Romantika KKN
Ketika aku Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah
desa terpencil di Jawa timur aku mendapatkan sebuah pengalaman yang
mengesankan, ketika itu aku mendiami rumah kepala desa dengan
teman-teman wanita lainnya sedangkan yang laki-laki menginap di rumah
sekdes.
Dalam dua bulan, kami para mahasiswa ditugaskan kampus untuk
membantu masyarakat pedesaan sesuai dengan kemampuan kami
masing-masing, sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing yang tentunya
sesuai dengan jurusan yang diambil masing-masing mahasiswa. Selain itu
juga dibebankan tugas-tugas yang bersifat umum lainnya, seperti membuat
petunjuk jalan, membangun tugu pembatas desa, dan lain-lainnya yang
sekiranya dapat dibantu meskipun tidak sesuai dengan jurusan kami. Aku
yang mengambil jurusan administrasi tentunya lebih banyak membantu
masalah pembukuan desa dengan mengadakan pelatihan singkat tentang
masalah pengorganisasian yang baik dan efisien.
Aku yang lebih banyak bertugas di kantor kepala desa tentunya satu
ruangan dengan bapak kepala desa yang kira-kira masih berumur 30 tahun,
bersama seorang teman yang sama jurusannya dan satu orang dari jurusan
akuntansi, tentunya sering bertatap muka dengan kades muda yang
wajahnya lumayan juga. Sehari-harinya tidak jarang aku bertugas sendiri
dan hanya ditemani oleh kades muda itu karena yang lainnya sedang ada
tugas lain. Kuperhatikan sesekali Pak kades melirik dan mengamatiku
dari ujung rambut sampai ujung kakiku, dan kelihatannya dia menaruh
perhatian yang lebih terhadapku. Yah, mungkin paras dan bentuk tubuhku
tergolong enak dilihat dan cukup menggiurkan termasuk bagi teman-teman
mahasiswa lainnya yang hampir semua laki-lakinya mencoba mendekatiku.
Suatu hari, ketika aku hanya berdua dengan Pak Mahmud (nama kades
muda itu), dan Pak Mahmud melakukan pendekatan dengan gayanya yang agak
sungkan-sungkan.
"Adik Susi kurang berapa semester lagi lulusnya?" Pak Mahmud mulai
berbasa-basi sambil matanya agak malu-malu melirik buah dadaku yang
kata teman-teman cowokku tergolong montok.
"Yah, kalau lancar sih dua semester lagi sih Pak," jawabku sambil menatap polos Pak Mahmud, sehingga dia salah tingkah.
"Aduh, panas juga ya Pak udaranya," sambil aku membuka duah buah
kancing bajuku hingga terlihat belahan dadaku yang tentunya semakin
membuatnya salah tingkah.
Aku ngobrol dengan asyiknya dengan Pak Mahmud, sambil aku bersikap
agak manja dan sedikit memancing-mancing dengan bahasa tubuh yang
sedikit erotik, sehingga yang semula Pak Mahmud malu-malu sekarang dia
mulai berani bicara dan tidak sungkan-sungkan lagi memandangi tubuhku
terutama buah dadaku, bahkan dia mulai berani menyentuh tanganku,
bahkan dia berani membelai-belai lembut lenganku.
"Wah, sudah sore nih, ayo kita pulang," ajak Pak Mahmud, dan
akupun bergegas berkemas, kemudian pulang bersama Pak kades muda dengan
dibonceng motornya.
Sesampainya di rumah Pak kades, aku tidak menemukan teman-temanku,
mungkin mereka masih menyelesaikan program pembuatan nama tiap-tiap
dusun dan membuat tugu pembatas desa. Karena aku merasakan udara yang
panas, aku langsung membuka baju dan membiarkan diriku telanjang dada
dengan hanya mengenakan bra yang transparan dan mengenakan celana
pendek, lalu aku menuju meja makan untuk mengambil air minum dan aku
sadar ada sepasang mata yang terus mengamati setiap lekuk tubuhku.
Setelah aku meneguk air, aku langsung membalikkan badan dan
menemukan Pak Mahmud berdiri kaku dengan mata terus melototi tubuhku,
"Eeh Bapak, nggak ada orang lain kan Pak," aku pura-pura terkejut
dengan nada genit, dan perlahan-lahan Pak Mahmud menganggukkan
kepalanya. Aku dengan santai berlenggak-lenggok melintas di depannya
lalu aku masuk ke kamarku dengan membiarkan pintu tetap terbuka. Tak
lama aku duduk di tepian ranjang, tiba-tiba sepasang tangan mendekapku
dari belakang dan langsung membalikkan tubuhku dengan kasar, lalu
mendorong tubuhku sampai aku tertidur. Aku melihat wajah Pak Mahmud
penuh dengan gejolak nafsu yang tidak mampu ia kendalikan lagi dengan
tubuh yang sudah telanjang.
"Sabar dong Pak," aku berusaha menenangkannya tapi sepertinya dia
tidak mempedulikan lagi, langsung ia berusaha melepas celanaku sekalian
dengan celana dalamku juga, lalu dengan kasar dan tergesa-gesa dia
berusaha memasukkan kejantanannya yang tidak terlalu besar itu ke dalam
liang senggamaku. Wah, orang ini benar-benar primitif sekali mainnya.
Setelah batang kejantanan itu masuk, dia mulai memompa pinggulnya,
dengan refleks kakiku kunaikkan ke atas pinggulnya lalu kutarik kepala
Pak Mahmud, manusia primitif ini ke belahan buah dadaku. Setelah itu
aku mulai menggoyang pinggulku biar permainan ini agak seru. Pak kades
muda ini mempunyai pertahanan cukup kuat sehingga aku kebobolan dua
kali baru batang kejantanannya menyemburkan spermanya. Setelah itu dia
langsung menyambar sarungnya, "Wah, Bapak jantan juga, sampai bobol dua
kali aku, tapi sayang permainannya monoton, kapan-kapan yang variatif
dong Pak," komentarku dengan nada genit.
Keesokan harinya aku membantu mengecat tulisan nama-nama dusun lalu
memasangnya di tepian jalan makadam. Pada waktu pemasangan nama dusun
itu aku tergelincir dan jatuh ke dalam kubangan air yang penuh dengan
lumpur.
"Waduh kotor semua nih badanku, iih menjijikkan, tolongin dong
jangan ketawa aja," aku mengeluh dengan perasaan yang mendongkol
melihat yang lainnya menertawaiku saat melihat seluruh tubuhku penuh
dengan lumpur sawah yang menjijikkan.
"Ayo! anterin aku pulang, aku mau ganti pakaian nih. Ayo siapa
yang nganterin aku," mereka tetap cekikikan tidak seperti biasanya,
kalau aku sudah bilang minta diantar para laki-laki langsung mengajukan
dirinya untuk mengantarkanku, bahkan meski aku nganggur pun mereka
selalu berlomba mengajakku menemani atau sekedar mengajak
berjalan-jalan, tapi kali ini mereka terlalu sibuk menertawakanku,
kesal jadinya.
"Ayo Sus, aku aja yang nganter kamu," akhirnya aku diantar Toni kembali rumah Pak kades.
Setelah sampai tidak menyangka kalau aku sudah ditunggu temanku,
Vira. Kami langsung ngobrol setelah aku membersihkan badan dan berganti
pakaian. Aku menceritakan kejadian bersama Pak kades belum lama ini dan
kami cekikikan.
"Orang desa tetap orang desa, dalam main seks pun kampungan banget
gitu, kapan mau maju ha.. ha.. ha.." Vira cekikikan setelah mendengar
ceritaku.
"Ngomong-ngomong kangen juga aku sama dompetmu Vir," aku mulai mendekati Vira sambil membelai rambut panjangnya.
"Aku juga sudah kangen berat lagi sama ini," Vira menjawab sambil membelai-belai buah dadaku, yang membuatku blingsatan.
Tanpa kusadari Vira telah membuka kancing atas dasterku yang cukup
membuat Vira leluasa mengobok-ngobok payudaraku, karena permainan mulai
semakin memanas maka kugandeng Vira lalu kuajak dia masuk ke dalam
kamarku.
Di dalam kamar, langsung kulumat bibir seksi Vira dan dengan
cekatan tanganku menyusup ke balik switer lalu kuremas-remas kedua
payudaranya dan dengan mudahnya aku mempermainkan puting susunya karena
dia sudah tidak mengenakan bra lagi. Vira pun tidak mau kalah, dia
langsung menanggalkan daster yang sudah terbuka beberapa kancing
atasnya hingga begitu tanganku melepaskan payudara Vira dengan begitu
saja daster itu meluncur lancar ke bawah menjadikan aku hanya
mengenakan bra dan celana dalam kecilku yang membuat Vira leluasa
menjelajahi tubuhku yang terangsang berat ini. Vira langsung
mendaratkan serangan bibir seksinya ke leher, tepat di bawah telingaku
yang membuatku begitu terangsang, lalu dia mendorongku hingga aku jatuh
di atas tempat tidurku, setelah dia meloloskan semua pakaian yang
melekat pada tubuhnya dia langsung naik ke atas tubuhku den memulai
kerjanya yang belum terselesaikan.
Karena kancing bra-ku berada di depan yang memberikan kemudahan
bagi Vira untuk meloloskan bra-ku dan dengan mesranya dia mencium
payudaraku sebelah kiri, kemudian dia mengulum puting susuku hingga
semakin mengeras lalu dia pindah ke payudara sebelah kanan, dijilatinya
dari pangkal sampai putingnya menjadikan payudaraku yang kencang ini
semakin kencang dan mengeras putingnya lalu dia meremas bagian atas
payudara kiriku setelah itu dia mengarahkan liang kewanitaannya tepat
di atas payudaraku lalu dia mencoba memasukkan puting dan segumpal
kecil dari bagian atas payudaraku, setelah puting susuku berada tepat
diantara bibir kemaluannya dan kurasakan kehangatan liang kewanitaannya
yang mulai basah, dia mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil
mulutnya tidak henti-hentinya mendesah, tanganku meraih dua belah
susunya dan aku mulai meremas-remasnya.
Sekitar satu menit lamanya Vira menggencet payudaraku dengan liang
kewanitaannya, dia menjatuhkan tubuhnya di sampingku dan membisikkan,
"Kita main 69 yuk," lalu aku mengangguk dan aku bergegas mengambil
posisi di atasnya dan ini merupakan permainan kesukaanku. Begitu
wajahku menghadap ke liang kewanitaannya, aku langsung
menggesek-gesekkan hidungku di antara bibir kemaluannya dan aku
menghirup dalam-dalam aroma sedap dari dalam liang surganya. Dia pun
menjalankan tugasnya dengan baik, kurasakan lidahnya lincah keluar
masuk di dalam liang kewanitaanku hingga membuatku mendesah diselingi
geraman.
Aku pun memainkan lidahku ke dalam liang kewanitaannya lalu
mempermainkan klitorisnya. Kuselingi beberapa kali memasukkan jari
telunjukku dan mengocoknya beberapa kali. Setelah aku merasa cukup,
kumasukkan kedua jariku dan kukocok dengan cepat hingga membuat dia
mengeram dan sedikit menjerit dan tak lama kemudian sepertinya dia
mencapai klimaks hingga cairan hangat membasahi liang senggamanya.
Langsung kusedot dan kujilati cairan itu hingga sampai bersih tak
tersisa. Vira sudah mencapai klimaks sedangkan aku belum apa-apa,
setelah cairan itu berada di mulutku, aku langsung menghadap ke
wajahnya lalu kulumat bibirnya dan aku berbagi cairan birahi itu
dengannya.
Setelah itu aku meminta dia merubah posisinya untuk berada di sisi
ranjang depanku dan mempertemukan liang kewanitaanku dengan liang
sorganya dengan saling mengangkangkan kaki masing-masing, kami saling
menggoyang pantat kami masing-masing, sungguh kurasakan kenikmatannya.
Desahan kami pun saling bertautan dan berkolaborasi dengan suara derit
ranjang tua ini, hingga pada akhirnya aku pun mencapai klimaks lalu
Vira pun menyusul mencapai klimaks yang kedua kalinya.
Setelah istirahat beberapa saat Vira mengenakan kembali pakaiannya,
lalu Vira duduk di ruang tamu dan tak lama kemudian Pak Mahmud pulang
dari kantor desa.
"Wah ada tamu rupanya, cari siapa Dik?" tanya Pak Mahmud pada Vira.
"Anu.. saya ada perlu dengan Susi, dan sudah ketemu kok Pak, ini
juga mau kembali ke desa tempat saya KKN. Bapak.. Pak Mahmud ya?" Vira
membalas bertanya dengan genit, lalu Vira dengan berani mendekati Pak
Mahmud, sebelum sempat Vira berbuat sesuatu aku datang memberi salam
hangat lalu Vira pun pamit pulang. Sebelum pulang, Vira masih
sempat-sempatnya mencubit pantat Pak Mahmud, Pak Mahmud pun jadi salah
tingkah dibuatnya.
Beberapa menit setelah Vira pergi, aku mulai beraksi menggoda Pak Mahmud lagi.
"Bapak kalau main jangan monoton dong," aku mulai mendekati dan
manggandengnya masuk ke kamar. Setelah sampai di dalam kamar, aku
langsung jongkok dan mulai membuka celana Pak Mahmud kemudian
mengeluarkan kejantanannya.
"Pakai pemanasan dulu dong Pak," lalu aku mulai menjilati ujung
kepala kemaluan di depanku hingga sedikit demi sedikit kejantanan Pak
Mahmud mulai mengeras, desisan dan geraman pun mulai keluar dari mulut
Pak Mahmud. Aku mulai memasukkan kepala kemaluan Pak Mahmud lalu
sedikit demi sedikit kulalap seluruhnya dan aku mulai
mangeluar-masukkan batangan itu, geraman dan desahan pun semakin membahana.
Belum sampai klimaks aku mendengar deru motor yang memasuki halaman
rumah. Pak Mahmud pun bergegas merenggut batang kejantanannya yang
sudah tegang kemudian dia masukkan kembali ke dalam celananya lalu
bergegas keluar dari kamarku, dan aku sendiri pura-pura tidur. Setelah
kejadian itu sikap Pak Mahmud semakin berani terhadapku apalagi kalau
aku sedang sendirian hingga aku merasa tidak enak dengan teman-teman,
apalagi terhadap Bu Sarina istri Pak Mahmud, yang sebenarnya aku
menaruh rasa simpati dan kadang-kadang aku kepingin membelai buah dada
yang montok, hingga pada suatu hari saat di pendopo kelurahan diadakan
penyuntikan imunisasi dan penimbangan balita. Disela-sela kesibukanku
Bu kades memintaku membantu pekerjaannya, setelah selesai Bu kades
memintaku untuk mengantarkannya pulang ke rumahnya.
Setelah sampai aku langsung diajaknya ke dalam kamarnya, lalu aku duduk di tepian ranjang.
"Dik Susi, kemaren secara tidak sengaja saya mendapati adik berbuat
sesuatu di kamar adik dengan teman adik," kata Bu Sarina. Waduh
sepertinya aku tertangkap basah.
"Jangan takut, aku nggak pa-pa kok, sebenarnya kemaren ingin
rasanya aku ikut bergabung, tapi karena aku ditunggu ibu-ibu lainnya
jadi aku tidak sempat menonton sampai akhir," Bu Sarina mulai membuka
pakaiannya lalu kembennya digulung hingga terlepas, sekarang ia hanya
mengenakan bra dan jarik setelah itu ia membisikkan, "Aku juga mau
melakukannya dengan sampean," aku bingung untuk beberapa saat, Bu
Sarina menyadari kalau aku masih bingung lantas dia memulainya dengan
mencium bibirku, tentu saja kubalas dengan mesra, kucoba mengulum
bibirnya dan mempermainkan lidahnya.
Setelah beberapa saat lamanya, aku mulai melancarkan serangan di
sekitar leher, perlahan turun hingga sampai pada pangkal payudaranya
yang montok itu, untuk memperlancar seranganku kulepaskan bra-nya dan
terlihat olehku sebuah pemandangan yang indah, payudara Bu Sarina
terlihat mempesona. Tanpa buang-buang waktu lagi kulumat susu kirinya
dengan nafsu yang membara, sedangkan susu sebelah kanannya
kuremas-remas, hal ini membuat mulut Bu Sarina tak henti-hentinya
mendesah dan tangannya berusaha menekan kepalaku ke payudaranya, "Sus,
esst.. nyaman Sus," Bu Sarina ngomel-ngomel keenakan. Aku menuntun Bu
Sarina untuk rebahan ke ranjang, setelah itu aku kembali bekerja
membuat dia menggeliat dan mendesah kenikmatan. Beberapa saat kemudian
aku mulai menjalar turun ke perut, lalu aku mulai melepas jariknya,
ternyata dia tidak mengenakan celana dalam maka terlihatlah gundukan
kecil penuh rambut.
Aku pun mulai menyibak rambut yang lebat itu sampai terlihat jelas
belahan liang kewanitaannya yang berwarna kemerah-merahan yang
membuatku tak mampu lagi menahan untuk menjulurkan lidahku untuk
merasakan aroma dan rasa yang erotik dari kemaluan seorang istri kepala
desa. Begitu lidahku menyentuh liang kewanitaannya, Bu Sarina
menggelinjang sambil mendesis seperti menahan kenikmatan yang tiada
tara, "Ini nikmatnya melebihi kenikmatan main dengan bapak, uukh..
aasst!" Bu Sarina ngomel sambil menggeliat-geliat keenakan.
Saat tengah enak-enaknya kami berusaha mencapai puncak kenikmatan,
aku melihat seorang gadis berkerudung hitam mengintip, dengan cepat aku
memalingkan wajah dan menghampirinya, "Heh ngapain kamu!" kutegur dia
dan ternyata dia si Halimah gadis desa yang hitam manis.
"Maaf Mbak, saya menggangu ya.." kata Halimah dengan nada ketakutan.
"Iya dong, dan jangan coba-coba ngomong sama yang lain mengenai apa yang kamu lihat ya, awas kamu!" ancamku pada Halimah.
"Ooh, nggak Mbak.. sungguh Mbak," Halimah lalu pergi meninggalkanku, dengan merundukkan kepalanya agak malu-malu.
Aku pun kembali menghampiri Bu Sarina, dengan serta merta Bu Sarida
membelaiku, menggerayangi tubuhku lalu dia berusaha melepaskan baju dan
celanaku sampai pada akhirnya poloslah aku sehingga Bu kades itu
leluasa menjelajahi bukit kembarku dengan lidah dan jemari lentiknya.
"Bu, jilati dong kelaminku, eest..!" Bu Sarina pun mulai membelai-belai
belahan kemaluanku dan kurasakan lidahnya lembut menyentuh bibir
kewanitaanku, rasanya nikmat sekali, selang beberapa lama dia
memasukkan dua jarinya sekaligus dan perlahan-lahan
mengeluar-masukkannya, nafasku semakin tidak teratur dengan
sedikit-sedikit menjerit lirih, aku merasakan terpaan kenikmatan yang
mengasyikkan itu. Kulihat lagi Halimah masih mengintip sambil kulihat
tak henti-heentinya tangannya menggerayangi selangkangannya sendiri.
"Hai kamu ingin ngerasain juga ya? Sini, ayo cepat sini, nggak pa-pa
kok."
Halimah dengan malu-malu mulai mendekati kami. "Ayo buka sekalian
pakaianmu." Dia mulai melepas pakaiannya setelah menutup pintu kamar,
dan ternyata tubuhnya yang hitam manis itu sungguh seksi sekali dan
kelihatan sangat segar hingga aku ngiler sendiri. Kugandeng tangannya lalu kutarik mendekat, kemudian
kulingkarkan tangan kiriku ke pinggangnya, dan seketika kusosor susu
yang montok itu, kukeyot ujungnya dan kuremas mesra diantara kedua
daging yang montok itu. Kami waktu itu bekerja keras untuk mencapai
puncak kenikmatan sampai beberapa kali karena teman-temanku baru balik
petang setelah maghrib.
Sampai sekarang hubunganku dengan Bu Sarina dan Halimah terjalin
bagus, hampir tiap akhir pekan Halimah dan Bu Sarina mengunjungiku di
tempat kost-ku karena kebetulan Bu Sarina sering mengirim kerajinan
kain bordir ke kota. Hubunganku dengan Pak Mahmud pun juga masih
kulakukan tapi tidak sesering dengan Bu Sarina.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2623