Sensasi Menjadi Waria
Aku ditugaskan ke Surabaya. Sepanjang perjalanan selama 14 jam dengan KA BIMA, libidoku bangkit. Setiap kupikirkan Surabaya kota tujuanku, aku selalu ingat pesan Norma, waria langgananku.
‘Mampirlah ke Jalan Irian Barat, aku punya teman di sana. Jangan main sama waria lainnya, kotor. Main saja sama Bella’.
Tetapi sebenarnya yang membuat libidoku bangkit bukanlah soal Bella itu. Dalam pikiranku, terbayang kini adalah Jalan Irian Barat itu. Orang bilang di situ adalah pusatnya para waria. Ada ratusan, atau bahkan ribuan waria ber-operasi di Jalan Irian Barat, di Surabaya itu.
Norma, juga orang-orang lain tidak tahu bahwa aku sangat terobsesi untuk tampil berpakaian sebagaimana layaknya perempuan. Bahwa ada dorongan yang sangat kuat dari diriku yang selama ini sangat ketat kurahasiakan, aku, diriku, tubuh dan mentalku, sangat ingin tampil sebagai perempuan, atau tepatnya sebagai banci atau waria.
Setiap membayangkan diriku tampil sebagai perempuan setengah baya, saat ini umurku 28 tahun, wow.., libidoku langsung memanas menerpa wajahku. Bahkan terselip pula pemikiran, betapa nikmatnya saat anak-anak lelaki tanggung meneriakiku dengan ejekan, ‘Wariaa, wariaa..’, teriakan, ejekan bahkan hinaan yang merangsang birahiku yang justru sangat aku rindukan terdengar masuk pada telingaku.
Aku ingin sekali memakai rok dengan sepatu tinggi. Aku akan mewujudkan keinginanku tersebut untuk tampil sebagai waria sepenuhnya. Aku akan memakai rok dengan bahan denim atau jeans. Itu adalah rok kulot. Rok yang berakhir tepat di lutut. Rok tersebut kubeli dari sebuah butik di pasar Senen. Rok yang kubeli dari penjualnya dengan alasan, ‘untuk pacar’. Rok yang kubeli dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan oleh teman atau orang lain yang mengenalku. Rok yang kubeli 2 minggu yang lalu, sejak ada surat tugas dari kantorku untuk melakukan pengecekan akunting di kantor cabang Surabaya. Rok yang kubeli dan kupantas-pantaskan ke tubuhku saat berada di depan cermin di tempat kostku di Jakarta Barat. Rok yang akan menampilkan sepasang kakiku menjadi sedemikian indah, yang kuyakini akan dengan cepat meruntuhkan para lelaki pecinta waria atau para homo.
Rok itu kusembunyikan di tempat paling rahasia di lemari pakaianku. Untuk sepatu tingginya, inilah yang akan sangat menunjang penampilanku yang bukan tak mungkin akan mengangkatku sebagai ‘waria top’ di antara waria-waria lainnya. Bahkan aku sendiri sangat tidak menduga, sangat surprised akan penampilanku sendiri saat aku telah berubah menjadi waria.
Dengan ketinggianku yang 172 cm, berat 58 kg, ditambah dengan sepatu hakku nanti, maka tinggiku akan menjadi 180 cm. Aku teringat Sharon Stone di film Total Recall yang dibintangi bersama Arnold Schwarzenegger yang berotot itu.
Pada awalnya aku hanya menginginkan sepatu yang haknya kecil, tetapi kemudian aku ragu, apakah aku dapat memakainya dengan tanpa risiko keseleo dan jatuh. Akhirnya aku memilih yang berhak agak besar sehingga aku tidak mengalami kesulitan memakainya. Walaupun begitu, tak urung aku juga memerlukan latihan untuk beberapa saat. Berjam-jam aku beralan mondar-mandir di depan cermin kamar. Dan akhirnya aku terbiasa juga, dan rasanya aku sangat pantas menggunakan sepatu hak tinggi tersebut.
10 hari terakhir ini, sepulang kantor aku langsung berdandan, merias wajahku dengan lipstick, shiseido, pensil alis, bedak dan lainnya, dan berlatih memakai rok kulot dan menggunakan sepatu tinggi itu. Aku bergaya jalan, bergaya duduk, bergaya bersandar di dinding dan juga gaya-gaya yang lain. Sepatu dan rok jeans kulotku ini benar-benar mengubah penampilanku. Hi, hi, hi.., aku sangat puas.
Aku membayangkan saatnya dimana akan ada bahkan banyak lelaki yang ‘kepincut’ padaku dengan rok yang membuatku nampak seksi ini. Aku ingin dibelai-belai oleh banyak lelaki tersebut. Dorongan libidoku yang membuatku ingin mengenakan rok dengan sepatu tingginya dan kemudian dikerumuni dan dibelai oleh banyak lelaki itu membuat birahiku terbakar, sepanjang 14 jam perjalanan KA BIMA Jakarta-Surabaya ini. Dan untuk meredam gejolak birahi itu, aku melampiaskannya di dalam WC KA BIMA yang lumayan bersih itu.
Dengan mencium aroma kloset pesing BIMA, dan dengan setengah berjongkok hingga posisiku aman dari goncangan lajunya kereta malam ini, aku mengkhayalkan seorang lelaki yang sedang memasukkan atau ngentot lubang pantatku. Kuambil ketimun Jepang yang hijau besar panjang, yang selalu kubawa pada setiap perjalananku dan selalu kuganti kalau sudah layu, kukhayalkan ketimun itu sebagai kontol orang negro yang sedang menusuk lubang anusku. Dan dengan baby oil yang telah kupersiapkan sebelumnya, ketimun itu pelan-pelan berhasil kudorong ke lubang analku. Kemudian dengan bertumpukan pada lantai kloset, ketimun yang panjang dan besar itu kutekan ke lantai dan aku terus memompa analku. Uuuhh.., sesak sekalii..
Pesingnya kloset KA BIMA justru memperlancar fantasi seksku. Lelaki yang kukhayalkan menyetubuhiku itu adalah penumpang segerbong di baris depan kursiku. Wajahnya sangat mirip dengan salah seorang anggota DPR/MPR yang sangat seksi menurut pandanganku. Kubayangkan lelaki tersebut menyodorkan kontolnya untuk kencing ke mulutku. Bau air seninya itu, ya.., semerbaknya bau WC KA BIMA itu, dengan cepat menggiring spermaku ke ujung penisku. Akhirnya spermaku muncrat tepat pada saat kereta telah memasuki peron stasiun Pasar Turi.
Dengan sedikit terseok, tepat pada pukul 6.00 pagi, aku sampai di Surabaya. Aku turun dari kereta api dan langsung menumpang becak menuju ke sebuah hotel kecil di dekat stasiun. Hotel Pasar Turi Kencana namanya. Aku punya pertimbangan bahwa penghuni hotel itu hanya sekedar transit. Mereka pada umumnya hanya tinggal sehari untuk kemudian melanjutkan tujuan perjalanannya. Tak akan ada orang yang cukup waktu untuk mengenaliku. Di hotel kecil seperti itulah aku akan lebih leluasa melaksanakan obsesiku.
Sesudah mandi dan makan pagi, aku mencari mobil sewaan. Kudapatkan mobil kecil, sebuah Daihatsu sedan yang lincah. Cukuplah untuk sarana melancong di Surabaya. Di hari pertama ini, aku melakukan konsultasi awal di kantor cabang perusahaanku di Surabaya. Aku perkirakan bahwa aku akan tinggal di Surabaya selama 3 hari. Ahh.., masih cukup banyak waktu untuk menyalurkan obsesiku. Pada pukul 3 sore tugasku selesai. Aku mampir ke mall untuk mencari kosmetik. Masa bodoh dengan orang-orang yang memperhatikanku, ‘Lho, lelaki koq beli kosmetik?’.
Uuuhh.., rasanya sangat sensasional dan erotis membayangkan diriku di depan cermin dengan merias diri dan mengubah diri menjadi waria yang seksi. Kontolku langsung ngaceng membayangkannya. Pukul 4 sore, aku sudah kembali di hotelku. Aku makan di Restoran Padang di depan hotel, mengambil rok dan sepatu tinggiku yang telah tertata rapi dalam bungkusan, kemudian aku berjalan lagi. Aku mencari tempat terbuka, mungkin semacam taman yang cukup ramai, tetapi yang bisa dengan aman parkir tanpa harus menarik perhatian orang. Aku akan berdandan dan mengubah diriku di dalam mobil sewaan ini. Akhirnya aku parkir di halam parkir stasiun Pasar Turi saja. Dan kebetulan ini adalah jam-jam kedatangan serta keberangkatan, sehingga semua orang sibuk dan tidak akan memperhatikan mobilku dan aku sendiri yang masih sibuk berdandan di dalamnya.
Tidak lama, 20 kemudian semuanya menit beres. Tidak perlu seperti ibu-ibu yang untuk berdandan saja memerlukan 2 jam. Aku sudah cukup terampil, karena pada setiap kesempatan, aku selalu merias diri di kamarku. Dengan blus sutra tipis, yang membuat dadaku nampak bidang, sehingga sepintas mirip Sharon Stone itu, aku mengenakan BH yang transparan dan tampak membayang dari blusku. Aku tidak perlu mengganjal buah dadaku, karena BH-ku sendiri sudah sangat menunjang. Kemudian rok kulotku yang tampil sedikit terbuka menunjukkan pusarku. Dan tak lupa pula, sret, sret, sret.., kusemprotkan minyak wangi di ketiak, pusar, dada dan leherku. Ooohh.., betapa indahnya membayangkan siapa saja nanti yang akan menjelajahi lokasi-lokasi dimana minyak wangiku menempel. Dan yang terakhir kukenakan adalah sepatu tinggiku.
Sekali lagi sebelum aku beranjak keluar dari taman itu, aku meraih cermin riasku. Aku cek kembali lipstick-ku, dengan sedikit sentuhan tangan kiriku dan dengan mengatupkan bibirku, semuanya tampak beres. Bibirku menjadi sangat seksi. Kemudian mata, alis, pipi, yak.., semua beres.., sungguh memuaskan..
Dengan jari-jari yang bercat kuku merah menyala, aku memegang kemudi dan mengarahkan mobilku menuju Jalan Irian Barat. Sebetulnya aku kasihan juga dengan nama jalan ini. Nama yang bagi banyak orang merupakan simbol perjuangan melawan Belanda ini, bagi kami para waria adalah hanya merupakan tempat untuk menebar cinta dan sperma, ha, ha, ha..
Pukul 6.30 malam, aku sudah berada di tempat tujuan utamaku. Masih sepi. Sangat sepi, rasanya aku agak terlalu awal, sebaiknya kemana dulu yaa? Oh ya, mestinya aku tidak perlu membawa mobil sendiri, karena siapa tahu saja aku ‘kecantol’ dan dibawa oleh lelaki yang menawan hatiku?? Kalau begitu lebih baik mobil kuparkir saja di suatu tempat yang aman, kemudian dengan taksi aku akan kembali ke Jalan Irian Barat ini. Akhirnya aku pilih halaman stasiun Pasar Turi yang terus terbuka dan ramai sepanjang 24 jam. Aku pastikan keamanannya pada petugas parkir dengan menyelipkan selembar puluhan ribu rupiah, dan aku parkirkan mobil di situ. Dengan kartu parkir di tangan, aku memanggil taksi.
Pukul 8 malam, aku turun dari taksiku di Jalan Irian Barat. Kulihat kerumunan waria di bawah lampu lalu lintas di kejauhan. Sekali lagi aku check-recheck penampilanku, rok kulot di atas lutut dan sedikit di bawah pusar, blus sutra tipis dengan bayang-bayang BH-ku, rambutku yang memang sudah gondrong, jadi pas untuk profil Lisa Ramon, nama wariaku, sepatu tingi yang membuat tinggiku bertambah menjadi 180 cm dari aslinya yang hanya 172 cm, dan kini.., yah.., kini aku membayangkan diriku sebagai Lisa Ramon yang penuh pesona, dengan dada yang membusung penuh percaya diri, tampak mirip Sharon Stone dari Hollywood, WOOW..!
Aku melangkah pasti di Jalan Irian Barat ini.
‘BLLAARR.., CHHEEIITT..’, tiba-tiba cahaya benderang sangat menyilaukan mata, disusul suara rem yang sangat nyaring, hampir menyerempet tubuhku..
‘Eeeii kontol.., eeii kontol.., DASAR KECOA..’, tiba-tiba keluar begitu saja kata-kata kotor dari mulutku, rasanya aku secara otomatis menjadi waria yang pada umumnya latah.
Sebuah sedan, yang aku tahu persis itu adalah Jaguar V2 mendesak jalanku.
‘LAMPUNYA MAASS.., LAMPUNYAA..’, kurang asem juga nih orang, dia sengaja menyorotku.
Dari jendela yang terbuka, keluarlah seorang anak Cina, oh bukan, ternyata seorang engkoh. Penampilannya tampak seperti pengusaha.
‘Panggil saja aku ABONG..’,
‘Mau kemana Koh Abong..??’, tanyaku setelah aku memperkenalkan diri dan setuju untuk masuk ke Jaguarnya.
Jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaanku, ‘Kontol lu gedee..??’, sembari tangannya menggerayangi pahaku.
Itulah gerayangan lelaki pertamaku sejak aku tampil sebagai si waria Lisa Ramon.
‘Koh Abong nyari yang gede..? Nggak takut n’tar? Segini kurang nggak..??’, sambil kukeluarkan kontolku yang sudah setengah ereksi.
‘Uuuhh, hebat kamu Lisa, gede buanget niih..!’, ah rupanya si engkoh ini sudah sangat bernafsu.
Tterus terang saja, kontolku sebenarnya hanya 16 cm, tapi bagi Koh Abong, ini sudah membuatnya mabuk dan membangunkan ’senjata’-nya.
Aku raba selangkangannya. EDAANN.., justru miliknyalah yang berukuran monster. Rasanya aku sedang memegang alu penumbuk beras. Langsung wajahku memerah, nafasku memburu.
‘Koh, aku pengin ini nihh..’, aku tidak berbasa-basi, aku benar-benar terdongkrak oleh birahiku.
Aku benar-benar terkejut. Belum pernah seumur hidup aku memegang kontol sebesar alu seperti milik Koh Abong ini.
‘Boleh ya koh..??’, pintaku seakan aku mengemis..
Terus terang sesungguhnya ini terlalu prematur bagiku, pada kesempatan pertamaku memasuki kawasan waria di Jalan Irian Barat ini, sebenarnya aku masih hanya ingin sekedar merasakan udara Jalan Irian Barat itu dengan pakaian wariaku, dimana baru kali ini aku berani mengeskpresikan diri secara ‘full waria’, dengan nama wariaku sebagai Lisa Ramon, tetapi belum-belum aku sudah disambar oleh Koh Abong ini.
Jaguar Koh Abong kabur menuju suatu tempat. Aku tidak begitu tahu di mana nih, belok, belok, belok lagi langsung masuk garasi. Koh Abong kemudian turun, kulihat dia berbicara sebentar dengan penjaga garasi itu. Kemudian baru mendatangi dan membuka pintu mobil untukku.
Aku merasa sangat tersanjung. Aku diperlakukan bak putri jelita, bak selebriti yang jadi rebutan para pecintanya. Abong meraih tanganku, menggandeng, naik tangga kayu, membuka pintu dan masuk ke kamar. Kamar tidur yang luas, mewah, sejuk karena AC-nya. Ada meja rias besar, itulah yang diam-diam kucari, dan diam-diam aku melintas di cermin besarnya dan, wow.., aku sendiri tidak mengira, aku benar-benar sangat cantik dan sensual. Aku.., Lisa Ramon.
Dan aku langsung menggeliat saat kurasakan Koh Abong meraih pinggangku. Dia mencium leherku, kudukku, bahuku. Dia terus mencium, turun ke belikatku. Aku menggeliat, “AACCHH..”, kukeluarkan desahan untuk Koh Abong. Desahan pelacur waria yang haus, desahan seakan dari waria peot yang sudah setahun tidak ada yang mau ngentot bokongnya.
Kemudian bak gasing di tangannya tubuhku diputar hingga kami saling berhadapan. Dia benamkam wajahnya ke leherku, dia isap leherku dan menyedotnya. Wah, berabe nih, timbul bekas cupang dong, tapi hal itu terlalu nikmat untuk kutolak atau kuhindari.
Kemudian kami saling melumat. Rupanya jago sekali Koh Abong ini dalam kissing. Lidahnya berputar-putar dalam rongga mulutku, sedotannya menguras seluruh air liurku. Kemudian Koh Abong mendorongku ke ranjang, uuhh.., dia menyergapku, menyerangku, menerjangku, meradang.., rasanya Koh Abong ini sangat.., sangat memujaku.. Dia rengkuh tubuhku, di telanjanginya aku, dijilatinya aku, seluruh tubuhku, seluruh pori-poriku, seluruh celah, bukit, maupun lembah yang terhampar di tubuhku tak ada yang tertinggal dari jilatannya.
Aku rasakan begitu nikmatnya saat wajahnya tenggelam dalam selangkanganku, bagaimana lidahnya itu terus mengocok-ngocok celah selangkanganku itu.
‘Bau khan Kohh.., baauu khann..’, aku mengerang.
‘Biarin sayangg.. aku rasanya ingin menelan kamu Lisaa.. biarkan aku menelan kamu yyaa..’, pintanya penuh kehausan.
Juga saat dia menjilati duburku, ‘JANGANN KOHH.., BAUU KOHH.., JANGAANN..’, tetapi Koh Abong tetap tidak menggubrisku.
Dia juga menjilat seluruh permukaan telapak kakiku, jari-jari kakiku, dia jilati betisku hingga pedih rasanya.
Entah dia sudah ‘keluar’ berapa kali, tetapi malam itu aku telah memuntahkan spermaku 3 kali. Dan dari semua muntahan spermaku, selalu dia minta padaku agar tidak dimuncratkan ke tempat lain kecuali ke mulutnya.
‘Jijik khan Koh..’, kataku, tetapi dia tidak mempedulikannya.
Dan kulihat bibirnya yang telah belepotan spermaku, begitu sibuk mengecap-ngecap sebelum akhirnya ditelan. Pada pukul 2 malam, setelah 6 jam dia puas mengeksplorasi seluruh tubuhku, dia mengantarkanku ke stasiun Pasar Turi. Dia turun membukakan pintu mobil untukku dan membantu menghidupkan mesinnya, dia khawatir kalau terjadi masalah dengan kendaraan tersebut setelah cukup lama di parkir.
Kemudian dia kembali membukakan pintu dan membantuku keluar. Aku turun untuk pindah ke Daihatsu sewaanku. Tiba-tiba diberikannya berlembar-lembar uang padaku. Aku menolak, tetapi dia memaksa, karena dirinya juga senang, katanya. Aku jadi terharu, Koh Abong sangat baik padaku dan aku menjadi merasa sangat tersanjung.
Sesudah dia pergi, aku kembali berbenah. Kuambil cermin riasku, kuseka semua coreng moreng di mukaku. Lipstik, pensil alis, bedak segala macam merk, shiseido dan sebagainya. Kuganti rokku dengan celana pendek, blusku dengan T-shirt, hingga aku kembali menjadi Norman, staf akunting dari sebuah perusahaan di Jakarta yang sedang bertugas di kantor cabangnya di Surabaya.
Aku kembali ke hotel untuk tidur. Ternyata aku merasa sangat lapar. Kuambil sisa bekal roti dari tasku, kuambil juga Coca Cola kalengku. Aku bangun pukul 8 pagi, walaupun sebenarnya aku masih merasa lelah, tetapi pagi itu aku merasa sangat segar.
Setelah mandi, aku bersiap ke kantor. Aku mengenakan dasi Valentino yang baru kubeli dari Singapore lengkap dengan jepitannya. Kuambil blazer Hugo Boss-ku. Aku pergi sarapan di Bumi Hyatt. Saat aku akan membayar, kurogoh kantongku, aku terperanjat.., Koh Abong.., uang yang diberikannya tadi malam itu.., 2 juta rupiah dalam pecahan ratusan ribu yang masih baru. Ooohh.., aku langsung ereksi kembali.., aku gembira bukan karena besarnya jumlah uang itu, tetapi itu pasti diberikan Koh Abong untukku dengan penuh penghargaan padaku, dan penghargaan itulah yang membuatku berbinar-binar sepanjang hari itu.
Di kantor, Pak Hendro, kepala cabang Surabaya menyambutku dengan sangat santun. Aku tahu, dia berharap pemeriksaan audit olehku akan kuberikan sedikit kelonggaran apabila terjadi hal-hal yang kurang ‘pas’ di mataku. Aku paham, hal seperti itu lazim di mana-mana. Kebanyakan orang kita memang kurang paham akan makna hakiki setiap aspek dalam akunting. Mereka biasanya sekedar pengguna jasa saja.
Hari itu aku pulang seperti biasa, pukul 3 sore dari kantor cabang itu. Dengan penuh gairah aku menghadapi malam yang kedua untuk kembali menjadi Lisa Ramon di Jalan Irian Barat Surabaya itu. Aku akan membeli pakaian baru dari uang pemberian Koh Abong semalam. Aku mampir ke Mall Tunjungan. Kali ini aku ingin tampil dengan sangat berbeda dibandingkan tadi malam. Aku yakin bahwa hal ini juga akan menjadi suatu surprise bagi diriku sendiri. Aku ingin melihat diriku yang lain dalam kostum yang berbeda, Lisa Ramon pada malam yang ke-dua di Jalan Irian Barat Surabaya.
Aku pilih rok terusan dengan kain yang lembut berwarna hitam, dengan tali kecil yang menggantung pada bahu, sehingga bahuku yang mulus akan nampak terbuka. Kemudian dengan penuh keyakinan pula, aku membeli sepatu berhak tinggi model boot hingga sedikit di atas mata kakiku. Untuk semua itu, aku menghabiskan hampir sejumlah 800 ribu rupiah. Biarlah, aku benar-benar ingin memuaskan diriku sendiri kali ini.
Berdasarkan pengalaman kemarin, setelah puas makan di Restoran Padang di depan hotelku, pada pukul 7.00 malam aku baru keluar dari hotel. Langsung menuju stasiun Pasar Turi, kemudian parkir dan berdandan di sana. Tepat pukul 7.40, aku sudah kembali menjadi Lisa Ramon. Aku segera keluar dari mobilku, memanggil taksi dan menuju Jalan Irian Barat.
Kepada sopir taksi, aku minta diturunkan di dekat kerumunan waria-waria di bawah lampu lalu lintas Jalan Irian Barat itu. Begitu aku membuka pintu dan turun dari taksi, kerumunan waria-waria itu nampak terkesima.
‘Wee.., anak baru.., anak baru.., waria baru nihh..’, suara mereka dengan jelas kudengar.
Aku berusaha untuk menahan diri dan berendah hati.
‘Selamat malam teman-teman’, satu dua di antara mereka menyahut kemudian mendatangiku.
‘Baru yaa.., dari mana, uhh kamu cantik sekalii..’.
‘Trims. Aku dari Jakarta. Kesepian nih sendirian di rumah. Boleh gabung yaa.., paling cuma sampai besok koq..’.
Hal ini perlu kujelaskan, karena biasanya para waria kurang suka jika ada ‘pesaing’ baru, apalagi jika ‘pesaing’ tersebut sangat seksi seperti diriku ini.
‘Ada yang namanya Bella tidak?’, aku bertanya sekalian menginformasikan bahwa aku mengenal seseorang di Jalan Irian Barat ini.
‘Aku punya pesan untukk Bella dari temannya Norma di Jakarta’, kataku lebih lanjut.
‘Ooouuwww.., kamu teman Norma. Bagaimana kabarnya?’, ternyata Norma sangat dikenal di daerah ini, maklum Norma juga seorang organisator para waria yang biasanya memimpin kegiatan-kegiatan sosial di berbagai kota, atau ikut meramaikan berbagai acara hiburan yang melibatkan banyak waria.
Tak lama kemudian yang namanya Bella muncul kedepanku. Benar kata Norma, Bella ini sangat cantik dan apik, dan juga sangat ramah serta.., menurut Norma cocok dengan seleraku, kontol Bella sangat besar dan panjang, dia adalah satu-satunya waria di Jalan Irian Barat yang memiliki kontol sebesar itu. Aku pasti akan sangat terkesan. Kemudian aku diperkenalkan dengan teman-temannya, juga dengan pemimpin komunitas mereka di Jalan Irian Barat itu, namanya Angel, yang juga sangat baik dan ramah.
Mereka semua mengerumuniku dan memuji penampilanku. Tentu saja aku berbunga-bunga, tetapi aku berusaha untuk tetap rendah hati. Kusambut simpati mereka semua padaku. Aku berusaha ramah pada semuanya, yang jelek, yang tua, yang muda, yang pendek dan lain-lainnya. Aku merasakan kehangatan mereka sebagai sesama banci atau waria.
Jalan Irian Barat ini sangat ramai di malam hari. Mobil segala merk berseliweran, lampunya sengaja disorotkan besar-besar. Penumpangnya ingin menikmati pemandangan para waria di sepanjang jalan itu. Jalan Irian Barat berubah menjadi ‘cat walk’ bagi para waria.
Nampak sekali malam itu aku menjadi pusat perhatian para tamu yang berseliweran di situ. Didampingi oleh Bella, aku menyambut sapaan mereka dengan ramah. Nampak beberapa anak muda memarkir mobilnya, kemudian turun mendatangiku. Mereka sopan, mengajakku mengobrol, terkadang berbisik ke telingaku.
‘Kamu cantik sekali, mirip Sharon Stone’, demikian pendapat mereka.
Rupanya kemiripan dengan Sharon Stone itu menjadikanku sangat populer. Bahkan banyak yang memanggilku dengan julukan ‘Sharon’.
Beberapa waktu kemudian tak kulihat lagi Bella, mungkin dia sudah dibawa tamunya, juga Angel, Betty, Angie, Bonny, Mariam, Nelly. Aachh.., saat ini mungkin bibir mereka sedang disesaki penis-penis lelaki, atau lidah-lidah mereka sedang menjilati anal pasangannya, atau pantat mereka sedang ditembus kontol lelaki dan dikocok-kocoknya.
‘BBLLAARR.., SRREETT.., SUUIITT..’, sebuah Honda Accord berhenti tepat di sampingku.
Kaca jendelanya nampak bergerak terbuka. Dari balik pintunya nampak bapak-bapak yang gemuk dengan kulitnya yang hitam serta bibirnya yang tebal, sepertinya orang Ambon atau Irian.
‘Halloo, apa kabarr? Jalan-jalan nyookk..’, aku mendekat, tanganku memegang pinggiran pintu sambil sedikit membungkuk untuk memberi perhatian pada yang di dalam.
Dia berdua, sama-sama berkulit gelap, sama-sama gemuk dan nampaknya juga seumur. Aku merasa agak ngeri juga. Sebagai pendatang baru aku perlu berhati-hati. Tetapi toh aku harus tetap bersikap ramah, tidak pilih-pilih.
‘Haii Pak Adop, apa kabar?’, tiba-tiba dari belakangku seorang waria menyapa penumpang Honda Accord itu.
Nampaknya di antara mereka sudah biasa bertemu.
Orang yang bernama Pak Adop itu menyambutnya dengan ramah, menanyakan tentang diriku yang baru kali ini dilihatnya di Jalan Irian Barat ini. Dan akhirnya aku tahu, Pak Adop itu adalah pengusaha yang terkenal di Surabaya, dan dia sering mampir ke jalan ini. Dia sangat dikenal baik dan pemurah.
‘Jangan khawatir Liss, terima saja kalau dia mengajak kencan. Baik koq orangnya, tetapi hati-hati, barangnya gedee buanget..’.
Kata-kata terakhir yang menyangkut barang Pak Adop itu membuatku merinding dan menggelinjang. Saraf-saraf libidoku langsung bereaksi. Lubang pantatku juga langsung terasa mengencang dan gatal.
‘Jangan bengong, non Lisa.., ayoo naik..’, teman Pak Adop, Pak Abi namanya sudah turun dengan menggandeng tanganku, membuka pintu Accord itu dan sepertinya aku tak punya pilihan, dan aku masuk ke mobil.
Mobil itu langsung bergerak meninggalkan Jalan Irian Barat.
‘Tunggu Pak Adop, masa Lisa sendirian nihh..?’, aku bertanya setengah protes.
‘Nggak pa-pa lah, sekali-kali sendirian, nggak usah khawatir, pokoknya Lisa akan balik utuh, mungkin ada tambahan sedikit, beberapa cc yang terbawa di tubuh Lisa nanti..’, rajuknya sambil diringi tawa kedua tamu baru saya ini.
Aku langsung membayangkan, malam ini aku akan ‘dimakan habis’ oleh orang-orang hitam ini. Pantatku akan dijebol oleh ‘tank-tank’ orang-orang Ambon atau Irian ini, seperti halnya tank-tank Amerika dan Inggris yang menembus kota Baghdad. Ah biarlah, hitung-hitung untuk pengalaman, toh mereka baik dan cukup dikenal di tengah komunitas jalan Irian Barat itu. Aku tidak perlu terlalu khawatir.
Dari neon box di depan hotel, nampaknya aku diajak memasuki Motel Kenanga, aku sendiri tidak tahu dimana itu. Seperti halnya kemarin, petugas motel menunjukkan tempat yang masih kosong. Mobil langsung masuk ke garasi yang kemudian secara otomatis menutup. Pak Adop, Pak Abi dan aku sendiri turun dari mobil dan segera naik ke lantai dua.
Kamar yang telah dipesan cukup luas dan bersih. Aku lihat ada dua bed dengan spreinya yang putih. Ada telepon dan TV. Melalui telepon di kamar itu, Pak Adop memesan minuman dan makanan kecil. Aku rasakan angin lembut menghembus telingaku. Pak Adop yang rupanya sangat sigap, sudah dalam keadaan setengah telanjang, dia merangkulku dari belakang, tangannya memeluk dadaku, kontolnya terasa mengganjal di bokongku. Dia menempelkan bibirnya di bawah telingaku sambil berbisik, ‘Sharon Stone-ku (lagi-lagi Sharon Stone), aku horny sekali melihatmu..’, wajahnya langsung merangsek, merambati punggungku. Tali blusku digigit dan direnggutnya untuk melepaskan blus dari tubuhku.
Kemudian Pak Abi datang dari depan, dia juga sudah setengah telanjang. Kontolnya naqhprtmpak besar sekali, membayang dari celana dalamnya. Dia langsung meraih selangkanganku, meremas kontolku yang juga sudah ngaceng. Dia melepaskan kancing dan resluiting celana pendekku, diangkatnya kakiku bergantian untuk mengeluarkan celanaku dan melemparnya ke kursi di ruangan itu. Dan tanpa membuka celana dalamku terlebih dulu, Pak Abi langsung membenamkan wajahnya ke selangkanganku, menggigit pangkal pahaku, kemudian menggigit gundukan kontolku. Selanjutnya tangannya merogoh serta membetot kontolku dari pinggiran celana dalamku.
Ternyata pada malam itu, selama hampir 4 jam mereka berdua mengeroyokku. Dengan penuh nafsu birahi, dan dengan penuh semangat, mereka memuja kecantikan serta sensualitas tubuhku. Mereka bersama-sama menggarapku. Semua permukaan kulitku dirambahnya, semua lubang-lubang kumiliki dirambahnya, ditembusnya. Kontol-kontol mereka yang berukuran di atas 18 cm, dengan warna hitam dan penuh kilapan saat ngaceng, benar-benar memberiku kepuasan seksual tak terhingga.
Sperma mereka secara beruntun mengisi lubang pantatku, dan juga mulutku. Entah sudah berapa mililiter sperma Pak Adop dan Pak Abi membasahi tenggorokanku untuk menghilangkan kehausanku. Kontol-kontol hebat itu menggenjot analku hingga serasa robek-robek, sangat pedih dan sangat pedas. Dalam kesempatan itu, aku sama sekali tidak diberikan peluang untuk aktif. Merekalah pemegang komandonya, sementara aku hanya menerima kenikmatan yang tiada taranya dari mereka. Kontol-kontol mereka memenuhi mulutku, memancarkan sperma hangat ke langit-langit rongga mulutku. Sperma orang-orang hitam entah dari Irian atau Ambon yang kurasakan sedemikian nikmatnya, seakan aku meminum air nira sagu dari tempat asal mereka.
Setelah masing-masing menyemprot mulutku dengan spermanya 2 kali, dan sekali ke lubang duburku, pada pukul 1 dini hari aku dikembalikan ke Jalan Irian Barat. Nampak Bella dan teman-temannya juga sudah berada di situ. Sebelum aku turun dari mobil, Pak Adop menyerahkan lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah untukku. Sebenarnya aku tidak memintanya, dan aku memang tidak akan pernah memintanya, karena saat-saat seperti ini bagiku merupakan saat untuk mengekspresikan diri sebagai waria seutuhnya, bukan untuk uang. Tetapi mereka, Pak Adop maupun Pak Abi berpikir lain. Dia merasa wajib membayar atas semua kenikmatan yang telah diraihnya dari tubuhku.
Malam itu, Pak Abi maupun Pak Adop, seperti halnya Koh Abong kemarin, nampak sangat memuja tubuhku, sangat terpesona pada sensualitas yang memancar dari penampilanku, dan itu nampak dari bercak-bercak cupang mereka berdua yang bertebaran di lengan, perut, punggung, paha maupun betisku. Uuuhh.., sungguh pemandangan yang sangat erotis, karena cupang itu selalu muncul dari dorongan birahi yang tinggi para pembuatnya.
Aku tidak menghitung lagi berapa jumlah uang yang diberikan Pak Adop dan Pak Abi padaku. Gepokan uang dalam genggaman itu langsung kuserahkan pada Bella dan Angel.
‘Nih.., bagi ke teman-teman..’, dan langsung mereka terima dengan senang hati.
Bella menginformasikan padaku, uang sebanyak 800 ribu rupiah dariku itu, setengahnya dimasukkan ke kas organisasi waria Jalan Irian Barat itu. Setengah sisanya lagi mereka pakai untuk makan-minum di warung pinggir jalan setempat. Bella memintaku ikut bersama-sama minum, tetapi aku meminta maaf tidak dapat berpartisipasi, karena aku harus sampai di hotelku sebelum pukul 3 pagi. Mereka dapat memahamiku.
Pukul 8 pagi esoknya, aku sudah duduk di Bumi Hyatt untuk sarapan. Ini adalah merupakan hari terakhir tugasku di Surabaya. Besok pagi aku sudah harus masuk kantor pusat di Jakarta. Sementara itu aku masih ingin menikmati penampilanku sebagai Lisa Ramon di Jalan Irian Barat itu. Akhirnya kuputuskan untuk membeli tiket Garuda saja. Kalau aku bertolak dari airport besok pukul 8 pagi, maka aku akan sudah berada di kantor pada pukul 10 pagi itu. Malam ini Lisa Ramon akan kembali menikmati peranannya di Jalan Irian Barat.
Aku bergegas ke kantor cabang, kepada Pak Hendro kusampaikan bahwa setelah aku memeriksa semua catatan pembukuan yang ada, tak ada hal-hal yang serius menyimpang dari yang seharusnya. Aku hanya minta beberapa istilah akun disesuaikan, agar dapat sinkron dengan bahasa akun yang sudah merupakan standar laporan keuangan umumnya. Pak Hendro sangat gembira dengan kesimpulanku. Siang itu dia bersama para eksekutif lainnya mengajak berdarma wisata ke pinggir selat Madura. Di tempat itu, terdapat puluhan warung dan restoran yang menjajakan masakan khas laut, ikan bakar. Sesudah pilih sana dan pilih sini, kami memasuki restoran yang terkenal di daerah itu.
Kami menunggu beberapa saat sambil berbincang kesana kemari, hingga hidangan yang kali ini sangat eksotik dan merangsang perut yang lapar ini tersaji melimpah ruah di meja. Tampak ada ikan kerapu tim, baronang dibakar dengan bumbu Madura, cumi-cumi telor yang dikelilingi daun selada segar, beberapa botol bir, juice tomat, orange juice dan banyak macam lagi. Siang itu kami benar-benar memuaskan dan memanjakan perut kami. Hari itu pada pukul 5 sore, aku baru bisa kembali ke hotel. Aku segera mandi. Kemudian aku memasukkan semua baju perempuan beserta sepatunya.
Untuk malam terakhir di Jalan Irian Barat ini, aku ingin tampil beda lagi. Semua yang pernah kupakai selama 2 malam di jalan Irian Barat itu, akan kuberikan untuk Bella dan teman-teman lain, sebagai kenanganku atas keramahan teman-teman di Jalan Irian Barat itu. Tentu saja aku akan membeli pakaian baru untuk penampilanku malam ini. Dan rencanaku, aku akan memarkirkan mobilku di jalan ini saja. Bella bilang aman kok. Nanti akan ada orang yang menjaganya sampai pagi. Dan aku tidak perlu mondar-mandir untuk urusan parkir dan mobil.
Aku kembali ke butik di Tunjungan Plaza. Aku menjadi sedemikian terobsesinya pada pakaian perempuan. Kali ini aku pilih celana jeans pendek lengkap dengan ikat pinggang kulitnya yang beraksesoris paku-paku, sehingga membuatnya nampak sangat sensual pada penampilanku. Dan aku tampak seperti seorang wanita yang sedang bersafari di gurun Africa yang tengah mencari gerombolan singa untuk sasaran perburuannya. Pasangan atasnya kupilih blus tipis, setengah badan, yang digantungkan ke bahu dengan tali yang kecil lembut. Aku juga membeli wig dengan rambut lurusnya yang jatuh ke bahuku. Untuk sepatunya, aku masih memakai sepatu yang kemarin. Aku menghabiskan 800 ribu rupiah lagi untuk perlengkapan perempuan baruku kali ini.
Pada pukul 9 malam ini, aku sudah kembali turun dari Daihatsuku sebagai Lisa Ramon, yang tampak seperti sedang melakukan safari mencari korban lelaki hidung belang di belantara Irian Barat ini. Ha, ha, ha.., nyamannya hidup ini.. Bella, Angel, Letty dan teman-teman lainnya tampak memperhatikan saat seseorang turun dari Daihatsu sewaanku. Begitu mereka tahu kalau orang itu adalah aku, Bella dan teman-teman langsung menyambutku. Mereka benar-benar telah menjadi sahabatku, sahabat malamku, sahabat Lisa Ramon.
Mereka kembali mengagumi penampilanku, mereka berkata bahwa sebenarnya pakaian yang kupakai tidak terlalu mahal, tetapi saat pakaian itu telah menempel di tubuhku, maka pakaian itu jadi nampak mahal dan yang aku tahu juga adalah bahwa Norman yang biasa-biasa saja, seketika itu juga bisa beralih bentuk, berubah total menjadi Lisa Ramon yang cantiknya bukan main, lengkap dengan segala keanggunan dan lebih-lebih sensualitasnya, yang bisa dipastikan akan mendongkrak libido para lelaki hidung belang yang manapun.
Aku sudah tahu sekarang. Agar tidak menimbulkan perasaan iri atau cemburu antara sesama waria, maka aku tidak akan melayani tamu-tamu yang datang di jam-jam awal ramainya Jalan Irian Barat ini. Aku harus memberikan kesempatan bagi para waria yang lain untuk ‘laku’ lebih dahulu. Dan bagiku, tidak perlu merasa khawatir, karena keramaian Jalan Irian Barat ini menjanjikan banyak tamu hingga cukup larut malam.
Bella mendekatiku, dia berkata bahwa tadi sore ia telah menerima telepon dari Norma, dan dia ceritakan bahwa pesan salamnya sudah dia terima dari Lisa. Dan Norma mengatakan padanya bahwa ia tidak mengenal dengan seseorang yang bernama Lisa, kemudian Bella menceritakan ciri-ciri postur tubuhku. Akhirnya Norma berteriak di ujung telepon, ‘Kurang asem, itu sich temanku si Norman, pengin nge-waria kali. Ya deh, salam balik’, demikian cerita Bella yang kemudian dilanjutkannya dengan pertanyaan, ‘Benar yaa, kamu Norman?’, aku hanya nyengir kuda. Tetapi Bella tidak berhenti disitu, dia pepet tubuhku hingga menuju ke bawah pohon yang gelap dalam bayang-bayang lampu jalan itu. Tangannya meraih selangkanganku, dia remas kontolku, dia mendesah dan minta, ingin mendapat kesempatan untuk memuaskanku. Memuaskan birahiku. Bella meraih tanganku dan dengan serta merta dibawanya tanganku ke selangkangannya. Dia memaksaku untuk merasakan kontolnya, untuk meremasnya. Uuhh.., benar sekali kata Norma, kontol Bella sungguh luar biasa. Aku berada di persimpangan. Bimbang, bingung, dan rasa ingin silih berganti.
‘Kalau kamu lagi tidak mood, ya nggak apa-apa Lis, kapan-kapan saja. Walaupun aku sebenarnya sangat ingin nihh..’, kata-kata Bella sangat membuatku terharu bercampur nafsu yang telah menyelinap.
‘Bell, kita bisa main bertiga nggak?’, akhirnya aku berkata.
Tujuan utamaku sebenarnya adalah memuaskan libido, mencoba mencari solusi, dan aku perhatikan ada waria muda sekali di situ, anaknya jangkung, kerempeng, tetapi di mataku nampak sangat sensual.
‘Kamu mau bertiga? Dengan siapa..?? Ada yang kamu taksir..? Bisa, nanti kita main di tempat kosku saja beres. Kamarnya ber-AC, ada kulkas, ada kamar mandi sendiri..’.
Wah, hebat juga waria-waria Surabaya ini, pikirku.
‘Bagaimana kalau kamu ajak tuh.., tuh.., siapa namanya anak muda itu tuhh..’, kutunjuk si jangkung kerempeng yang tidak jauh dari tempatku mengobrol ini.
‘Ooo, diaa.., si Nancy, boleh.. n’tar kuomongin dulu yaa..’, Bella langsung mendatangi waria muda itu.
Dan malam itu kami bertiga pesta seks. Ternyata body Nancy ini indah sekali. Dia bagaikan anak perawan lugu yang tubuhnya masih 100% mulus, kontolnya tidak terlampau besar, apalagi kalau dibandingkan dengan kontol Bella. Tetapi saat menggenjot mulutku, kontol itu mampu memberikan sensasi tersendiri di dalam mulutku. Spermanya yang muncrat-muncrat di mulutku terasa asin pahit, tetapi kental sekali. Rasanya seluruhnya merupakan lendir pekat yang saat melewati tenggorokanku terasa seperi lendir bergumpal-gumpal yang berkesinambungan. Tenggorokanku mengalami sensasi kenikmatan yang tak terhingga.
Dia juga ngentot pantatku dan meninggalkan spermanya di analku. Dan pada saat aku cebok di kamar mandi Bella, lendir-lendir Nancy itu tak kunjung habis-habisnya. Akan halnya Bella, tidak perlu diragukan lagi, ternyata menurutnya dia sudah sangat horny saat melihatku pertama kalinya pada malam kemarin. Dan pada malam terakhir aku di Surabaya ini, Bella menyalurkan nafsu birahinya habis-habisan, untuk memberikan kepuasan padaku, dan sekaligus untuk meraih kepuasannya sendiri. Dia jilat lubang pantatku, dia jilat spermaku yang tercecer di lantai, di sprei, di paha Nancy, bahkan di pantat Nancy.
Dia menumpahkan spermanya 2 kali ke mulutku dan sekali ke lubang analku. Kami beriga mendapatkan kepuasan yang akan selalu menjadi kenangan bagi kami. Spermaku sendiri sempat 2 kali tumpah. Nancy dan Bella menunggu kesempatan itu. Saat aku hendak memuncratkan spermaku, mulut mereka menganga di depan kontolku. Kukeluarkan spermaku dengan kocokan. Dan saat spermaku muncrat, mereka saling berebut untuk menadahinya. Sebagian yang tercecer di dagu atau pipi Bella, dengan rakus dijilati oleh Nancy dan demikian pula sebaliknya, sperma yang muncrat di dagu, pipi dan dada Nancy, dengan rakusnya dijilati oleh Bella.
Sungguh 3 malam yang indah bagiku selama bertugas di Surabaya. Ini adalah hari terakhirku, seharusnya aku sudah di atas KA BIMA malam ini, tetapi aku tunda. Aku akan pulang menggunakan pesawat Garuda saja esoknya. Pada Norma, sekembalinya aku dari Surabaya, kuceritakan pengalamanku, dia mendengarkannya dengan takjub. Dia mendengarkannya sambil tangannya menggerayangi kontolku. Sambil kedua tangannya mengocok-ngocok kontolku. Dia mendengarkannya sampai menelan spermaku yang muncrat di mulutnya, sebagaimana yang telah biasa diterima dan dilakukannya, Norma adalah waria peminum spermaku yang setia.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
833