Pinjaman Lunak
Pengalamanku ini terjadi pada tahun 1996 akhir,
ketika aku sedang memulai usahaku di kota S. Aku baru saja
menyelesaikan urusan pinjaman modalku pada sebuah bank swasta di kota
ini. Pada masa itu belum ada tanda-tanda yang mengisyaratkan munculnya
bencana ekonomi seperti belakangan ini, sehingga semua urusan banking
terasa smooth saja.
Banker yang mengurusi pinjamanku ialah seorang mantan kawan SMA-ku
dulu. Sebut saja namanya Nana. Ia baru beberapa bulan bekerja di bank
tersebut setelah menyelesaikan studinya di Amerika. Semasa SMA, Nana
ialah seorang yang menurutku termasuk golongan nerd.
Berkaca mata, duduk di barisan depan, rajin bertanya, dan catatannya
selalu laris difotokopi ketika menjelang musim ujian. Sedangkan aku
sendiri termasuk golongan urakan, yang selalu mendapat nilai pas-pasan,
kecuali untuk pelajaran olah raga. Harus kuakui, Nana tidak banyak
berubah. Ia tetap saja nampak kuper dibalik kaca mata minus 3 itu.
Untung saja pakaian kerja yang dikenakannya membuatnya nampak lebih
'terbuka'. Aku ingat, ketika itu ia mengenakan blazer warna biru
pastel, dan kemeja kuning muda. Ia juga mengenakan rok mini berwarna
biru tua, dan sepatu berhak tinggi, sehingga tingginya yang hanya
sekitar 165-an itu terlihat hampir menyamai tinggi badanku.
Setelah usai menandatangani tumpukan kontrak dan perjanjian, aku
memutuskan untuk mengajaknya makan siang, bukan lagi sebagai kreditor,
tapi sebagai seorang kawan lama. Nana setuju saja, mengingat bahwa
pinjamanku waktu itu membuatnya memenuhi target bulanannya.
Kami meluncur menuju sebuah hotel yang cukup terkenal di kota S,
karena satu gedung dengan pusat perbelanjaan TP3. Kami menghabiskan
waktu cukup lama untuk memesan menu ala carte, karena harga menu buffet tentunya tidak terlalu ekonomis. Selama makan, Nana tampak diam saja,
seperti biasanya. Aku mencoba mengamati wajahnya yang manis itu.
Kulihat alisnya yang tipis, hidungnya yang mancung, bibirnya yang
tipis, dan lehernya. Leher yang sangat indah, jenjang dan halus. Ketika
aku melihat agak ke bawah lagi, kulihat kancing kemejanya yang paling
atas tidak dikancingkan sehingga aku dapat berimajinasi bagaimana
bentuk bagian tubuhnya yang berada di balik kemeja itu. Selagi
asyik-asyiknya menikmati keindahan itu, rupanya Nana mengamatiku dari
tadi.
Ia menyunggingkan senyum, mengambil serbet, mengelap bibirnya, dan berkata, "Jen, kamu masih seperti yang aku dengar dulu?".
"Hmm.., Tergantung apa yang kamu pernah dengar dulu", Jawabku agak kikuk.
"Pacaran dengan sesama jenis", Jawabnya lugas. Membuat mataku sedikit terbelalak kaget dan menatap matanya yang bundar lucu itu.
"Yah.., Kalau gosip yang kamu dengar cukup lengkap, seharusnya kamu nggak perlu nanya 'kan?", Jawabku mencoba diplomatis.
"Cukup lengkap untuk bisa blackmail kamu", Katanya.
"Haha, just kidding!", ujarnya lagi agar aku tidak tersinggung. Aku
hanya tersenyum saja dan pura-pura berkonsentrasi pada makan siangku.
"Bersyukurlah kamu bisa hidup normal", Kataku mencoba bergaya bijak.
"Hihihi.., Udahlah Jen, kreditnya udah di-approved 'kan?", katanya
lagi", Nggak ada yang perlu ditakutin.., kecuali kalau bayarnya
nunggak!", Candanya.
Kami terdiam untuk beberapa saat, tapi kemudian aku merasakan
sesuatu di betisku. Meja makan kami tergolong kecil, hingga posisi
duduk kami cukup dekat, dan kaki kami bisa bersentuhan. Namun kali ini
sentuhan itu seperti bukannya tak sengaja. Aku merasakan sentuhan jari
kakinya mengusap betisku pelan-pelan, merambat naik ke lututku,
bergerak menyusup masuk ke rok miniku, dan bergerak mengusap-usap paha
kiriku bagian dalam.
Aku menatap matanya dalam-dalam sambil tidak tahu apa yang harus
aku lakukan, tapi dia balik memandang wajahku, tersenyum, dilepaskannya
gagang sendoknya, lalu tangannya menyentuh lehernya sendiri dengan
ujung jari tengah. Seperti orang tolol, pandanganku mengikuti kemana
larinya jari-jari lentik itu. Jemarinya bergerak pelan-pelan ke bawah,
menyusuri lehernya, turun terus, lalu berhenti ketika tersangkut di
kancing kemeja kuningnya. Pada saat itu juga jari kakinya yang sejak
tadi diam di antara kedua pahaku disodokannya ke depan, menyenggol
kewanitaanku, memang tidak tepat pada bibirnya, namun cukup memberiku
sengatan birahi yang mendadak.
"Hkk..", Aku merintih tertahan, memejamkan mataku untuk mengontrol
perasaanku. Ketika mataku terbuka, nampak Nana tersenyum padaku,
menunjukkan sebaris gigi yang bersih dan indah. Senyuman itu membuatku
makin kikuk. Meskipun masa laluku kulewatkan dengan 'bebas', namun
penampilan Nana yang anggun membuatku tidak mikir macam-macam
padanya.., tapi setelah apa yang dilakukannya ini.., aku tidak tahu
lagi. Akhirnya, setelah membisu cukup lama, aku melambaikan tangan pada
waiter, dan membayar makan siang.
"Jenn", Katanya sambil meletakkan tangannya di bahuku. "Aku punya
membership di hotel ini, dan aku rasa aku perlu istirahat sedikit. Kamu
mau menemaniku kan?", Tanyanya dengan kalimat yang lugu namun sudah
dapat ditebak artinya. Mengingat hubungan bisnisku dengan banknya, aku
memutuskan untuk menurut.
Sebagai wanita, agak sulit bagiku untuk bercumbu rayu begitu saja
dengan orang yang cukup asing. Hal itulah yang membuatku bengong saja
meskipun kini aku sudah duduk di sofa dalam kamar executive hotel,
sementara Nana berdiri di hadapanku dan melepas blazernya dengan gaya
yang dibuat-buat agar merangsang. Melihatku tidak berespon, Nana
melanjutkan permainannya, ia melepaskan satu persatu kancing kemejanya,
lalu menyingkapkan kemejanya sehingga bahu kanannya yang halus dan
putih bersih itu terlihat olehku.
Tali bra berwarna putih berenda tampak menghiasi bahu yang indah
itu. Aku cukup mengagumi keindahan tubuhnya, namun aku masih segan
untuk bereaksi, aku malu karena Nana pernah menjadi orang yang cukup
aku hormati. Dilemparkannya kemejanya ke atas ranjang, menyusul bra dan
celana dalamnya. Aku hanya diam menatap tubuhnya yang kini hanya
terbalut rok mini biru tua itu. Payudaranya nampak indah sekali
bentuknya, bulat, tidak terlalu besar namun kencang, putih bersih, dan
putingnya kecil sekali berwarna coklat muda. Ia melangkahkan kakinya
mendekati tempatku duduk.
"Jenn", bisiknya, "Aku mendengar semua gosip tentang kamu. Tentang
anak-anak basket yang lesbi, dan tentang apa yang kamu lakukan dengan
guru geografi di perpustakaan waktu itu. In fact, hampir semua orang
membicarakannya, namun nggak ada yang berani terang-terangan menuduh",
Sambungnya lagi.
Aku tetap diam, menundukkan kepalaku dengan rasa tidak enak.
"Aku iri dengan Reni dan Evelin yang bisa setiap saat mandi bersama
kamu, tidur bareng di rumah kost, melihat kamu dengan kaos basah di
ruang ganti..", bisiknya lagi, seolah menelanjangi masa laluku yang
hendak aku lupakan. Aku tetap tertunduk ketika tiba-tiba Nana meraih
kepalaku dan mendongakkannya. Karena posisiku duduk dan dia berdiri,
maka mataku langsung berhadapan dengan sepasang payudaranya yang indah
itu, dengan puting-puting yang masih flat, menunggu untuk dibangunkan.
Aku tetap terdiam, meski jari-jari Nana menyusupi rambutku yang lurus
dan pendek, mengusap pipi dan rahangku, mengelus tengkukku lalu aku
mendengar suaranya lagi.
"Jenn, please..", Katanya, aku melirik ke atas, menatap matanya.
Kaca matanya tak mampu menyembunyikan sorot memelas dari kedua mata
bulatnya.
Tanganku memeluk pinggulnya menariknya mendekat. Aku segera
mendaratkan bibirku tepat pada puting susu kanannya, menghisap,
melingkarinya dengan lidahku, terus-menerus. Aku merasakan
cengkeramannya pada kepalaku menguat, aku mendengar desahan nafasnya
kian tak teratur, Aku melirik ke wajahnya, aku melihat alisnya menyatu,
matanya terpejam, mulutnya ternganga mengeluarkan desahan nafas tak
beraturan. Aku ikut kehilangan kontrol, wajahnya begitu membangkitkan
hasratku, aku segera memindahkan mulutku ke puting susu kirinya,
meremas payudaranya sambil mengulum putingnya, ekspresi wajahnya
menunjukkan perasaan kegelian yang amat sangat, tubuhnya
menggeliat-geliat kecil, kakinya tampak goyah, tak lama kemudian ia
jadi lunglai seperti selembar handuk, rebah di atas karpet tebal kamar
itu. Cukup lama aku memainkan kedua payudaranya dengan mulut dan
tanganku sementara tangannya sendiri telah masuk ke balik rok mininya.
Tiba-tiba ia mendorongku hingga kini aku berada di bawah tubuhnya.
Wajahnya nampak begitu dekat dengan wajahku, ia mendaratkan ciumannya
di bibirku, menghisapnya kuat-kuat, sambil tangannya membuka
kancing-kancing blazer dan kemejaku. Aku tidak mengerti kenapa aku
hanya diam, namun kini aku merasakan tangannya telah menerobos bra
Marks & Spencer-ku. Dilepaskannya bibirnya dari bibirku, ia
menjilati dan menciumi seluruh rahang dan leherku, memberiku rasa
hangat yang nikmat. Ditariknya braku ke atas hingga ia dapat melihat
payudaraku. Ia tampak begitu bernafsu memandanginya diremas-remasnya
kedua payudaraku dengan gemas sampai terasa agak sakit. Tiba-tiba
mulutnya menyerbu puting susuku yang kiri, melumatnya, menghisap, dan
menjilatinya. Rangsangan yang tiba-tiba membuatku terpejam dan meringis
menahan rasa geli yang tiba-tiba menyerbu. Aku mendongakkan kepalaku ke
atas, aku merasakan gerakan lidahnya semakin menjadi-jadi. Kedua puting
susuku dijilati dan dihisapnya bergantian, rasanya geli sekali,
tanganku mencoba mencengkeram pinggangnya, namun rasa geli pada
puting-putingku terasa membuatku lemas dan aku merasakan sesuatu telah
meleleh keluar dari kewanitaanku.
Ditariknya celana dalamku hingga lepas, disingkapkannya rok miniku
ke atas, kakiku dikangkangkannya, lalu ia menempelkan kewanitaannya
pada kewanitaanku, digosoknya naik turun, aku merasakan hangat dan
nikmat yang tak tertahankan, aku merintih dan mengerang keras-keras tak
peduli siapa yang akan mendengar. Aku terbaring telentang di atas
karpet cokelat muda itu, aku melihatnya seperti menduduki
selangkanganku, membuat kewanitaan kami saling bergesekan, tangannya
berpegangan pada payudaraku, ibu jari dan telunjukknya memilin-milin
keras puting susuku. Ia menggeliat-geliat sambil menaik-turunkan
badannya, mendongakkan kepalanya ke atas, hingga aku dapat melihat
keindahan rahangnya yang luar biasa.
Aku sendiri menggeliat-geliat mencoba menahan gempuran rasa geli
dan nikmat yang mengalir membanjiri tubuhku lewat payudara dan
kewanitaanku.
"Aduhh, Nanaa.., ohh..", Aku seolah mendengar sendiri eranganku yang tak beraturan.
"Uhh.., Jennii.., nikmat sekalii", Ia merintih-rintih tak karuan,
nafasnya makin memburu, gesekan kewanitaan kami semakin terasa hangat
dan lembap, pelintiran dan remasannya membuat payudaraku serasa pegal
meskipun kegelian. Aku terengah-engah kegelian, punggungku terangkat
dari karpet, melengkung seperti busur panah. Kenikmatan yang kudapatkan
serasa merajam tubuhku, putingku terasa pegal dan geli karena
diplintir-plintir dari tadi, sementara kewanitaanku terasa
berdenyut-denyut, rintihanku semakin tak karuan, birahiku kian
memuncak. Hingga akhirnya aku merasakan desakan dari dalam tubuhku
menuju kewanitaanku, tubuhku terasa kejang dan kaku, aku berusaha
menahan meski sia-sia, kewanitaanku terasa tak mampu membendungnya,
hingga akhirnya hentakan orgasme menghantam tubuhku. Aku menjerit
keras-keras, mencengkeram pinggang Nana, di tengah serbuan kenikmatan
itu, aku sempat melihat badan Nana juga mengejang, gerakannya berhenti,
namun aku tak dapat mengingatknya lagi, karena aku langsung mencapai
puncak. Cairan kami saling bercampur diantara kewanitaan kami, Nana
roboh dan terbaring disampingku, sementara aku sendiri merasa
kehilangan seperempat kesadaranku karena orgasme yang lumayan dahsyat
itu.
Kami tergeletak berdampingan, dengan tubuh basah oleh keringat,
kaki terasa pegal, dan nafas terengah-engah, serta mata terkatup rapat.
Aku melirik tubuh Nana yang telanjang di sampingku, tengah
memejamkan mata dan terkulai lemah. Aku sendiri tak kalah lelahnya,
tubuhku masih dibalut business suit,
namun sudah tersingkap di mana-mana, hingga payudaraku bisa merasakan
dinginnya hawa AC ruangan, namun kenikmatan orgasme tadi segera
mengantarku ke alam bawah sadar, semua gelap lagi.. Hanya kenikmatan
dan kehangatan yang kurasakan mengalir dalam darahku.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
3262