02. Cinta Tak Pernah Salah


Bagian 1:
Maya sudah membuat kesalahan fatal karena begitu ceroboh sehingga telanjur bercinta dengan orang asing, bukannya dengan Rio – cinta pertama sekaligus satu-satunya penghuni hatinya. Apakah dia akan berhasil mengetahui siapa lelaki yang telah menikmati tubuhnya dengan gratis?


“Maafkan aku, ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk kegoblokanku.”
“Sudahlah. Tiap orang pasti pernah berbuat salah.”
“Tapi, aku sudah melakukan kesalahan fatal, tak termaaf…”
“Shhh…”
“Rio, dengarkan aku du.. mmm…”

Muluku terbungkam bibir Rio. Lidahnya menyapu gigi dan gusiku, melibat lidahku. Kuluman mautnya senantiasa membuat jiwaku membumbung tinggi lalu mendarat kembali di bumi dengan penuh gairah. Napasku memburu ketika telapak tangannya yang hangat membungkus payudaraku, meremasnya dengan pelan lalu menjelajah menelusuri lekuk pinggang dan lengkung pinggulku dengan lembut.

Tanpa perlu diperintah, kedua tanganku sudah menggerayangi tubuhnya dengan liar. Aku hapal benar seluk-beluk tubuhnya. Aku ingat di mana saja letak tahi lalatnya. Aku tak pernah lupa semua cerita di balik semua bekas luka terjatuh yang dibuatnya di masa kecil, terutama luka di lengan kiri dekat sikunya. Bekas tergores kawat berduri saat berusaha menolongku kabur dari neraka yang menyekapku. Bagiku Rio adalah malaikat pelindungku, dewa penolongku yang pantas kupuja.

Kusebut namanya saat kejantanannya yang mengeras menyeruak masuk liang kewanitaanku. Kupeluk tubuhnya erat-erat seakan takut gelinjangku melepaskan pertautan dua kelamin kami. Kudesahkan bisikan nikmat di telinganya ketika gesekan dan sodokan kelaminnya melibas titik-titik sensitif liangku yang sempit dan basah.

“Nghhh… I miss you…”
“I miss you too, Yakuza…”

I love you…

Haruskah aku mengatakannya? Tidakkah akan merusak kemesraan kami berdua? Sejak dulu dia sudah tahu betapa aku mencintainya. Devosiku adalah perwujudan cintaku yang tak terbantahkan. Lagipula bukankah kegiatan intim yang dinamakan bercinta adalah pengungkapan rasa cinta?

Tapi aku tidak tahan.

“I love you, Rio…”

Tidak sampai sedetik kemudian tubuh yang menindihku itu bergetar. Mulanya pelan kemudian makin keras hingga mirip gempa bumi. Diawali dari perut lalu menjalar ke dada, tenggorokan dan tawa itu pun terdengar. Bukan tawa Rio. Tawa serak yang membuatku merinding.

“Rio memang goblok.”

Aku menjerit panik dan dalam sekejap terlempar ke dunia nyata, sendirian dan tersengal. Sekujur tubuhku menggigil, bermandikan keringat dingin. Mimpi buruk yang itu-itu lagi menyerangku. Membunuh mimpi-mimpi indahku bersama orang yang paling kucintai.

Benar-benar menyebalkan! Otakku yang selama ini kubanggakan karena telah menghasilkan 2 gelar sarjana dan 1 gelar pascasarjana dengan IPk nyaris sempurna ternyata tumpul saat menyelidiki kasus misterius yang sangat memalukan itu. Outing sudah selesai dan kami sudah kembali ke Jakarta, 3 hari setelah malam sial itu, tapi aku belum juga berhasil menebak siapa yang telah membuatku memecahkan rekor rentetan orgasme dalam satu ronde.

Tersangkanya sendiri sebenarnya tidak banyak. Cuma ada 3 lelaki berambut cepak yang menghuni kamar-kamar mess kantor di lantai 3 waktu itu. Yuda, VP Finance & Accounting berlidah tajam yang baru 8 bulan bekerja. Sony, VP IT pendiam yang belum lama bercerai dengan istrinya. Dan yang terakhir, Pak Pur, VP Production yang beken dengan guyonan mesumnya yang kebetulan menjadi tetangga kamarku saat outing. Masalahnya aku kesulitan mencari cara menginterogasi mereka. Bagaimana caranya tanpa mengungkap aib sendiri? Belum lagi kemungkinan kalau si pejantan kurang ajar itu berasal dari kamar di lantai lain. Tidak ada saksi kecuali kami berdua. CCTV? Sayangnya atau untungnya tidak ada.

Yang paling kucemaskan justru Rio. Aku memang takut kebodohanku ketahuan olehnya, tapi aku jauh lebih takut kalau dia ikut terseret dalam kekacauan yang kubuat. Karena meski pada malam sialan itu dia memang menginap di hotel, tapi kamar itu tidak pernah dialihkan ke orang lain dan keesokan harinya dia kembali menghuni kamar tersebut. Aku tidak pernah bisa melupakan tatapan dingin setengah menghina dari sepasang mata indah Dina yang memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki saat aku yang begitu penasaran ikut menyelonong masuk ke kamar Rio di belakang mereka berdua. Benar-benar luar biasa! Kamar itu tampak rapi, apalagi ranjangnya. Seprai yang membungkus kasur begitu licin bersih, sama sekali tidak ada bekas-bekas pergumulan di sana. Celana pendek dan celana dalamku pun lenyap. Seakan yang terjadi pada malam itu hanya mimpi buruk saja.

Aku makin curiga kalau si pemalsu Rio adalah salah satu musuh yang sengaja ingin mencari-cari kelemahannya. Karena bukan rahasia lagi kalau banyak teman sekerja kami yang iri melihat lompatan jenjang karirnya. Banyak yang bilang semua itu berkat usahanya menjilat calon mertua padahal Rio sendiri memang bekerja dengan keras. Aku tahu benar bagaimana tiap hari dia bekerja hingga larut malam karena aku selalu berada di sisinya. Sebelum menjadi Operational Director, jabatan Rio adalah jabatanku sekarang, yaitu VP Sales & Marketing. Dulu aku wakilnya, alias Assisstant VP Sales & Marketing. Begitulah sejak dulu, dia nomor satu dan aku nomor dua.

Yang lebih meyakinkanku tentang teori konspirasi yang berujung pada sabotase karir Rio adalah ketiga tersangka di atas memiliki hubungan yang kurang baik dengannya. Yuda selalu sinis dan Sony malas-malasan bila diajak bicara dengan Rio. Sedangkan Pak Pur sering melontarkan sindiran tentang kemajuan karir sang kandidat penerus pemimpin perusahaan. Namun aku tidak bisa membayangkan siapa diantara mereka yang telah memuncratkan spermanya di dada dan perutku.

Dan sekarang situasi makin kacau karena kemarin bajingan misterius itu mengancamku. Pagi-pagi aku sudah menerima 2 e-mail tak dikenal bernada ancaman yang isinya sama. Dia mengancam akan mengirimkan celana pendek dan celana dalamku ke kediaman Dina kecuali aku mau melakukan salah satu dari dua pilihan yang harus kujawab dalam waktu 2 jam: meminta Rio mengundurkan diri dari jabatan Direktur Operasional atau mengenakan rok mini tanpa mengenakan pakaian dalam selama seminggu!

Gila kan? Benar-benar bangsat! Bagaimana mungkin aku meminta Rio meninggalkan impiannya demi kesalahan tololku? Tapi bagaimana bisa aku memakai rok mini tanpa underwear selama seminggu? Memangnya aku eksibisionis? Kalau sampai ketahuan orang sekantor mau ditaruh di mana mukaku? Dan kenapa harus menyiksaku seperti itu? Kurasa dia memang sakit. Jangan-jangan psikopat betulan. Apa sebaiknya aku bilang saja yang sejujurnya pada Rio? Dia pasti mau mengerti. Betul begitu kan?

Duh, aku baru ingat kalau namaku tersulam di celana dalamku. Kenapa juga aku kerajinan menandai semua underwearku? Aku kan tinggal di rumah sendiri, bukan anak kos. Apa yang akan terjadi bila Dina mengetahui hubungan gelap kami? Rio pasti tidak akan memaafkanku dan tidak akan mau bertemu denganku lagi. Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak ingin kehilangan dirinya untuk selamanya. Tapi apakah aku pernah benar-benar memiliki dirinya?

Dengan tangan gemetar menahan marah, kubalas e-mail sialan itu. Aku tidak menahan diri untuk tidak menanyakan bagaimana dia tahu aku tidak memakai underwear.

“Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Aku punya cara sendiri. Kalau kamu berhasil melakukannya, aku sendiri yang akan memakaikan celana dalam pink itu ke selangkanganmu yang becek.”

Anjrit!! Kampret!!!

Sejuta makian dan kutukan kutujukan pada jahanam yang sudah menghancurkan hatiku. Dia salah, bukan Rio yang goblok, tapi aku.

Seharusnya malam itu aku tidak pergi ke kamarnya. Seharusnya aku tidak mendengarkan bisikan setan dalam hatiku. Seharusnya aku tidak banyak bicara soal cintaku pada Rio. Seharusnya… seharusnya…seharusnya…..

Kugelengkan kepala kuat-kuat, mengusir keinginan gila yang mulai tumbuh. Entah sudah ketularan gila atau sakauku kumat, aku benar-benar menginginkannya. Menginginkan tubuh misterius itu menggelutiku lagi hingga mandi keringat, membuatku mengerang, menggelinjang dan menikmati klimaks-klimaks yang lantas kusesali kemudian. Dan tidak ada jalan lain untuk meredakan keinginan gila itu selain masturbasi.

* * *


“Lepaskan stocking dan kaus dalammu, Sayang.”
“Itu kan bukan BH dan celana dalam.”
“Bukan cuma BH dan celana dalam yang nggak boleh kamu pakai, Sayang, tapi semua pakaian dalam. Jangan main-main atau kamu akan menyesal.”
“Kamu sendiri yang main-main. Kamu pikir bisa mengancamku lalu bebas begitu saja? Aku yang akan membuatmu menyesal!! Siapa kamu sebenarnya? Jangan jadi pengecut!”
“Ok, kalau kamu memaksa. Dalam waktu satu jam, kamu akan dapat bukti kalau aku serius.”

Bangsat! Aku paling tidak suka diancam, tahu!! Tapi bagaimana kalau ancamannya benar-benar serius? Sembilan jariku sudah stand-by di atas keyboard namun aku tidak tahu lagi bagaimana membalas e-mail sialan dari si bangsat itu.

Tenang, May. Jangan komat-kamit begitu. Kamu sedang meeting dengan BOD dan Big Boss duduk tak jauh dari kursimu.

Segera kupasang wajah poker dan berusaha memusatkan energi yang tersisa setelah terkuras mimpi buruk dan teror pada tiap patah kata yang Bapak Deddy Munaji ucapkan. Ayah Dina itu bukanlah orang yang bisa mentolerir pelamun. Aku pernah melihatnya membantai Pak Benny sang HRD Director dengan kata-kata setajam pisau karena tidak mendengarkan pertanyaan yang dilontarkannya. Pak Benny hanya bisa diam dengan tabah walau aku dapat merasakan hatinya berdarah. Tiap kata sang raja bak sabda yang wajib hukumnya untuk didengar. Dan seperti biasa di saat meeting seperti ini, aku selalu membayangkan Rio yang duduk di kepala meja, melontarkan ide-ide strategis dengan penuh kharisma. Rio lebih ganteng, lebih muda, lebih sabar, lebih murah senyum, lebih sexy, lebih…

Sadar, May. Pak Deddy sudah mulai mengedarkan tatapan haus darahnya. Apa kamu mau jadi korban dengan sukarela?

Ooops! Sorry.

Rapat evaluasi kerja triwulan yang berjalan dengan khusyuk terganggu oleh ketukan di pintu. Vina, sekretaris Pak Deddy melongok dengan takut-takut. Astaga! Apa dia mau bunuh diri, ya? Sang raja kan paling tidak suka diganggu kalau sedang bertitah dan sebagai sekretaris paling lama yang pernah mengabdi padanya, seharusnya Vina tahu itu.

“Maaf, Pak. Mbak Dina baru saja telepon. Dia bilang urgent, harus bicara langsung dengan Bapak,” ujar ibu muda beranak satu itu dengan suara bergetar.

Pak Deddy menatap Dina selama beberapa detik tanpa bicara, tapi kami semua seakan mendengarnya berujar ketus, “Apa kamu sudah buta sampai nggak bisa lihat kalau aku sedang meeting??”

“Saya sudah bilang Bapak tidak bisa diganggu, tapi dia tidak mau mengerti.”

“Itu bukan urusanku,” ujar lelaki jangkung itu sambil melengos.

Sang pemilik pabrik farmasi terbesar di Indonesia itu kembali meneruskan pembicaraan, tanpa mengacuhkan sekretarisnya. Namun perempuan berambut bop ala Dora the Explorer itu masih berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang.

“Mau kuambilkan kursi, Vin?”

Nadanya sopan, tapi dingin. Begitu dinginnya sampai membekukan nyali semua orang yang berada di ruang meeting besar ini.

“Maaf, Pak,” suara Vina mulai melemah. “Mbak Dina bilang…”

“Rio.”

“Ya, Pak,” sahut Rio dengan nada patuh. Sampai-sampai aku merasa yang kulihat dia berdiri memberi hormat dengan sikap sempurna sambil berteriak lantang, ‘Siap, Pak!’

Tanpa bicara lagi pujaan hatiku berdiri, siap beranjak keluar, tapi lagi-lagi Vina seperti sudah bosan hidup. Aku tahu, posisinya terjepit diantara naga dan macan. Seperti ayahnya, tuan putri manja itu juga berlidah tajam dan selalu menuntut agar apa yang diinginkannya harus dipenuhi.

“Mbak Dina tidak mau bicara dengan Pak Rio. Dia marah sekali padanya setelah menerima paket misterius.”

“Paket apa?”

“Celana pendek,” bisik Vina sembari buru-buru mendekati Rio.

Sayang bisikannya terlalu keras sehingga terdengar seisi ruangan. Semua mengernyitkan kening bahkan Pak Deddy tidak tahan untuk tidak memalingkan wajah ke arah sekretaris dan calon menantunya.

Oh… my… God… !! Si bangsat itu ternyata benar-benar mengirim celana pendekku ke sana! Ada apa sih dengan otaknya? Mati aku!!

“Mungkin Pak Rio salah memilih motif atau warnanya, tapi…”

Suara Vina terdengar semakin jauh… Aku hanya duduk terpaku sambil mendengar langkah Rio keluar dari ruang rapat. Pada saat yang sama e-mail dari bangsat mesum itu muncul di inbox.

“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk melepas kaus dalam dan stockingmu, sebelum aku menyusulkan celana dalammu ke istana sang tuan putri, Sayang?”

* * *


Aku belum mendapat kesempatan untuk menjelaskan pada Rio soal celana pendekku yang mendarat di kediaman keluarga Munaji. Dia sedang sibuk menenangkan tunangannya yang mengamuk. Maafkan aku, Rio. Aku tidak bisa bohong kalau aku masih berharap pernikahanmu batal.

Tapi bukan Rio namanya kalau tidak dapat menguasai keadaan. Dina kembali tenang dan Pak Deddy pun menerima alasan kalau kasus celana pendek itu hanyalah ulah orang iseng kurang ajar. April Mop, begitu kata sebagian karyawan. Namun sebagian lainnya memilih menertawakan kehebohan itu dan bahkan menyoraki kesialan Rio.

Aku sendiri sibuk berjuang agar bisa duduk tenang di belakang meja kerjaku. Ketegangan membuatku terangsang. Kurasakan putingku mengeras dibalik blus, untung saja masih ada blazer yang menutupinya. Tapi bagaimana dengan selangkanganku yang telanjang? Hawa dingin AC membuatku beser.

Di luar dugaanku, aku bisa melewati hari pertama tanpa underwear dengan aman. Padahal jantungku terus berdebar saat perjalanan pulang, mobil yang kukendarai dihentikan polisi lalu lintas yang sedang merazia kelengkapan surat-surat. Aku memang pulang larut malam, hampir jam setengah dua belas. Mendadak sebuah pertanyaan terlintas di benakku, seandainya pak polisi gempal ini tahu aku tidak pakai celana dalam apakah dia akan mengangkutku ke kantor dengan tuduhan sebagai perempuan nakal?

Ya, aku memang nakal karena membayangkannya saja sudah membuatku becek. Dan setibanya di rumah aku langsung masuk kamar mandi, duduk di atas kloset untuk menggosok klentit. Tidak butuh waktu lama untuk meledakkan hasrat yang tertunda sejak berjam-jam yang lalu. Tapi libido itu tidak pernah benar-benar mereda karena membayangkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi dalam 6 hari kedepan tanpa underwear.

Dan waktu berjalan dengan cepat. 6 hari kulewati dengan aman, tanpa insiden apa pun. Yang kusesalkan Rio malah tidak pernah menyambangiku. Dia begitu sibuk dengan alih tugas dan persiapan pernikahannya. Gosh, I really miss you, love. Seandainya saja dia tahu aku sudah siap sedia begini pasti dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menggarapku. Mungkin dia akan mengoralku di ruang kerjaku saat semua karyawan pulang lalu aku balas mengoralnya sebelum kemudian kami bercinta di atas mejaku seperti yang pernah kami lakukan beberapa bulan yang lalu. Mungkin juga dia mengajakku ke apartemennya atau ke hotel langganan kami untuk bercinta semalam suntuk.

Hmmm… Mmmph… Hhhh…

Lagi-lagi aku mencapai klimaks dengan swadaya di balik meja kerjaku. Kuremas berhelai-helai tissue yang kupakai untuk mengeringkan lelehan cairan kemaluanku. Akan kubuang di tempat sampah toilet. Lalu kusemprotkan wewangian ke seluruh penjuru ruangan. Jangan sampai para office boy lainnya mengendus bau mencurigakan dalam ruang kerjaku.

Oke, saatnya untuk kembali bekerja, tapi aku sulit berkonsentrasi. Hari ini kan hari terakhir perjanjianku dengan pencuri celana dalamku. Siapa sih dia? Bisakah dia mengembalikannya tanpa mengungkap jati dirinya? Waduh, jangan-jangan semua ini hanya keisengannya saja. Bagaimana kalau akhirnya celana dalam itu tetap mendarat di kediaman Dina?

Sedapat mungkin kutekan rasa gelisah dengan menyibukkan diri. Ada banyak proposal yang belum kubereskan. Aku pun sibuk mondar-mandir ke sana kemari. Gawat, aku mulai terbiasa berkeliaran bebas dengan selangkangan telanjang.

“Yah! Kok mati lampu?!”

Jeritan-jeritan kekecewaan bercampur kesal terdengar di mana-mana. Payah sekali pengelola gedung ini. Bisa-bisanya lupa memberitahu para tenant tentang pemadaman bergilir oleh PLN. Untung saja baterai laptopku penuh. Namun baru setengah jam berlalu, hawa panas tak tertahankan. Kubuka blazer dan berusaha bekerja sambil mengipas-ngipas.

“Gedung baru kok kampungan begini,” keluh seseorang yang mampir di ruanganku.

Tanpa permisi Pak Pur menghempaskan pantatnya ke kursi di hadapanku.

“Sudah ada yang protes belum, Pak?” tanyaku sambil terus menatap layar laptop.

“Sudah. Katanya belum tahu sampai kapan mati lampunya. Sibuk banget sih. Orang-orang pada turun ke bawah, you masih juga berkubang dalam kegelapan. Untung kita ada di lantai 2. Nggak kebayang kalau kantor ini ada di lantai yang tinggi-tinggi. Eh, kulit you putih banget, ya.”

Aku hanya tersenyum hambar mendengar pujian gombal Pak Pur. Biasa, kalau sedang iseng dia memang sering memuji-muji karyawan perempuan tanpa sebab. Kubiarkan dia terus mengoceh sementara aku terus bekerja.

Ketika hendak membuka lemari, kunciku terjatuh. Tanpa diminta Pak Pur membantu mencari kunci di tengah keremangan.

“Thanks, Pak.”

“No problem,” sahutnya santai sembari menyerahkan kunci yang ditemukannya. “By the way, you nggak pakai celana dalam, ya?”

Aku terpaku. Tubuhku menggigil saat jari jemari kami bersentuhan.

“Sepertinya nggak pakai BH juga. Pentil you nongol tuh.”

Astaga! Aduh, rasanya aku ingin bersembunyi di kolong meja, tapi posisi Pak Pur menghalangi gerakku. Oh my God, apa dia sengaja memojokkanku di sudut ruangan? Celaka! Mana kantor sepi karena yang sebagian besar pergi keluar kantor. Jangan-jangan dia mau… Dengan takut-takut kutatap wajahnya. Sepasang mata yang terlindung di balik kaca mata itu menatapku binal.

“Maaf, Pak. Aku mau kembali bekerja.”

“Ngapain minta maaf? Emangnya you salah apa?”

Dia terkekeh. Tawanya berbeda dengan tawa serak itu, tapi menyamarkan tawa bukan soal sulit. Aku mulai panik, tapi di saat jeritan minta tolong hampir terlontar dari tenggorokanku, dia bergeser memberiku jalan. Namun rupanya aku salah, terlalu cepat merasa lega.

“Oh, yes,” bisiknya dengan penuh kemenangan.

Aku berjengit dan seakan seluruh rambut halus di tubuhku berdiri ketika telapak tangan asing itu mendarat di pantatku, menyingkap rokku dan meremas pantatku yang telanjang dalam satu gerakan secepat kilat.

Aku marah sekali. Kuayunkan tangan ke wajah yang dihiasi cengiran mesum itu, tapi ternyata dia sudah bisa mengantisipasi reaksiku. Dengan gesit dia mengelak, sementara aku sendiri terhuyung karena tamparanku yang meleset.

“Jadi cewek nggak boleh kasar-kasar. Tapi aku suka juga. Ternyata kecil-kecil begini you bertenaga.”

“Keluar!” bentakku setelah tangannya dengan sengaja menyenggol dadaku.

“Kamu mirip mahmudku deh kalau sedang ngambek.”

Kurang ajar! Bisa-bisanya lelaki gatal ini menyamakanku dengan mamah mudanya alias selingkuhannya yang sering disambanginya tiap sore itu.

“Waduh, ada syuting sinetron nih.”

Wajahku makin panas mendengar suara sinis itu. Entah sejak kapan Yuda berdiri dengan tangan terlipat di ambang pintu ruanganku. Sepasang mata memandangi kami berdua dengan sorot mengejek membuat wajah boyish-nya menjadi arogan. Pak Pur tertawa dengan nada terpaksa bercampur malu sedangkan aku berdiri kaku dengan tubuh bergetar menahan marah.

“Maya ini sebenarnya cantik, Yud. Sayangnya galak. Pantas sudah kepala tiga masih belum laku.”

“Tapi kayaknya Pak Pur ada minat buat menjadikan dia sebagai mahmud baru.”

“Ah, kapan aku bilang begitu. Kalau nguping jangan salah dong.”

Dua lelaki itu terkekeh kemudian berlalu meninggalkanku sendirian begitu saja. Gila!! Mimpi apa aku semalam sampai menerima pelecehan seperti ini? Ya, tentu saja mimpi buruk. Bisa-bisanya aku lupa dengan mimpi buruk yang menerorku tiap malam itu.

Aku masih berdiri seperti orang linglung saat lampu menyala tak lama kemudian. Kuhela napas dengan panjang sebelum akhirnya duduk dengan perlahan. Kuambil syal sutra batik dari laciku dan kulibatkan di depan dadaku. Blusku yang basah kuyup. Kedua putingku tercetak jelas di sana.

Kamu nggak boleh gila, May.

Ya, aku tahu, tapi tadi itu jelas-jelas pelecehan seksual. Akan kulaporkan pada Pak Benny. Biar kakek mesum itu dipecat.

Tapi kan nggak ada buktinya. Saksi juga nggak ada. Yuda kan belum tentu sempat melihat pelecehan itu, mana ruangannya gelap. Belum lagi kamu sendiri nggak pakai celana dalam. Nanti kamu sendiri yang malu.

Brengsek!

Sudahlah. Nggak perlu menangis. Tarik napas dalam-dalam supaya tanganmu nggak gemetar. Pasang poker face-mu dan teruslah bekerja. Buktikan kalau kamu nggak kalah dari orang-orang gila itu. Sabar, nanti mereka akan mendapat balasannya.

Untung saja Pak Pur tidak mendatangiku lagi, tapi dari jauh dia mengedipkan mata sambil nyengir penuh arti. Aku makin yakin kalau dialah bajingan yang sudah meniduriku. Dia pura-pura blo’on padahal sejak awal sudah tahu kalau aku tidak memakai underwear. Aku sudah tidak tahan, ingin memakai underwear yang sudah siap dalam tasku. Tapi aku harus bisa mematuhi perjanjian sialan itu atau Rio dalam bahaya. Lagipula jam bubar kerja tinggal 1 jam lagi.

Tepat jam 6 sore…

“Akhirnya kamu berhasil, Sayang. Tunggu aku jam 9 malam nanti di ruang rapat besar, ya.”
“Kembalikan celana dalamku sekarang juga!”
“Sayang, aku paling nggak suka dipaksa. Jangan membuatku berubah pikiran dong.”

Anjrittt!!!!

Mengapa aku harus mengikuti kemauannya?

Demi Rio, May.

“Oke, aku akan menuruti kemauanmu, tapi bilang dulu siapa namamu.”
“Nanti kamu juga akan tahu.”

Jam 9 kurang 5 menit, aku menerima e-mail lagi dari pemerasku itu.

“Ambil blindfold yang menempel di bawah mejamu. Begitu sampai di ruang rapat, duduk di atas meja dan pakai blindfold itu. Tunggu aku di sana, ya Sayang. Muach!”

Kontan aku melongok ke kolong meja dan melongo mendapati bungkusan kecil menempel di sana. Blindfold yang terbungkus kantung plastik. Eh, tunggu dulu. Ada benda kecil di ujung sana.

Tubuhku seperti tersiram air dingin berember-ember. Rasanya ingin pingsan mendapati kamera mungil di kolong mejaku. Astaga, jadi begini cara dia memantau kepatuhanku?

BRAK!

Kulempar kamera itu ke dinding lalu kuinjak-injak hingga hancur.

Seharusnya kamu tidak menghancurkannya. Kan bisa jadi bukti.

Bukti apa? Bukti kalau aku goblok?

e-mail baru masuk lagi.

“1 menit lagi jam 9, Sayang. Aku orang yang tepat waktu, lho. Telat 1 detik saja maka foto-foto ini akan menjadi wallpaper website kantor tercinta ini.”

Kugebrak meja begitu melihat foto-foto selangkanganku sedang dikucek tanganku sendiri. Fotonya agak buram, tapi jari kelingkingku yang cuma 2 ruas cukup terlihat jelas.

Setengah berlari aku menuju ruang rapat yang terletak di ujung sayap Timur.

BUK! Aku nyaris terpental kalau lenganku tidak dipegangi oleh seseorang.

“Hati-hati dong, May. Untung laptopku nggak jatuh,” gerutu Sony.
“Sorry,” ujarku terbata. Kedua tanganku tanpa sadar menutupi dadaku.

Entah sengaja atau tidak, tangannya sempat menyentuh payudaraku saat kami bertabrakan. Sebelum dia sempat mengomel lagi, aku sudah berlalu meninggalkannya. Aneh, kenapa hari ini aku terus dikejutkan oleh kemunculan 3 tersangka? Benarkah dia Pak Pur? Jangan-jangan Sony atau Yuda atau orang lain? Ah, sebentar lagi aku akan tahu siapa dalang semua kesialanku. Akan kucincang dia. Pertama kugetok kepalanya dengan hak sepatuku sampai bocor lalu kutendang kemaluannya. Tidak, lebih baik kutelanjangi dia lalu kufoto dan kusebarluaskan. Memangnya hanya dia yang bisa mempermalukan orang lain?

Wilayah sayap Timur yang dihuni Board of Director sudah sepi. Aku tidak berniat mengikuti skenario busuk si pemeras. Memangnya aku sebodoh yang dia kira? Aku tidak akan memakai blindfold dan menunggunya di bawah siraman sinar lampu agar bisa melihat dengan sejelas-jelasnya siapa pembawa sial dalam hidupku.

Tanganku baru saja meraih tombol lampu saat sebuah tangan membekap mulutku dan sebuah tangan lainnya memiting lenganku. Tubuhku didorong ke dinding.

“Kalau kamu berteriak, semua perjanjian kita batal. Ngerti?”

Aku meronta.

“Siapa kamu sebenarnya, pengecut!”

Tawa serak itu terdengar lagi.

“Rio memang goblok. Dia pikir sudah mendapat semuanya. Sayangnya dia lupa kalau kamu bisa menghancurkannya.”

Kata-katanya berhasil menghancurkan nyaliku.

“Bagus, Sayang. Kamu memang pintar,” bisiknya setelah berhasil memakaikan blindfold ke mataku tanpa mendapat perlawanan.

“Aaahh!”

Jeritku pelan ketika selangkanganku disentuhnya.

“Jangan. Kamu tadi janji cuma akan mengembalikan celana dalamku,” cegahku sembari berusaha mengusir kedua tangannya dari payudara dan alat vitalku.

“Tenang, aku bukan orang yang ingkar janji kok.”

“Sudah, please,” pintaku saat dia menarikku dan memposisikanku menungging dan berpegangan pada pinggir meja.

Kali ini dia tidak menjawab karena mulutnya sedang sibuk melumat telinga dan leherku.

“Jangan…”

Namun bibir asing itu tetap menyedot leherku, membuat cupang baru di sana. Aku terengah melawan libido yang mulai menggila seiring remasan dan pelintiran liar pada puting payudaraku ditambah lagi gosokan dan kucekan tanpa henti pada klentitku. Kedua kakiku gemetar dan cengkeraman kedua tanganku pada pinggir meja makin kuat ketika klimaks itu mendekat dan… tiba-tiba saja dia berhenti.

Aku menunggu. Dan sepertinya dia juga menunggu. Jarinya masih menempel di klentitku, tapi tak bergerak.

Sialan, aku benar-benar horny. Aku setengah mati menginginkan orgasme itu.

“Eh, brengsek. Sebenarnya apa maumu?” geramku.

Dia tertawa.

“Aku mau kamu memilih antara ini…,” ujarnya sambil menekan klentitku yang licin dengan jarinya, “atau ini.”

Aku menahan napas merasakan batang keras hangat menempel di pantatku. Sudah jelas aku menginginkan penis itu, tapi…

“Kamu sudah banyak berkorban demi Rio jadi kupikir kamu berhak mendapat hadiah. Tapi semuanya tergantung kamu sendiri.”

Kugigit bibir, mencoba berpikir meski percuma karena seakan seluruh syarafku berteriak agar kupilih yang terakhir. Kecuali suara kecil yang nyaris tak terdengar.

Jangan gila, May. Tahu siapa dia saja tidak. Bagaimana mungkin kamu bercinta dengan dia lagi. Dia itu musuh. Seharusnya kamu melawan.

Tapi aku kepingin. Kepingin dipuaskan. Aku bosan masturbasi, aku mau disetubuhi.

Jangan membuat kesalahan fatal lagi.

Ya, kamu benar.

Entah syaraf lidahku sudah koslet atau sakau yang kurasakan sudah tak tertahankan lagi, kudengar suaraku sendiri menjawab,

“Yang terakhir.”

Dia menjawab dengan menekan ujung kemaluannya pada mulut kemaluanku. Tubuhku tersentak maju seiring dorongan pantatnya. Aku mengerang, mendesah kadang mengaduh saat payudaraku tergesek permukaan kaca yang melapisi meja.

Astaga! Dia tidak pakai kondom lagi! Aku ini begitu ceroboh, seharusnya tidak jatuh dalam kebodohan lagi namun kenikmatan yang melenakan ini begitu membius. Dan bajingan itu sendiri pun juga menikmatinya. Lenguhan dan dengusannya tak bisa membohongiku.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mencapai klimaks yang tadi tertunda.

“Hhhhhggghhh…”

Yang kudengar hanya debar jantungku dan hela napas kami yang memburu. Mendadak aku teringat pada Rio. Tidak, aku tidak bisa mengkhianatinya lagi demi rentetan orgasme.

“Tidak… lepaskan aku…”

Tapi aku tidak bisa melepaskan diri karena dia terus mengguncang tubuhku hingga makin maju. Membuat kedua tanganku yang tadinya di depan kepalaku kini berada sejajar dengan selangkanganku. Remasan pada pantat dan payudaraku membuatku kembali sakau dan klimaks berikutnya kuraih.

Maafkan aku, Rio…

Tiba-tiba bajingan ini melepaskanku dan menjauh sesaat sebelum memakaikanku celana dalam. Lho, kenapa celananya basah? Anjrit!! Jangan-jangan…

“Tunggu!” tukasku sembari bergegas turun dan membuka blindfold. “Siapa kamu dan mana semua copy foto-foto itu?”

Namun dia sudah berlalu dan yang kulihat hanyalah pintu ruang meeting yang baru saja menutup. Buru-buru aku mengejarnya, tapi rasa basah dan lengket di selangkanganku membuatku berhenti sejenak untuk memeriksa. Betul, ini celana dalamku yang sudah berhari-hari disandera, tapi…

Rasa panas menjalar dari dada ke ubun-ubunku. Bangsat sialan ini sudah ejakulasi di celana dalamku!

Kubuka pintu dengan kasar dan tak seorangpun yang kulihat selain Udin di luar sana. Office boy kurus itu begitu kagetnya melihatku sampai menjatuhkan vacuum cleaner yang sedang dipegangnya. Aku bergegas kembali ke ruanganku sambil merapikan rambutku yang pastinya berantakan. Tapi baru lima langkah, kuputuskan untuk kembali.

“Din, siapa yang kamu lihat keluar dari ruang rapat?”
“Lha kan Ibu sendiri yang keluar dari sana.”
“Maksudku selain aku.”

Udin menggeleng dengan wajah bingung.

Brengsek!!!



----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh

1239

21Tahun.Sextgem.Com