menyorongkan kemaluannya pada gadis jelita itu.
“Nah… begitu… baru… anak… baik…” kata-kata Pak Bejo terpatah-patah karena merasakan enaknya disepong gadis secantik Anissa. Mulut Anis yang mungil menerima sodokan demi sodokan kemaluan Pak Bejo. Dengan lembut Pak Bejo mengelus-elus rambut Anissa.
“Jilati batangnya… anak manis…” kata sang pria bejat sembari menahan kepala Anissa dan menarik penisnya dari mulut gadis itu. Walaupun malu dan ragu, Anissa terpaksa membiarkan lidahnya menari di batang kemaluan Pak Bejo. Beberapa saat kemudian, kembali Pak Bejo menahan kepala Anis dan memasukkan ujung gundulnya ke mulutnya. Sedikit demi sedikit Anissa mulai diajari cara menyepong oleh pria bejat itu, beberapa kali Anissa tersedak ketika penis Pak Bejo menyodok hingga ujung. Pria tua itu hanya tertawa melihat penderitaan Anissa.
“Sudah ya, Pak? Saya sudah capek… saya mohon… kasihan …” pinta Anissa memohon ampun. Air matanya deras mengalir, tapi Pak Bejo menatapnya galak. Dengan kasar dijambaknya rambut Anis sehingga mereka saling bertatapan.
“Aku yang bilang kapan harus berhenti.” Geram sang pria tua mengancam Anissa, ia mengambil kembali pisau lipatnya yang tadi ia simpan di dalam saku baju. Gadis cantik itu menggigil ketakutan dan mengangguk pasrah.
“Sekarang, berbaringlah menghadap ke bawah.” Perintah Pak Bejo sambil memasukkan kembali pisau lipat yang ia gunakan untuk mengancam Anis kembali ke saku.
Dengan hati-hati Anissa berbaring, walaupun sudah beralaskan kertas koran, berbaring di atas rumput di alam bebas membuat tubuh Anissa menggigil kedinginan, apalagi dengan posisi menelungkup. Dengan berani Pak Bejo mengangkangi tubuh Anissa, kakinya yang besar dan penuh bulu mengempit sisi kanan kiri paha Anissa. Lalu tangan pria tua itupun mulai bergerilya dan meraba tubuh si cantik, perlahan sekali ia menikmati setiap jengkal tubuh telanjang Anissa yang memang sangat seksi. Gadis itu terhenyak ketika merasakan tangan jahil Pak Bejo masuk ke sisi bawah lengan dan meremas payudaranya yang empuk.
“Pak Bejo! Sudah Pak! Jangan diteruskan! Aku mohon…!”
Pria tua itu hanya tertawa dan menarik tangannya dari payudara Anissa, tapi ia tidak berhenti begitu saja, Pak Bejo beralih ke kaki jenjang si jelita dan mengelus-elusnya penuh nafsu birahi. Makin lama tangan Pak Bejo makin naik, dari betis ke paha. Anissa berusaha menutup kaki agar Pak Bejo tidak bisa dengan mudah meraba bagian dalam pahanya, tapi pria itu lebih kuat dan membuka lebar-lebar paha Anissa. Elusan tangan Pak Bejo makin lama makin naik ke atas ke arah selangkangan Anissa sampai akhirnya dengan nekat pria tua itu menyentuh bibir vagina sang dara.
Anissa menjerit tertahan, merasakan sentuhan tangan pria yang lebih pantas menjadi ayah atau kakeknya itu meraba-raba bagian tubuhnya yang paling sensitif. Pak Bejo menangkupkan tangan di atas memek Anissa.
“Jangan!” keluh Anissa tanpa daya, ia berusaha meronta kembali, tapi Pak Bejo sudah siap, tubuhnya menubruk Anissa hingga gadis itu tak berdaya dalam pelukannya.
Terjebak di bawah tubuh pria tua berotak busuk seperti Pak Bejo, Anissa bagaikan seekor kijang muda yang takluk dalam sergapan seekor singa lapar. Gadis muda yang jelita itu harus memutar kepalanya ke kiri kanan hanya untuk bisa menarik nafas yang berat karena seluruh tubuhnya ditekan ke bawah. Anissa meneteskan air mata pasrah ketika merasakan tangan Pak Bejo beraksi dengan berani mengelus-elus bibir memek Anissa. Gadis itu mulai sesunggukan dan menangis tersedu-sedu, tapi Pak Bejo tak mau berhenti, tangan pria tua itu malah masuk ke dalam bibir memek Anissa dan merogohnya bagai kantong mainan.
“Hebaaat! Rapet banget! Siapa sangka? Tubuhnya seksi, wajahnya cantik seperti bintang sinetron, tapi memeknya masih rapet dan orisinil. Ini baru namanya perawan!” Pak Bejo menarik tangannya dari dalam memek Anissa. “Dengan tubuh indahmu itu, kamu pasti berharga mahal kalau mau jadi pelacur. Siapa tahu dapat langganan anggota DPR, mau?”
Anissa menjerit marah karena merasa dipermalukan, kembali ia meronta, tapi kali ini Pak Bejo melawan dengan mengeluarkan senjata andalannya. Pak Bejo menempelkan penisnya di antara selat dua bokong indah Anissa. Gadis itu menjejakkan kakinya dengan panik, ia tahu sebentar lagi pria tua busuk itu pasti hendak memperkosanya! Tubuh Pak Bejo terlalu berat dan kuat, Anissa tak bisa melawan kehendak sang pria tua yang sudah tertelan nafsu birahi liar. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan tegang menyelip di antara paha mulus Anissa.
“Jangan, Pak… jangan…” lemas suara Anissa memohon.
“Ssst… kamu menurut saja, ya manis. Pasti enak kok.” Jawab Pak Bejo tanpa belas kasihan. “Aku ingin jadi orang pertama yang merasakan lezatnya memekmu.”
Pak Bejo menggesek-gesekkan kemaluannya di celah bukit bokong Anissa, ia dibuat merem melek oleh pantat bulat seksi milik gadis muda itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, pantat Anissa menerima sentuhan langsung penis menegang milik seorang pria, sayang pria itu bukanlah calon suaminya. Gadis itu tersengal-sengal karena didorong maju mundur oleh Pak Bejo, ia sangat berharap Pak Bejo kelelahan dan mengurungkan niat memperkosa dirinya.
“Teruuuus… terussss…” Pak Bejo merem melek keenakan.
Setelah beberapa saat lamanya keenakan menggesekkan penis di belahan pantat Anis, Pak Bejo membalik tubuh gadis itu sehingga wajah mereka saling berhadapan. Pak Bejo mencium bibir mungil Anissa sementara tangannya bergerilya meremasi buah dada sang dara jelita. Tubuh gemuk besar Pak Bejo menindih tubuh mungil Anis di bawah langit malam terang, udara dingin berhembus menerpa kedua tubuh telanjang yang bermandikan keringat.
Pak Bejo menarik puting payudara Anissa dengan gigi dan menggigitinya kecil-kecil, ia juga mencupang balon buah dada gadis itu hingga membekas merah. Ketika gadis itu lengah, Pak Bejo menempatkan kemaluannya di mulut vagina Anissa sebelum dara cantik itu sadar apa yang akan segera dilakukan oleh sang pria tua bejat.
“Jangan Pak! Jangaaaaaaan!!!” rengek Anissa mencoba menghalangi Pak Bejo mengambil miliknya yang sangat berharga dan tak tergantikan itu. Tapi Pak Bejo jauh lebih kuat dan nafsu birahinya sudah sampai ke ujung ubun, Anis tak berdaya dalam pelukan Pak Bejo. Rengekan mohon ampun dari Anis malah semakin membuat Pak Bejo bernafsu, ia menyiapkan penisnya untuk melakukan tugas yang paling menyenangkan, merenggut kegadisan Anissa.
Pak Bejo bertanya-tanya dalam hati, benarkah gadis ini masih perawan? Hanya ada satu jalan untuk membuktikannya. Pak Bejo mengangkat tubuh dan melesakkan kemaluannya ke dalam memek Anissa dengan sekuat tenaga. Karena kerasnya usaha Pak Bejo, akhirnya bobol juga pertahanan terakhir Anissa. Pria pertama yang berhasil mencicipi madu kenikmatan dari kegadisannya bukanlah Dodit yang diharapkan menjadi suaminya, melainkan seorang pria tua bejat bernama Bejo Suharso.
“Jangaaan!! Kumohon, Pak Bejo! Sudah! Sudaaaah!!” Anissa meronta dan memukuli Pak Bejo sekuat tenaga, tapi mantan preman itu jauh lebih kuat daripada sang gadis muda. Karena jengkel, Pak Bejo menampar gadis itu di pipi kanan dan kiri. Saat itulah Anissa berhasil ditundukkan.
Anissa mendengar lenguhan Pak Bejo yang mulai melesakkan penisnya pelan-pelan, “Duuuh… enaknya memek kamu, Non Anis. Rapet banget! Wah, beneran nih Non Anis masih perawan!”
Kemaluan Pak Bejo maju sedikit demi sedikit, Anissa memejamkan mata ketika merasakan ujung gundul penis pria tua itu mulai melesak masuk melewati bibir vaginanya. Anissa ingin menjerit tapi tenaganya sudah habis, batang kemaluan Pak Bejo masuk ke dalam liang rahim Anissa dengan lembut. Gadis jelita itu hanya bisa pasrah dan menangis sesunggukan tanpa daya.
“Jangan…” bisik Anissa memohon ampun untuk yang terakhir kali sebelum Pak Bejo mengambil miliknya yang paling berharga. Calon pengantin itu mengerang ketakutan dan kesakitan namun tak berdaya, ia tak bisa mempertahankan diri dan gagal menahan serangan pria tua menjijikkan yang menginginkan kesuciannya ini. Jika Pak Bejo berhasil mendapatkan keperawanannya, maka Anissa akan kehilangan Dodit. Anissa tahu dia akan menjadi gadis kotor yang tidak lagi pantas menjadi istri kekasihnya itu. Pernikahan mereka terancam berantakan.
“Ahhhhhhhhh!!” jerit Anissa setengah berteriak ketika seluruh batang kemaluan Pak Bejo berhasil menembus masuk ke dalam memeknya, selaput daranya berhasil disobek. Pak Bejo menikmati tiap detik kenikmatan memerawani Anissa.
“Wow, surprise! Non Anissa bener-bener masih perawan!” teriak Pak Bejo sambil tertawa puas, ia bahagia menjadi orang pertama yang memasuki liang kewanitaan Anissa dan menembus selaput daranya.
Merasakan kenikmatan luar biasa menjadi pembobol keperawanan Anissa yang sebentar lagi akan menikah itu, Pak Bejo menyetubuhinya tanpa ampun. Ia menusukkan kemaluannya ke dalam vagina Anissa yang terbaring tak berdaya di bawahnya. Gadis itu tak henti menggigil sambil bergetar dan menangis sesunggukan. Pak Bejo menatap mata Anissa lekat-lekat dan tertawa terbahak. “Nggak nyangka sama sekali, di jaman seperti sekarang masih ada cewek yang mempertahankan keperawanannya sebelum menikah. Tadinya saya pikir Non Anis sudah berkali-kali ditiduri Mas Dodit. Sayang sekali dia tidak berani melakukannya, tentunya sekarang Non Anis akan mengingat saya seumur hidup ya, cinta pertama memang tak akan terlupakan, ha ha ha.”
Anissa kembali menjerit-jerit karena tak rela dirinya diperawani pria sebejat Pak Bejo. Pria tua itu hanya tertawa terbahak melihat gadis itu mencoba meronta. Gerakannya malah justru membuat gairah birahi Pak Bejo melejit tak tertahan.
“Ahh… enakgh… enak sekali… ahhh memekmu top banget, Non Anis!” kata pria tua sambil merendahkan martabat gadis yang tengah diperkosanya dengan mengeluar masukkan penisnya sekuat tenaga.
“Ohhhh… ampuuuun! Ampuuuun, Pak! Sudaaaah! Cukuppp! Ahhhh! Ehhhmm…!!” rintihan suara Anissa bercampur antara rasa sakit dan nikmat, sangat menyenangkan di telinga Pak Bejo yang terus menggenjot kemaluannya.
“Gadis cantik seperti kamu memang harus diperlakukan seperti ini… unghhh… enak banget memek kamu, Non Anis… ungh… ungh… ungh…” Pak Bejo merem melek merasakan sempitnya kemaluan gadis yang ada di pelukannya.
Anissa menyeringai menahan sakit ketika penis Pak Bejo berulang-ulang menjejal di dalam liang rahimnya, air mata Anis menetes tak tertahan. Pak Bejo tak kunjung usai, ia menarik paha si cantik dan menumbukkan kemaluannya sampai ke ujung leher rahim, sangat menyakitkan bagi Anissa yang baru pertama kali ini bersetubuh dengan seorang lelaki. Belum cukup rasa sakit ditimbulkan oleh Pak Bejo, pria tua menjijikkan itu juga meremas-remas payudara Anissa dengan ganas.
“Aduuuhh… sakit! Sakit! Ampuuun…” rintih Anissa tanpa henti sementara Pak Bejo menyetubuhinya dengan berbagai macam gaya. Pria tua itu tidak puas hanya dengan posisi misionaris biasa, ia menarik Anissa dan menyetubuhi dari belakang dengan gaya doggie-style. Berkali-kali Anissa merengek minta ampun ketika Pak Bejo menjambak rambutnya hingga wajah gadis itu mendongak menatap ke atas. Karena waktunya sempit, Pak Bejo tidak bisa terlalu banyak melakukan eksperimen posisi, tapi dia merasa puas merasakan memek Anissa yang masih sangat rapat hingga penisnya terasa sangat enak di dalam memek gadis itu. Tidak hanya asyik melesakkan penisnya keluar masuk memek Anissa, Pak Bejo juga menggigiti pundak dan menciumi leher gadis itu sementara tangannya asyik meremas-remas buah dada si cantik.
“Aduuuh! Aduuuh! Aku tidak tahaaan lagiiii!!” erang Pak Bejo setengah berteriak. Sesaat kemudian Anissa merasakan ujung gundul penis Pak Bejo seperti membengkak dan berdenyut di dalam liang kewanitaannya. Tiba-tiba saja terpancar cairan hangat yang keluar dari ujung penis Pak Bejo, kemaluan Anissa dipenuhi oleh air mani pria tua bejat itu. Setelah hampir satu jam Pak Bejo menyetubuhi Anissa dengan kejam, diapun menyemprotkan air maninya di dalam liang rahim sang gadis manis yang sudah direnggut kesuciannya itu.
Bukannya takut dilaporkan pihak yang berwajib karena telah memperkosa calon istri orang, Pak Bejo malah berharap ia bisa menghamili Anis. Pak Bejo tetap mendiamkan penisnya berada di dalam memek Anis untuk beberapa saat lamanya, sementara gadis itu terdiam tak berdaya di bawah pelukan sang pria tua. Setelah beberapa menit mereka beristirahat, Pak Bejo melepaskan penisnya dari dalam vagina Anis. Pak Bejo menangkup selangkangan Anis dengan nakal dan terkekeh menghina.
“Memang paling enak acara belah duren.” Pak Bejo menggesekkan penisnya di dada ranum dan wajah cantik Anissa tanpa rasa dosa. “Dengarkan baik-baik, anak manis. Ada baiknya kejadian ini tidak kau sebarkan ke semua orang. Aku punya banyak kawan di luar sana, jadi seandainya kau lapor polisi atau membacot pada Mas Hendra, Mbak Alya atau Mas Dodit dan yang lainnya, siap-siap saja. Tidak hanya menyiksamu, aku juga akan meminta orang menghabisi Mas Doditmu tercinta itu! Paham?!”
Anissa mengangguk lemah tak berdaya.
Puas mempermalukan dan mengancam Anissa, dengan santai Pak Bejo membersihkan dirinya dengan tissue yang ia ambil dari saku kantong celana, ia melemparkan beberapa helai tissue pada Anissa yang masih sesunggukan dan meringkuk tak berdaya. Pak Bejo dengan senyum puas membersihkan penisnya yang belepotan air mani bercampur darah perawan Anissa. Ia puas sekali bisa mendapatkan seorang gadis yang cantik dan seksi apalagi masih perawan seperti Anissa, ia merasa jauh lebih muda setelah meneguk kenikmatan sejati seorang gadis perawan.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke mobil yang diparkir di tepi jalan.
Sementara Pak Bejo merasa puas dan merokok di kursi depan, Anis menangis terisak-isak di kursi belakang. Tubuh gadis itu terasa berat dan lemas sampai-sampai ia tak mampu bergerak. Anissa tahu, pasti orang tua sinting ini akan mengulangi lagi perbuatannya kapanpun ia mau. Anissa tidak bisa melaporkannya ke pihak yang berwajib karena Pak Bejo adalah orang yang sangat kasar dan berani melakukan setiap ancamannya, ia takut Pak Bejo akan melukai dirinya, keluarga Mas Hendra atau bahkan Dodit. Anissa tidak mau itu terjadi, dia juga tidak ingin melapor ke polisi karena merasa malu sudah ternoda, seumur hidup Anissa ingin memberikan yang terbaik pada suaminya yang sah, ternyata, mendekati hari-hari pernikahannya, ia malah kehilangan kesuciannya karena diperkosa oleh seorang pria tua bajingan.
Hampir dua jam kemudian baru mereka pulang. Ketika berpindah dari belakang ke kursi depan, Anissa berjalan dengan sedikit timpang, tentunya karena selangkangannya terasa sangat sakit. Pak Bejo terkekeh menatap nyeri yang dialami korbannya. Ia sangat puas menjadi orang pertama yang bisa meraih kenikmatan vagina Anissa.
###
Anissa terbangun dengan badan kaku dan linu. Matahari menembus ke dalam kamar dengan sinar tipis yang menyeruak melalui sela-sela kain gorden jendela dan lubang angin di atasnya. Gadis muda itu menguap, dia kecapekan, seluruh tubuhnya terasa remuk. Ketika melirik ke arah jam dinding, Anis baru sadar kalau ternyata hari sudah siang.
Kaca besar yang berada di meja rias menyadarkan Anissa. Wajahnya sembab dan membekas biru, kelopak matanya sayu dan berkantung tebal. Peristiwa semalam mengagetkan Anissa seperti kilat menyambar, semalam ia diperkosa! Ia telah diperkosa! Ia bukan perawan lagi! Ia sudah diperkosa!
Anissa menggeleng, ia tidak mau menerima kenyataan ini… ia tidak mau… ini semua hanya mimpi, pasti hanya mimpi. Buru-buru gadis itu menyibakkan selimut dan memeriksa bagian selangkangannya. Ada rasa gatal yang hangat di bagian lekuk selangkangan yang terasa aneh, Anissa meneteskan air mata lagi, ia tidak mau menerima kenyataan yang pahit ini. Ia tidak mau menerimanya. Detik demi detik yang berlalu semalam kembali terulang dalam benak Anissa, akhirnya ia sadar sepenuhnya. Semalam, ia telah ditiduri Pak Bejo. Ia telah diperkosa oleh orang yang lebih pantas menjadi orang tuanya itu. Anissa tidak bisa mempertahankan kegadisannya karena direnggut seorang lelaki hina.
Dengan tubuh lemas lunglai, Anis berjalan tertatih menuju kamar mandi. Bagian selangkangannya terasa panas dan perih, ia duduk di toilet dan berusaha mengenyahkan semua kejadian semalam yang berulang di benaknya bagaikan film yang diputar berkali-kali. Gadis itu berusaha tabah dan menahan diri agar tidak menangis, tapi air matanya tetap menetes membasahi pipi.
Anissa duduk terdiam di toilet dengan pikiran yang melayang jauh. Entah apa yang sedang dilamunkan gadis malang itu.
Ia tidak ingin berjumpa dengan siapapun saat ini, tidak juga Dodit. Karena ia tahu, kisah penderitaannya belumlah usai, justru baru akan dimulai.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1657