02. Aku Jadi Pengantin Muridku


“Lalu kenapa?”

“Kebetulan minggu depan ada ulangan yang penting, jadi aku boleh tinggal di rumah ini sampai mami pulang. Selama itu, aku mau kakak untuk tinggal bersamaku di rumah, sambil mengajariku! Bagaimana? Kita bisa bersenang-senang sampai puas kan, Kak?”

“Memangnya sampai kapan bu Diana ada di luar negeri?” tanyaku kembali.

“Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di Jerman, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu.”

“Tapi apa bu Diana akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?”

“Tenang saja, kak! Biar nanti Rendy yang bicara dengan Mami.” Ujarnya meyakinkanku.

Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang permintaan Rendy. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap di rumah bu Diana. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan kalau aku menginap di rumah bu Diana. Lagipula aku akan lebih bisa mengawasi Rendy untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang kian mendekat, dengan begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan pekerjaanku. Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau Rendy tidak “mengerjaiku” lebih parah dari kemarin.

“Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus belajar yang rajin selama kakak tinggal di rumahmu.” Anggukku sambil memberinya penawaran.

“Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!” jawabnya dengan bersemangat.

“Iya, iya…” balasku dengan perasaan agak lega.

Kami lalu segera beranjak ke kamar Rendy dan aku pun mulai mengajarinya. Tapi hari ini ada yang berbeda dari Rendy. Ia tampak lebih serius dan bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah cukup senang saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi. Tak lama kemudian, kudengar suara bu Diana di lantai bawah.

“Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara dulu dengan Mami!”

Rendy segera beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya tanpa menghiraukanku. Sayup-sayup kudengar suara percakapan Rendy dengan bu Diana, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Sambil menunggu Rendy, aku mempersiapkan soal-soal latihan yang akan kuberikan untuknya nanti. Sekitar 5 menit kemudian, Rendy kembali ke kamarnya bersama bu Diana.

“Halo, Erina. Rendy meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak di rumah.”

“Eh? I… iya, bu Diana! Rendy memberitahu saya kalau ia ingin mendapat les tambahan dari saya selama bu Diana tidak dirumah… Katanya… untuk persiapan ujian semester…” ujarku dengan agak gugup.

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Rendy juga akan ikut ke Jerman. Makanya tadi saya sempat mengajak Rendy untuk ikut. Tapi karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu.”

“Jadi?” tanyaku

“Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Rendy selama itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir bulan ini. Bagaimana?” Jawab bu Diana memberikan tawaran.

“Baik, bu Diana. Saya setuju!” anggukku sambil tersenyum. Sekarang aku mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Rendy. Dengan bonus yang disediakan bu Diana dan penghematan uang kosku selama setengah bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai sebagian keperluanku bulan depan.

“Baguslah! Kalau begitu, Erina, tolong kamu siapkan barang-barangmu yang akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan menjemputmu sebelum kamu mengajar Rendy.” Ujar bu Diana.

“Iya, bu Diana!” aku mengiyakan permintaan bu Diana.

Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang untuk mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki banyak barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil milikku. Aku juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah selama setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia menyimpankan kamar bagiku apabila aku kembali.

2 hari kemudian, bu Diana dan Rendy pun datang menjemputku sebelum aku mengajar Rendy. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan untuk tidur di kamar tamu di lantai bawah. Malam harinya, aku diberitahu bu Diana tugas-tugasku di rumah itu selama bu Diana di luar negeri. Aku diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Aku sudah terbiasa memasak dan mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Diana sudah menyuruh anak buahnya untuk mengantar bahan makanan dan supir studio untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan, aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka. Esok harinya, bu Diana sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah. Sehingga hanya ada aku dan Rendy sendiri di rumah. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar terkejut saat melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu pelaku yang dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan selembar handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh “pencuri” itu. Aku segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.

“Rendy! Reendyy!! Buka pintunya!” Seruku sambil menggedor kamar Rendy. Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Rendy muncul dari sela-sela pintu kamar itu.

“Ya, ada apa kak?!” tanyanya padaku. Namun matanya segera melirik tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum cengengesan melihat keadaanku.

“Wah, waah… Kakak sudah tidak sabaran ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.

“Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!” gerutuku.

“Lhooo… memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?”

“Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!”

“Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya, aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe…” Rendy tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya dihadapanku.

“Aah! Hei, Rendy! Tunggu duluu…” protesku, tapi Rendy sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.

Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin sekali karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan sekarang tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja. Selama beberapa menit aku terus menggedor pintu kamar Rendy dan berusaha membujuknya, namun ia sama sekali tidak menggubrisku.

“HATSYII…!!!” Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.

“Kak! Kakak pilek, ya?” tiba-tiba terdengar suara Rendy dari balik pintu.

“I… iya… Rendy, tolong…. kembalikan pakaian kakak… disini dingin sekali… kakak tidak tahan…”

“Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!”

“Iya… iya… cepat doong…. Kakak kedinginan disini…” pintaku pada Rendy

Rendy kembali keluar dari kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak gelisah.

“Haa… HATSYII!!!” kembali aku bersin dihadapannya. Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.

“Ayo Kak, ikut denganku!” pinta Rendy padaku yang segera kuturuti saja.

Rendy menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu dikunci, namun Rendy segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di tangannya. Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun pengantin putih dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di kamar itu. Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama gaun-gaun itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Diana sekaligus tempatnya menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.

“Kak, aku minta kakak memakai baju itu.” ujar Rendy seraya menunjuk ke arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.

“Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau menikah, apa?!” jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.

“Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!” balas Rendy.

“Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!” ujarku agak kesal. Terpaksa kuturuti permintaan Rendy, daripada pilekku semakin parah.

“Oh iya Kak!”

“Apa lagii?”

“Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!” pinta Rendy.

“Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo…” imbuhnya.

Aku menghela nafas dan menutup pintu kamar itu. Memang kulihat gaun itu dilengkapi dengan mahkota, sarung tangan, bahkan stocking dan sepatu yang semuanya berwarna putih susu. Luar biasa! Sejenak aku kagum dengan kepandaian bu Diana dalam merancang gaun itu, komposisi yang disusunnya benar-benar serasi. Aku lalu menuruti perintah Rendy untuk memakai semua pakaian itu dengan lengkap. Berat bagiku memang, karena aku belum pernah memakai gaun pengantin sebelumnya. Setelahnya, aku pun merias diriku dengan kosmetik milik bu Diana. Kulihat semua kosmetik itu buatan luar negeri. Aku sendiri agak canggung untuk memakai kosmetik-kosmetik itu, mengingat harganya yang selangit bagi mahasiswi sepertiku. Tapi setidaknya, aku mendapat sebuah kesempatan untuk mencoba kosmetik-kosmetik itu, maka aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah beberapa lama, aku akhirnya selesai mempengantinkan diriku. Kubuka pintu kamar itu dan seperti yang sudah kuduga, Rendy sedari tadi sudah menungguku di depan pintu. Ia tampak amat terpana melihatku yang berbusana pengantin itu. Busana pengantinku berupa sebuah gaun pengantin putih yang indah sekali. Atasan gaun memiliki sepasang puff bahu yang terikat dengan sepasang sarung tangan satin dengan panjang selengan di kedua tanganku yang kini menutupi jari-jariku yang lentik. Di bagian perut dan dada gaunku bertaburan kristal-kristal imitasi yang samar-samar membentuk sebuah pola hati. Bagian pinggang gaun itu memiliki hiasan kembang-kembang sutra yang melingkari bagian pinggang gaun itu seperti sebuah ikat pinggang yang seolah menghubungkan atasan gaunku dengan rok gaun polos yang dihiasi manik-manik membentuk hiasan bunga-bunga yang bertebaran disekeliling rok gaunku. Pinggulku dipasangi pita putih besar. Aku juga memakaikan rok petticoat di pinggangku agar rok gaunku tampak mengembang. Rendy sendiri tampak kagum melihat cantiknya wajahku yang sudah kurias sendiri; kelopak mataku kurias dengan eye-shadow berwarna pink dan alsiku yang kurapikan dengan eye-pencil. Sementara lipstick yang berwarna pink lembut kupilih untuk melapisi bibirku yang tampak serasi dengan riasan bedak make-upku.

Riasan mahkota bunga putih tampak serasi dengan rambut hitam-sebahuku yang kubiarkan tergerai bebas. Aku telah memasang stocking sutra berwarna putih yang lembut di kakiku yang dilengkapi dengan sepasang sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak serasi seperti gaun pengantinku. Tubuhku juga kuberi parfum melati milik bu Diana sehingga sekujur tubuhku memancarkan aroma melati yang amat wangi.

“Nah, bagaimana?” ujarku pada Rendy yang masih melongo melihat penampilanku.

“Hei! Kok malah bengong sih?!” seruku, yang segera menyadarkan Rendy dari lamunannya.

“E… eh… ccantik sekali Kak!” jawab Rendy tergagap-gagap, aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang kebingungan.

“Kak, ini… buat kakak…” Rendy mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku. Mawar merah yang indah itu tampak segar berkilauan.

“Waah, terima kasih ya!!” otomatis aku mencium bunga itu untuk menghirup aromanya. Sejenak aroma yang menyengat memasuki hidungku aku pun langsung merasa pandanganku tiba-tiba kabur dan tubuhku terasa lemas.

Aku pun ambruk tidak sadarkan diri. Sayup-sayup kulihat senyuman Rendy, aku berusaha untuk tetap sadarkan diri, namun mataku terasa berat sekali dan akhirnya aku menutup kelopak mataku. Entah apa yang terjadi pada tubuhku, namun saat aku sadar, aku melihat diriku sudah terbaring mengangkang di sebuah ranjang canopy dalam keadaan berbusana pengantin lengkap. Kedua tanganku terikat di belakang punggungku sementara kakiku terikat erat di sisi kanan-kiri tiang ranjang itu sehingga posisi tubuhku mengangkang lebar. Aku merasa amat geli di daerah kewanitaanku, seperti ada sebuah daging lunak hangat yang menyapu-nyapu daerah kewanitaanku, terkadang daging itu menusuk-nusuk seolah hendak membuka bibir kewanitaanku melewati celah vaginaku. Aku juga merasa daerah disekitar vaginaku amat becek akibat gerakan daging itu.

“Aahh… oohhh…” Aku pun mendesah pelan menikmati sensasi di kewanitaanku itu. Rasanya vaginaku seolah diceboki, namun gerakan daging itu yang seolah berputar-putar mempermainkan vaginaku menimbulkan sensasi nikmat disekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku diairi listrik tegangan rendah saat daging itu membelah bibir kewanitaanku dan menyentuh lubang pipisku.

“Eh! Kakak sudah bangun rupanya!!” tiba-tiba kudengar suara Rendy dibalik gaunku. Aku berusaha mendongak dan kulihat wajah Rendy sedang berada tepat di depan selangkanganku yang terbuka lebar. Sadarlah aku kalau “daging” tadi tak lain adalah lidah Rendy yang sedang menjilati vaginaku. Aku berusaha berontak, namun untuk menutup kedua pahaku yang sedang terbuka lebar saja amat sulit. Tubuhku terasa amat lemas tanpa tenaga. Saat aku melihat sekitarku, aku baru sadar kalau aku kini berada di dalam kamar bu Diana.

“Badan kakak masih belum bisa digerakkan, soalnya pengaruh obat tidur Mami masih tersisa.” Jelas Rendy sambil berjalan ke sampingku.

Sekejap aku merasa amat panik dan berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk kabur, tapi sia-sia saja. Tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun. Astaga! Bagaimana aku bisa sebodoh itu mencium aroma bunga yang ditaburi obat bius?! Niatku untuk menjaga jarak dari Rendy kini sia-sia saja. Sekarang malah kesucianku terpampang jelas di hadapannya, aku dalam keadaan terjepit dan tidak bisa kabur lagi.

“Kakak tenang saja, dijamin enak kok! Hehehe…” tawa Rendy terkekeh-kekeh.

“Jangan, Rendy… Jangan… kakak mohon!!” pintaku berderai air mata saat melihat Rendy berbalik berjalan menuju arah selangkanganku.

Namun sia-sia saja, Rendy sama sekali tidak mau mendengar permohonanku. Aku pun semakin panik dan cemas. Air mataku kembali meleleh membasahi mataku, namun apa dayaku? Tubuhku kini amat sulit digerakkan karena ikatan itu ditambah rasa lemas disekujur tubuhku karena pengaruh obat bius yang tersisa. Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan Rendy menyantap kewanitaanku. Jantungku berdegup semakin kencang dan wajahku merah merona saat Rendy semakin mendekati selangkanganku. Rendy lalu memegang kedua pahaku yang mulus. Ia mulai mengendusi paha kananku sementara paha kiriku dibelai-belai dengan tangannya.

“Essh…” aku mendesis sesaat setelah bibir Rendy mencium bibir kemaluanku. Hembusan nafas Rendy di pahaku membuat tubuhku sedikit mengigil kegelian. Saat bibir kemaluanku bertemu dengan bibir Rendy, Rendy mulai menjulurkan lidahnya. Seperti lidah ular yang menari-nari, bibir kemaluanku dijilati olehnya. Kembali bibir kewanitaanku dibelah oleh lidah Rendy, yang kembali menarikan lidahnya menceboki liang vaginaku perlahan-lahan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan gejolak birahi yang kini mulai melanda diriku, namun tetap saja suara desahan-desahanku yang tertahan sesekali terdengar keluar dari bibirku karena rasa nikmat yang menjuluri tubuhku apalagi belaian lembut Rendy di pahaku semakin terasa geli akibat stocking sutra yang kupakai.

“Haaa?! Aakh…!!” Sontak aku menjerit terkejut saat merasakan sensasi rasa geli dan nikmat yang tiba-tiba melanda tubuhku. Rupanya Rendy menjilati klitorisku. Sesekali ia menyentil klitorisku dengan lembut sehingga sekujur tubuhku seperti dialiri listrik dan bulu kudukku berdiri. Rendy menyadari bahwa aku mulai dikuasai oleh gejolak birahiku. Ia terus melancarkan serangannya ke klitorisku. Berulang kali permohonanku yang disertai dengan desahan kusampaikan ke Rendy, namun ia malah tampak kian bersemangat mengerjaiku. Kesadaranku pun semakin menghilang tergantikan dengan rasa nikmat dan hasrat seksual yang semakin merasuki tubuhku.

“Bagaimana kak? Enak tidak?” tanya Rendy padaku.

“Rendyy… stoop… auhhh… jangaan…”

“Ah masaa? Bukannya kakak mendesah keenakan tuh? Yakin nih, nggak mau lagi?” ejeknya sambil menjauhkan wajahnya dari kemaluanku. Namun secara refleks, aku malah mengangkat pinggangku kehadapan wajah Rendy, seolah menawarkannya untuk kembali mencicipi liang vaginaku.

“Tuh, kan?! Malu-malu mau, nih cewek!” kembali Rendy menghinaku. Dipeganginya kedua bongkahan pantatku dengan telapak tangannya dan dtegadahkannya tangannya, sehingga kini pinggangku ikut terangkat tepat dihadapan wajah Rendy.

“Aww… aww… aaahh…” kembali aku merintih saat Rendy mengecup dan mengisap-isap daging klitorisku. Sesekali aku merasa sentuhan giginya pada klitorisku dan hisapannya membuatku kini hanya berusaha untuk mengejar kenikmatan seksualku semata.

SLURP… SLURP… Sesekali terdengar suara Rendy yang menyeruput cairan cintaku yang sudah banyak keluar dari vaginaku, seolah hendak melepas dahaganya dengan cairan cintaku.

“AAHH… AAHHH… AAA…” Desahanku semakin keras. Aku merasa ada sebuah tekanan luar biasa di vaginaku yang sebentar lagi hendak meledak dari dalam tubuhku. Otot-otot tubuhku secara otomatis mulai menegang sendirinya.

“HYAA… AAAKH!!!” jeritku bersamaan dengan meledaknya tekanan dalam tubuhku. Tanpa bisa kutahan, pinggangku menggelepar liar, bahkan Rendy terlontar mundur akibat dorongan tubuhku. Aku bisa merasakan vaginaku memuncratkan cairan cintaku dalam jumlah yang banyak. Seluruh simpul sarafku terasa tegang dan kaku saat sensasi geli dan nikmat yang luar biasa itu menjalari tubuhku, dan akhirnya muncul perasaan lega yang nyaman setelahnya. Aku pun terkapar kelelahan, nafasku tersengal-sengal. Tenaga di tubuhku seolah lenyap seketika. Aku sadar, baru saja aku mengalami orgasme yang luar biasa!

“Wah, waah… Rupanya galak juga nih, kalau orgasme!” ejek Rendy yang kini terduduk di hadapan selagkanganku.

Ia mendekati vaginaku dan kembali ia menyeruput cairan cintaku yang masih tersaji di vaginaku setelah ledakan orgasmeku barusan. Aku pun hanya mendesah kecil tanpa memberontak. Kepalaku serasa kosong dan aku membiarkan Rendy menikmati cairan cintaku sesuka hatinya. Setelah puas meminum cairan cintaku, Rendy berdiri di hadapanku dan melepas pakaiannya sehingga ia telanjang bulat dihadapanku. Bisa kulihat penisnya yang panjangnya sekitar 14 cm sudah menegang keras melihat keadaanku yang mengangkang lebar, memamerkan kewanitaanku di depannya. Rendy berjalan melewati tubuhku hingga akhirnya ia tiba didepan kepalaku. Rendy lalu berlutut di hadapan wajahku sambil mengocok penisnya.

“Kak, tadi rasa memek kakak enak sekali loh! Nah sekarang giliran kakak ya, ngerasain punya Rendy?” seloroh Rendy. Aku yang menyadari kalau Rendy akan mengoral penisnya dengan mulutku, mulai menjerit meminta pertolongan.

“TOL… uumph!!” jeritanku terhenti karena Rendy langsung menyumpalkan penisnya didalam mulutku. Walaupun ukuran penisnya tidak begitu besar, namun batang penisnya sudah cukup memenuhi rongga mulutku yang mungil.

“Hhmmphh… hmph…” suaraku teredam oleh penis Rendy.

Aku berusaha memuntahkan penis itu, namun Rendy memajukan pantatnya sehingga penisnya tetap masuk didalam mulutku hingga menyentuh kerongkonganku. Rendy menjambak poni rambutku dan mulai menggerakkan kepalaku maju mundur. Rasa sakit di ubun-ubunku karena poni rambutku dijambak sudah cukup untuk membuatku tidak berontak lebih jauh, aku mengikuti gerakan tangan Rendy yang sedang memaksaku mengulum dan mempermainkan penisnya dalam mulutku.

“Aahh… Enaak…” desah Rendy saat penisnya keluar masuk dari mulutku.

“Hmmp… mpp… phh…” aku berusaha mengambil nafas untuk menyesuaikan gerakan penis Rendy dalam mulutku. Kocokan mulutku masih belum berhenti, namun aku merasa agak mual karena rasa dalam mulutku saat ini. Sementara leherku juga pegal karena dipaksa naik-turun oleh Rendy.

Beberapa saat kemudian, Rendy berhenti manjambak poniku, aku pun segera merebahkan kepalaku yang pegal-pegal keatas bantal yang lembut untuk melepas penat. Namun rupanya penderitaanku belum juga berakhir. Rendy belum mau melepaskan kenikmatannya dioral olehku. Belum sempat penisnya keluar dari mulutku, sekarang ia malah menekan selangkangannya ke wajahku dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya kembali masuk kedalam rongga mulutku. Aku bisa merasakan buah zakarnya yang tergantung menampar-nampar daguku berulang kali bersamaan dengan gerakan pantatnya yang maju mundur dihadapan wajahku yang kini tertekan oleh bantal, aku pun berulang kali tersedak karena penis Rendy dalam mulutku bergerak dengan amat cepat.

“Oke, kak! Sekarang giliran kakak yang main! Ayo kulum dan mainin pakai lidah kakak!” perintah Rendy sambil menghentikan gerakannya. Aku sendiri sudah mati kutu, kepalaku terjepit diantara selangkangan Rendy dan bantalku, sehingga aku tidak bisa bergerak bebas.

“Ayo, Kak! Atau mau kugerakkan sendiri dimulut kakak seperti barusan?” ancamnya padaku. Aku pun tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Rendy, setidaknya aku akan lebih leluasa bernafas apabila aku yang bergerak sendiri. Aku pun menggerakkan lidahku membelai-belai batang penisnya yang masuk hingga rongga mulutku. Sesekali lidahku juga bersentuhan dengan kepala penisnya. Sebenarnya aku agak jijik juga karena tercium bau agak pesing dari ujung penis Rendy, namun apa dayaku? Lebih baik kuturuti perintah anak ini supaya siksaanku cepat selesai. Aku pun berusaha untuk tidak begitu mempedulikan bau itu. Penis Rendy kuanggap saja seperti permen yang luar biasa tidak enak. Aku pun terus mengemut penis Rendy itu.

“Ayo, kak! Terus! Jago juga nih, nyepongnya! Enak bangeet!”

“Mmphh…” erangku.

“Isapin juga kak! Seperti ngisap permen!” kembali Rendy memberi perintah padaku, yang langsung saja kuturuti.

Kuhisap penisnya dengan pelan dan lembut dengan harapan anak ini bisa segera menghentikan aksinya dan aku bisa terbebas dari siksaan ini. Herannya, selama beberapa menit kuoral, Rendy masih saja tidak puas. Aku pun mulai kelelahan mempermainkan penisnya dalam mulutku, walaupun aku mulai terbiasa dengan situasiku sekarang.

Entah setan apa yang merasukiku, namun saat aku mengingat bahwa aku sedang mengoral penis anak kecil yang tak lain adalah muridku, aku merasa hasrat seksualku kembali meninggi dalam tubuhku. Aku ingin sekali mencapai orgasme sekali lagi dan aku ingin mencoba sesuatu yang lebih hebat lagi bersama Rendy. Pikiran itupun membuatku memainkan penis Rendy sebaik mungkin dalam mulutku agar Rendy mencapai kepuasannya.

“Ookh…” Aku mendengar suara erangan panjang keluar dari mulut Rendy dan saat itulah, aku merasa mulutku disembur oleh cairan kental berbau amis. Aku menyadari bahwa Rendy baru saja berejakulasi dalam mulutku, dan kini mulutku dipenuhi spermanya. Rendy kembali menekankan selangkangannya ke wajahku.

“Telan kak! Jangan sampai bersisa!”

Aku pun menuruti perintah Rendy, kutelan semua sperma dalam mulutku, sekaligus kuhisap-hisap penis Rendy agar spermanya tidak bersisa. Rendy hanya mengerang keenakan saat penisnya kubersihkan dengan mulutku.

“Woow… enaak… lebih enak dari onanii….” seloroh Rendy. Namun aku tidak peduli, aku terus menghisap-hisap penisnya itu hingga aku yakin tidak ada lagi sperma yang tersisa. Setelah selesai, Rendy mengeluarkan penisnya dari dalam mulutku.

“Waah… Kakak jago banget lho! Enak sekali kak!”

“Rendy, kamu jahaat…” protesku.

“Lho kenapa? Bukannya kakak sekarang sudah jadi pengantinku?” balasnya.

“You may kiss your briide!!” sorak Rendy tiba-tiba.

Tanpa basa-basi, Rendy segera mencium bibirku. Bibirku diemut-emut dengan lembut dan sesekali bibirku juga dijilati oleh lidahnya. Aku hanya membiarkannya mempermainkan bibirku sesuka hatinya. Pelan-pelan lidah Rendy membelah bibirku dan lidahnya menyusup kedalam rongga mulutku. Aku pun merespon dengan menghisap lidah Rendy dengan lembut. Sesekali juga kujulurkan lidahku, sehingga giliran Rendy yang menghisap air ludahku yang menyelimuti lidahku. Gairah seksualku sekarang benar-benar menguasai tubuhku, semakin kuingat bahwa Rendy yang saat ini sedang bercinta denganku, semakin aku tenggelam dalam hasratku. Selama beberapa menit kami terlibat dalam French kiss itu, sebelum akhirnya Rendy menghentikan ciumannya di bibirku. Aku pun tampak kecewa saat Rendy menjauhkan wajahnya.

“Kenapa kak? Enak kan rasanya? Masih mau lagi?” tanyanya.

Pertanyaan Rendy itu seketika memancing gairah seksualku yang meningkat. Aku merasa ini adalah sebuah kesempatan bagiku, namun sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba Rendy mengambil sehelai celana dalam putih berenda yang tadi kupakai dan menjejalkannya ke mulutku hingga celana dalamku memenuhi seluruh rongga mulutku. Belum puas, Rendy juga melakban mulutku sehingga celana dalamku itu tersumpal sempurna di dalam mulutku.

“Mmfff….” Protesku pada Rendy. Namun suaraku terhalang oleh celana dalam yang menyumbat mulutku.

“Jangan dijawab dulu, Kak. Nanti ya, Rendy mau istirahat dulu!”

“Oh, Kakak juga boleh istirahat kok! Nah, daripada bosan, bagaimana kalau kakak nonton saja dulu?” lanjut Rendy. Aku bisa mendengar suara televisi yang dinyalakan dan suara pemutar DVD yang dibuka oleh Rendy. Setelah selesai, Rendy lalu mendatangiku yang masih terbaring mengangkang di ranjang.

“Jangan berontak ya, Kak! Kalau macam-macam, video kakak kusebarkan!” ancamnya. Rendy lalu melepaskan ikatan kakiku di kedua tiang ranjang itu. Aku disandarkan ke kepala ranjang dan Rendy menyandarkan sebuah bantal di punggungku dan juga sebuah bantal kecil di pantatku untuk kududuki agar aku merasa nyaman. Tali yang tadi dipakai untuk mengikat kakiku kini digunakan untuk mengikat sikut tanganku yang masih terikat di punggungku pada kedua tiang bagian atas ranjang canopy itu agar aku tidak kabur.

“Oke deh! Rasanya sudah cukup!! Nah, kakak santai saja ya? Nikmati saja filmnya!” Rendy lalu memutar DVD itu.

“Mmff!!” Aku berteriak terkejut saat melihat adegan percintaan seorang wanita berambut pirang di layar televisi itu, rupanya Rendy menyetelkan DVD porno untuk kutonton..

“Kakak pelajari gayanya dulu, ya! Supaya nanti siap main dengan Rendy! OK?!” Rendy tersenyum dan beranjak pergi, meninggalkanku sendiri terikat di ranjang sambil berusaha menahan gejolak birahiku yang semakin mendera karena suguhan adegan panas dihadapanku.

Aku pun terpaksa menonton film porno itu sekitar 2 jam. Yah, aku memang pernah melihat sekilas film porno di handphone teman-teman SMUku, namun mungkin karena ini pengalaman pertamaku melihat film porno selama itu, muncul keinginanku agar vaginaku dimasuki oleh penis seperti wanita bule yang ada di film porno itu. Pikiranku bergejolak, aku sadar bahwa aku akan kehilangan keperawananku apabila vaginaku dimasuki penis Rendy, namun di sisi lain, aku penasaran akan rasa nikmat yang tampaknya melanda wanita di film itu saat vaginanya dimasuki oleh penis. Aku juga ingin merasakan kenikmatan itu. Apakah aku juga akan merasa senikmat itu apabila vaginaku dimasuki oleh penis? Aku masih bisa mengingat dengan jelas rasa nikmat saat vaginaku dijilati dan dipermainkan oleh Rendy sebelumnya. Tentunya aku akan merasa lebih nikmat lagi apabila vaginaku dipermainkan oleh penis Rendy. Lagipula, setidaknya aku tidak perlu khawatir akan hamil sebab masa suburku baru saja terlewati minggu lalu. Akhirnya rasa penasaran dan gairah seksualku mengalahkan perasaanku. Sudah kuputuskan, aku akan melayani Rendy sepenuh hatiku. Aku sudah tidak peduli lagi akan statusku sebagai gurunya ataupun perbedaan usia kami, yang kini kuinginkan hanyalah mengejar kenikmatan seksualku semata. Bahkan status dan perbedaan usia kami malah menjadi sumber gejolak gairah seksualku. Detik dan menit berlalu, namun bagiku yang kini dikuasai gairah seksualku, serasa menunggu selama berhari-hari. Cairan cintaku sudah semakin banyak keluar dari vaginaku sehingga aku bisa merasakan bantal yang kududuki semakin basah. Akhirnya, pintu kamar itu terbuka juga dan masuklah Rendy kedalam kamar itu.

“Bagaimana kak? Sudah puas nontonnya?”

“Sudah tahu kan bagaimana gaya-gayanya?” lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan dengan wajah memelas.

“Bagus, bagus!! Kakak emang pintar!” ujarnya sambil membelai kepalaku dengan pelan, seolah memuji anak kecil.

“Hff…” jawabku.

“Nah, kalau begitu kakak mau tidak kalau aku setubuhi seperti di film?” muncullah pertanyaan yang sedari tadi kutunggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk sambil melihat wajah Rendy. Namun Rendy malah pura-pura tidak melihat sambil mematikan DVD playernya.

“Apaa? Rendy nggak bisa dengar nih!”

“Mmff!!” Aku berusaha untuk meminta Rendy melepaskan sumbatan mulutku agar aku bisa berbicara, namun Rendy malah melepas ikatan di kedua sikutku sehingga aku terbebas dari ranjang canopy itu. namun tanganku masih terikat kencang di punggungku. Aku lalu dituntun turun dari ranjang. Rendy tidak lagi mengawasiku dengan ketat. Ia tahu bahwa aku sekarang sudah tidak ingin kabur lagi.

“Waah, udah gede masih ngompol yah, Kak?” ejek Rendy saat melihat bekas cairan cintaku di bantal yang tadi kududuki.

Aku hanya menggeleng pelan, namun kurasa Rendy juga tahu bahwa itu adalah cairan cintaku yang meluber karena aku terangsang sedari tadi. Rendy lalu menarikku kehadapan sebuah papan tulis putih di kamar itu yang ditempeli berbagai rancangan bu Diana. Rendy melepas semua rancangan itu agar papan tulis itu bersih. Rendy juga memposisikan tubuhku agar terjepit diantara sebuah meja dihadapanku dan papan tulis itu dibelakangku. Aku terkejut saat Rendy dengan sigap menundukkan tubuhku di meja itu sehingga posisiku kini menungging kearah papan tulis itu. Rendy juga menaikkan rok gaun dan petticoatku bagian belakang dan mengaitkannya di pita putih gaunku yang ada di pinggangku, sehingga kini pantatku terpampang jelas menungging didepan papan tulis itu.

“Nah, gimana kalau kakak tulis saja apa yang kakak mau? Soalnya kakak nggak bisa ngomong sekarang” ujarnya dari belakang. Aku pun semakin heran, bagaimana caraku menulis dengan tangan terikat dan posisi tubuh menungging seperti ini? Aku hendak berdiri, namun punggungku ditekan ke meja itu oleh Rendy.

“Tahan sebentar ya, Kak” ujar Rendy sambil membuka celah pantatku. Rendy lalu menuangkan lotion ke jari telunjuknya dan mengusapkan lotion itu ke lubang pantatku. Sesaat aku merasakan jari Rendy yang menempel dilubang pantatku bergerak pelan mengoleskan lotion itu dan aku bisa merasakan rasa dingin dan licin akibat lotion itu di pantatku.

Setelah lubang pantatku selesai dilumuri lotion, aku merasa ada sesuatu di lubang pantatku, aku tahu benda itu bukanlah jari Rendy karena benda itu terasa lebih besar dan keras dari jari Rendy.

“HMMFF!!” jeritku saat tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di lubang pantatku. Suatu benda yang panjang dan keras menekan memasuki lubang pantatku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Rendy memaksakan untuk memasukkan benda itu ke dalam anusku. Benda itu diputarnya perlahan masuk ke dalam pantatku seperti sekrup. Air mataku meleleh saat merasakan rasa perih yang amat sangat saat Rendy memperawani anusku dengan benda itu. Lubang pantatku serasa tersayat-sayat dan rasa perihnya tak terkira.

“Wuiih… lubang pantatnya seret banget! Padahal sudah dikasih lotion! Pasti masih perawan, nih!” komentar Rendy yang terus memutar benda itu masuk kedalam anusku. Aku hanya bisa menggeleng-geleng keras memohon agar Rendy menghentikan aksinya itu. Namun Rendy terus memaksakan benda itu untuk masuk kedalam pantatku.

“Oke! Selesai deh!” seru Rendy. Aku menoleh kebelakang, aku amat panik saat menyadari sebuah spidol berukuran besar kini tertanam didalam pantatku. Spidol itu tampak mengacung tegak kearah papan tulis karena posisi tubuhku yang menungging.

“Oops, tenang saja, Kak! Spidolnya sudah kumasukkan dengan baik, kok! Kakak tahan saja spidolnya dengan otot pantat kakak supaya tidak jatuh!” ujar Rendy. Kata-kata Rendy sama sekali tidak menenangkanku apalagi saat merasakan spidol besar yang sedang tertanam dalam pantatku.

“Nah, ayo tulis apa yang kakak mau!”

“MMFF!!” aku menggeleng memprotes Rendy. Ide anak ini benar-benar gila! Aku yakin dia pasti mempelajari cara ini lewat film-film pornonya untuk mempermalukanku.

“Ayoo, kalau tidak, kakak nanti kubiarkan seperti ini, lho! Spidolnya tidak akan kucabut kalau kakak tidak mau menurut!” ancamnya.

“Mmm…” aku memelas mendengar ancaman Rendy. Aku tahu kalau sedari awal aku tidak memiliki posisi menawar melawan Rendy dengan kondisi seperti ini.

“Nah! Ayo, tulis di papan tulis kak! Seperti waktu kita belajar! Sekarang, aku mau kakak mengajariku menulis!” ujar Rendy sambil beranjak duduk dihadapanku, seolah sedang mendengarkan pelajaran di kelas.

Aku berusaha tetap tenang dan mulai menggerakkan pantatku di papan tulis itu.

“Mmf!” aku menjerit kecil dan mataku membelalak saat ujung spidol di pantatku menyentuh permukaan papan tulis.

Pantatku terasa geli dan sedikit perih akibat tekanan spidol itu. Rendy tampak senang melihat ekspresi wajahku yang dipenuhi rasa panik, malu dan bingung akan keadaanku sekarang. Perlahan-lahan aku berusaha untuk menulis dengan pantatku di papan tulis itu. Kaki dan pahaku ikut bergerak menaik-turunkan tubuhku yang menungging. Aku selalu merintih setiap kali satu goresan kutulis di papan tulis itu karena sensasi yang ditimbulkan spidol itu dalam pantatku, yang entah bagaimana semakin membangkitkan gairah seksualku.

“Hati-hati lho, kak. Kalau terlalu ditekan, spidolnya bisa tergelincir masuk kedalam pantat kakak. Nanti tidak bisa keluar lagi lhoo…” sorak Rendy.

Dasar badung! Pikirku. Memangnya salah siapa kalau nanti spidol ini malah terselip masuk kedalam pantatku?! Malah sekarang aku yang harus berusaha keras menangkal resiko yang diciptakan oleh anak ini untuk tubuhku! Aku pun mulai kehilangan ketenanganku akibat sorakan Rendy itu. Apalagi sesekali aku merasa spidol itu semakin masuk kedalam pantatku saat aku menulis. Namun aku tetap berusaha keras dan hasilnya, 5 huruf yang acak-acakan tertulis di papan tulis itu. Aku menghela nafas lega saat aku melihat hasil tulisanku itu. Sulit untuk dibaca memang, bahkan aku yakin tulisan anak SD pasti jauh lebih mudah dibaca dari tulisanku; namun aku yakin telah menulis huruf P-E-N-I-S di papan tulis itu.

“Waah, tulisan kakak jelek sekali! Padahal katanya sudah kuliah!” kembali Rendy mempermalukan diriku. Ia lalu berjalan kehadapanku, melepas lakban mulutku dan menarik keluar celana dalamku yang sedari tadi telah menjejali mulutku.

“Ahh… ohk… ohkk…” Aku terbatuk-batuk dan menghela nafas lega. Kulihat Rendy sedang mengendusi celana dalamku yang basah karena ludahku dan sesekali ia menghisap-hisap ludahku yang membasahi celana dalamku itu.

“Hmmm… ludahnya kakak memang enaak… Nah sekarang coba kakak baca apa yang kakak tulis!”

“Pe… penis…” ujarku pelan dengan perasaan yang amat malu.

“Apaa? Apa yang kakak mau?” tanyanya dengan nada mengejek, seolah tidak mendengar ucapanku barusan.

“Penis!!” jawabku tidak sabaran.

“Penis siapa, hayooo?”

“Penisnya Rendy!!” aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk meneriakkan kata itu dan akhirnya terucap juga.



----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh

2039

21Tahun.Sextgem.Com