03. Cinta Tak Pernah Salah


Bagian 2:
Demi kembalinya celana pendek dan celana dalamnya, Maya terpaksa melakukan tuntutan gila si pemeras. Dan dia kembali membuat kesalahan setelah bercinta lagi dengan musuh yang belum jelas identitasnya itu. Akankah kebodohannya ketahuan Rio? Maukah Rio memaafkannya?

Bagaimana sih cara menghilangkan cupang?

Aku pernah membaca di sebuah majalah bahwa body lotion bisa mengurangi gelapnya rona bekas cupang, tapi setelah kucoba ternyata percuma saja. Totol-totol tak beraturan yang warnanya mirip hasil kerokan itu membuat leher jenjangku mirip macan tutul. Menyamarkannya dengan concealar lalu melapisinya dengan foundation dan bedak malah membuat leherku seperti kena cat tembok. Satu-satunya cara untuk menyembunyikannya adalah dengan membungkus leherku yang bernoda dengan scarf.

Kuhela napas dengan panjang begitu melihat bayanganku di cermin. Wajah lonjongku tampak pucat dan kuyu. Rona hitam samar membayang di bawah sepasang mataku. Rambut lurus berwarna cokelat tua yang tergerai melewati pundakku juga tampak lemas. Aku terlihat begitu lelah dan muram apalagi dalam balutan setelan warna hitam.

Aku mirip orang yang sedang berduka dan kenyataannya memang begitu. Hatiku teriris tiap kali melihat orang yang kucintai akan menjadi milik orang lain dalam tiga hari. Dan harga diriku tercabik tiap kali mengingat betapa mudahnya aku diperdaya oleh pemeras gila itu.

Rasanya aku ingin pergi ke tempat yang jauh. Ke tempat di mana tidak ada seorang pun yang kukenal sehingga aku bisa bebas meneriakkan seluruh isi hatiku. Ke pantai? Memaki ombak yang datang dan pergi memang menyenangkan, tapi tidak ada gema yang terdengar.

Buat apa sih mendengar isi hatimu sampai berulang-ulang? Apa kamu tidak bosan? Itu kan sama saja menyiksa diri sendiri.

Memang membosankan dan menyiksa diri sendiri, tapi aku lebih suka diingatkan kalau semua kekacauan itu terjadi karena kesalahanku sendiri.

Lalu apa? Itu kan tidak menyelesaikan masalahmu.

Paling tidak bisa membuang sedikit beban yang tertimbun dalam hati.

Sudahlah. Nggak perlu cengeng. Angkat kepalamu dan tunjukkan kalau kamu masih punya nyali untuk menghadapi semua kekacauan dalam hidupmu. Tunjukkan pada bajingan itu kalau kamu baik-baik saja dan bisa menyelesaikan semuanya dengan baik.

Berarti aku harus bersembunyi di balik topeng lagi?

Dan begitulah, lagi-lagi aku menampilkan akting kelas satu sebagai wanita karir bermental baja. Tidak ada luapan amarah tanpa sebab pada anak buah, juga tidak ada helaan napas bernada sentimentil di tiap jeda lamunan. Aku tetap bekerja dalam ritme yang terjaga sepenuhnya. Kalau saja ada yang tahu akan bakat terpendamku, bisa jadi aku sudah masuk nominasi FFI bahkan Oscar.

“Hey, Yakuza. How are you, girl?”

“Fine.”

Otomatis bibirku membentuk senyum manis untuk dipamerkan pada Rio. Hanya dia yang bisa membuatku tersenyum dalam situasi segawat apapun.

Kami duduk berhadapan dalam ruangan barunya yang luas. Ruangan ini benar-benar baru bahkan bau pelitur kayu meja kerja masih cukup menyengat. Kami semua sudah bisa menebak kalau Pak Deddy hanya mewariskan jabatan Direktur Operasional pada Rio tanpa ruang kerjanya. Sang raja angker itu rupanya terlalu cinta pada ruangan yang telah dihuninya selama belasan tahun. Padahal perabot dalam ruangan itu boleh dibilang sudah ketinggalan jaman. Jauh beda dengan ruangan ini yang begitu modern dan minimalis.

Pangeran pujaan hatiku tampak serius saat membaca dua proposal dariku. Setelah melontarkan sedikit pertanyaan kemudian dia menandatanganinya lalu menatap mataku dalam-dalam. Hmmm… Rasanya aku seperti berendam dalam telaga bening yang menyejukkan. Bisakah waktu diperlambat atau dihentikan sama sekali sehingga aku bisa berlama-lama menikmatinya?

“Akhir-akhir ini kamu seperti menghindariku. Susah sekali bertemu denganmu,” tuduhnya setengah bernada mengeluh.

“Kita kan sama-sama sibuk,” dalihku. “Kamu sibuk dengan tetek bengek persiapan pernikahanmu dan aku dengan dua kampanye produk baru ini.”

Dia tersenyum kecil, sepertinya tidak menangkap nada getir saat kata ‘pernikahanmu’ terlontar dari bibirku.

“I miss you.”

Kehangatan genggaman tangannya seakan membungkus hatiku yang rombeng.

“I miss you too,” gumamku sambil memandangi jempolnya mengelus kelingking kananku yang buntung satu ruas.

Cuma dia yang memperlakukan jariku yang malang dengan begitu romantis.

“Will you still miss me…”

Suaraku yang lirih menghilang, tertelan keputusasaan. Genggaman itu terlepas.

“Of course, my dear. Because you’re my special.”

Jawaban yang kutunggu. Rio sering mengucapkan kalimat terakhir itu bila sedang berduaan denganku. Membuat hatiku mengembang sebesar balon udara yang membawaku terbang melayang tinggi di udara. Aku kembali tersenyum, menengadah menatap pujaan hatiku yang kini duduk di pinggir meja di sampingku. Dia juga tersenyum sementara tangannya mengacak2 rambutku dengan gemas. Sedetik kemudian dia membungkuk dan bibirnya mengulum bibirku.

But will you still miss me for the rest of your life?

Rio tidak menjawab. Bukan karena teredam oleh ciuman balasanku, tapi karena pertanyaan itu hanya kubisikkan dalam hati. Aku tidak punya keberanian untuk mengusiknya dengan pertanyaan bernada menuntut. Namun pertanyaan itu masih juga menggaung di telingaku ketika tubuh mungilku sudah setengah rebah tertindih tubuh tegapnya di atas meja kerjanya yang kokoh.

Tiba-tiba ada yang menyengatku. Kesadaranku.

“Eh! Ada apa sih??” tanya Rio sewot setelah aku mendorong tubuhnya.

“Kita kan ada di kantor.”

“Lalu?”

“Di ruanganmu lagi.”

“Iya, terus apa masalahnya? Kayak nggak pernah main di kantor saja. Lagipula pintu kan sudah dikunci.”

“Apa kamu yakin ruangan ini aman? Kita kan belum pernah melakukannya di sini.”

Kegusaran di wajahnya menyurut. Tangannya meraih laci, membukanya dan mengeluarkan sebuah benda mirip handy talky.

“Bug detector,” ujarnya datar sembari menyodorkan barang itu ke tanganku. “Bisa men-detect penyadap suara dan kamera tersembunyi sekecil apapun. Tiap pagi dan tiap kali sebelum meeting, aku selalu men-scan ruangan dengan alat ini.”

Busyet! Seperti dalam film-film Hollywood saja.

“Apa alat ini benar-benar bekerja? Maksudku, pernahkah kamu menemukan sesuatu?”

Rio mendengus.

“Di hari pertama aku pindah kemari, aku menemukan dua penyadap suara. Satu di bawah meja dan satunya di bawah tempat ballpoint. O, iya, ada juga satu kamera tersembunyi di sana,” tukasnya sembari mengedikkan kepala ke arah lampu meja di hadapannya. “Seminggu sesudahnya ada kamera tersembunyi baru yang lebih canggih dan lebih kecil di sudut atas lemari itu.”

Aku terbengong. Ternyata jabatan sebagai Direktur Operasional perusahaan farmasi begitu berbahaya. Siapa sih yang begitu menginginkan kejatuhan Rio? Pak Pur yang belum lama kena tegurannya karena sering terlambat kembali dari istirahat makan siang atau Sony yang memprotes pengurangan budget untuk IT department atau Yuda yang tadi pagi bertengkar dengannya karena soal pinjaman bank di depan Pak Deddy atau masih ada tersangka lain? Ya ampun! Kenapa tidak pernah terpikir olehku untuk memiliki senjata rahasia seperti ini? Tapi sudah terlambat, bukan?

“Sebelum memanggilmu, aku juga sudah memeriksa ruangan ini,” gumamnya sambil mengambil perangkat sakti itu dari tanganku dan mengembalikannya ke laci.

Aku tidak perlu menanyakan hasil pemindaiannya karena dia sudah kembali menindihku, mengulum bibirku dan menggerayangi tubuhku dengan penuh semangat. Membuat jantungku berdebar keras dan selangkanganku basah seketika. Tanpa ragu kubiarkan diriku terbuai dalam kenikmatan yang sudah lama kunanti. Tidak ada keinginan lain yang lebih dahsyat dari dipuaskan oleh lelaki yang kucintai. Dengan sengaja aku menggeliat dan mengerang tertahan. Seperti yang kumau, serangannya makin gencar, tanda dia makin terangsang.

Tidak butuh waktu lama bagi Rio untuk menelanjangiku. Dia memang lebih senang bila kami telanjang supaya pakaian kami tidak kusut. Kami tidak menanggung resiko berpakaian terburu-buru karena dia selalu menitahkan sekretarisnya bahwa tidak seorang pun – termasuk tunangannya – boleh mengganggu rapat kerja kami. Yang bisa menginterupsi keasyikan kami berdua hanya Pak Deddy dan bencana alam yang untungnya belum dan semoga saja tidak akan pernah terjadi.

Tinggal seuntai kalung, sebentuk cincin, sepasang anting yang semuanya bermata berlian mungil dengan bentuk senada juga jam tangan yang menempel di tubuhku. Dan tentu saja sepasang sepatu stiletto berhak tujuh sentimeter. Dia memang suka melihatku telanjang dengan high heels. Very, very sexy, katanya. O, iya, scarf juga masih terikat di leherku.

Oh my God! Leherku!!

Haruskah aku mengaku tentang kekacauan yang telah kubuat sekarang juga atau menunggunya menemukan cupang-cupang sialan itu sendiri? Aku tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukannya setelah mengetahui semuanya. Seharusnya aku bilang sejak tadi, tapi nafsu ini tak terbendung lagi dan Rio sendiri sudah menatapku yang tergeletak mekangkang di atas meja dengan lapar.

“Nghhhh…”

Yang ini erangan betulan yang keluar dari mulutku tanpa bisa kutahan setelah dia menyodokkan kemaluannya yang keras ke dalam liang kemaluanku. Dan tanpa memberiku kesempatan untuk bernapas lega, Rio sudah memompaku dengan ganas. Rasa takut ketahuan dan kenikmatan tiada tara bercampur menjadi satu. Aku harus menjauhkan tangannya dari leherku, tapi bagaimana caranya? Dia senang menyibakkan rambut yang menutupi wajahku. Kurasa cara paling tepat adalah memeluk lehernya erat-erat dengan begitu tidak ada tempat manuver di daerah leherku bagi kedua tangannya.

“I miss you…,” bisiknya terputus-putus disela desahan.

“I miss you too…,” balasku dengan bumbu erangan yang lebih sensual.

“Ooohh… Lagi… Lagi, May…,” pintanya setelah kemaluannya terpijat liang vaginaku yang berkontraksi.

Tentu saja aku mengabulkan permintaannya meski konsentrasiku mulai bercabang. Apakah kami akan terus seperti ini, sembunyi-sembunyi seperti maling demi kebersamaan singkat yang serba tergesa? Bisakah kami terus menipu semua orang termasuk diri kami sendiri?

Cumbu rayu Rio terdengar lamat-lamat padahal bibirnya persis di depan lubang telingaku.

Jangan memusingkan hal-hal seperti itu di saat seperti ini dong, May. Nikmati kesempatan langka ini. Belum tentu kamu bisa bercinta dengannya dalam jangka waktu dekat. Bisa-bisa harus menunggu setahun lagi baru bisa merasakan orgasme bersamanya.

Betul juga.

Mendadak dia melepaskan rangkulanku, menegakkan tubuhnya dan memiringkan tubuhku ke kanan sambil terus mengayun pinggulnya. Oh no! Simpul scarfku terasa bergeser setelah tergesek lenganku yang menahan kepalaku. Dia pasti akan curiga kalau aku membetulkan ikatan scarf di tengah-tengah kesibukkan seperti ini.

Di tengah kebingunganku mencari akal untuk menutupi cupang di leherku yang rasanya semakin tersingkap, tiba-tiba dia mengangkat kaki kiriku dan menyampirkannya ke pundaknya. Karena kaget, aku mengejan dan oh my God… Kemaluannya makin membesar di dalam sana! Oh, please don’t stop… Terus… sedikit lagi, Rio… Sebentar lagi aku akan…

Tubuhku menggeletar. Kugigit bibirku dan kucengkeram pinggir meja untuk menahan teriakan lepas saat gelombang kenikmatan pertama datang menerpa. Liang kemaluanku mendenyutkan serangkaian pijatan berkecepatan tinggi membuat Rio mendongakkan kepala sambil memejamkan mata.

Dikembalikannya kaki kiriku ke posisi semula. Kedua tangannya memegang pinggangku dengan mantap seakan takut tubuhku melesat meninggalkannya. Kedua kakiku terayun lepas di udara sedang kedua tanganku menyibukkan diri dengan tonjolan kenyal di dadaku, memancing Rio untuk sesekali menunduk dan memagut putingku yang melenting. Hunjaman penisnya makin cepat, memperdengarkan kebecekan liang vaginaku. Rambut kemaluannya yang kuyup menggesek klentitku. Aku mulai menggelinjang lagi dan kembali menyerang alat vitalnya dengan kenyotan-kenyotan liar.

Dan ketegangan yang orgasmik itu pun mereda setelah geraman keras keluar dari mulutnya berbarengan dengan desahan panjang dari mulutku. Demikian pula di bawah sana, semburan dua macam cairan kental hangat berbau khas membanjiri liang kemaluanku.

Kami berdua saling pandang. Hening. Tidak persis begitu sih karena napas kami yang terengah-engah terdengar begitu jelas. Sepasang mata indah itu terus menatapku dengan hangat. Memandangi wajah dan tubuhku yang berkeringat bergantian. Tangannya merapikan rambutku yang lengket kemudian dia membungkuk untuk menciumku. Cintakah itu?

Aku tersenyum menyambutnya. Namun ciuman itu tak kunjung tiba. Kepalanya berhenti dua puluh senti dari kepalaku.

Aku tersadar, tapi semuanya sudah terlambat.

“Apa-apaan ini, May??”

Telingaku nyaris tuli. Mataku nyaris tercolok scarf yang disodorkan dengan kasar ke wajahku. Cepat sekali dia melepaskannya. Cuma butuh dua detik.

“Siapa yang sudah melakukannya??”

Kupaksa lidahku yang kelu untuk mengoceh.

“Apa?? Kalau ngomong yang jelas!”

Dengan terbata aku mengaku dosa di sela bentakannya. Ternyata menyembunyikan fakta dengan berbohong itu nyaris tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama busuk.

Aku terdiam ngeri melihat perubahan sikapnya. Kemurkaannya yang belum pernah kulihat sebelum ini memang tidak menyakitiku secara fisik, bentakan-hujatan-makian itu sudah lenyap namun malah membuatnya makin menakutkan. Matanya seperti memancarkan api yang siap membakarku. Bibirnya menipis. Dan yang paling menusuk hatiku, dia menjauhiku seperti takut tertular penyakit goblok yang kuderita.

“Goblok.”

Kata itu tidak diucapkan dengan kekuatan penuh, bahkan terdengar bergetar. Ada segulung hawa amarah bercampur kebencian dengan bonus kejijikkan dibaliknya.

“Ya, aku memang goblok. Maafkan aku. Aku yang salah,” ujarku lirih.

“Semuanya bisa hancur.”

Aku beranjak bangun dan duduk dengan kepala tertunduk lesu. Kata maaf terus berhamburan dari mulutku, tapi tak diacuhkannya. Dia terus mengatakan kata-kata pesimis yang membunuh semangat.

“Siapa sih bangsat itu? Dan kenapa juga kamu harus menyebut-nyebut namaku?”

Aku tidak menceritakan tentang pengakuan cintaku itu. Rio pasti makin murka bila mendengarnya.

“Kamu menikmatinya kan?”

Tuduhan menyakitkan itu akhirnya muncul juga. Aku menggeleng.

“Jangan bohong!” Mendadak dia berteriak lagi. “Kamu memang ingin balas dendam karena aku bisa meniduri Dina kan? Tapi pernah terpikirkan olehmu kalau aku melakukan semua itu demi kita? Demi masa depan kita?”

Dadaku terasa ngilu, hatiku yang rombeng hampir habis terkoyak oleh berondongan kata-kata tajamnya. Aku berjuang untuk tidak menangis karena tidak ingin membuatnya makin kesal, tapi mataku telanjur basah dan hidungku sudah berair.

Aku berpakaian sambil terus menunduk. Jari-jariku yang gemetar berkali-kali terpeleset saat mengancingkan blus. Sementara itu dia terus mengagumi kebodohanku dengan kalimat-kalimat sarkastik.

Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya meredakan amarah Rio. Satu-satunya solusi yang kupunya hanyalah resign. Di luar dugaan, dia makin marah mendengarnya.

“Enak saja! Jadi kamu mau meninggalkanku dengan segudang masalah yang kamu buat? Kamu pikir kalau kamu resign masalah akan selesai? Cari tahu siapa dia dulu baru kamu boleh resign!”

Aku mengangguk dengan gugup. Dia benar, tidak seharusnya aku kabur dan mewarisinya dengan masalah sebesar ini. Aku yang salah. Aku yang goblok.

* * *


Aku tidak tahu lebih indah mana, sunrise atau sunset. Tapi aku mengagumi keduanya. Rasanya seperti melihat pertunjukkan drama di mana sunrise adalah babak pembuka saat matahari muncul mendominasi panggung dan ditutup oleh sunset, ketika sang primadona meninggalkan panggung karena panggung sandiwara sudah usai.

Sunset di depan mataku begitu indah sekaligus menyedihkan. Aku seperti melihat diriku sendiri yang semakin surut dalam kehidupan Rio. Dia makin menjauh dariku dan aku tidak punya alasan untuk mendekatinya lagi. Apalagi hari ini dia mengikat janji untuk hidup berdua selamanya dengan Dina Munaji. Seharusnya aku tidak perlu hadir, menyaksikan momen-momen indah di mana sang pangeran tampan dan sang puteri jelita bersanding dengan wajah sumringah membuat hatiku remuk redam. Tapi aku tidak punya pilihan lain karena Rio memaksaku tetap hadir agar tidak ada yang curiga pada hubungan gelap kami. Dan aku tidak ingin membuatnya makin gusar dan benci padaku.

Jadi di sinilah aku. Berdiri sendirian di ujung geladak pribadi keluarga Munaji, menikmati sunset dengan gelas di tangan berisi gin tonic. Aku tidak berbaur dengan tamu-tamu di dalam tenda putih yang terbentang di halaman luas istana sang tuan puteri di kawasan Pantai Mutiara. Tak kupedulikan tatanan rambutku yang mulai berantakan atau ujung gaun panjangku yang berkibar mirip bendera. Mataku terasa pedas, bukan hanya karena silau matahari senja atau alkohol yang meruap dari gelasku, tapi karena tangis yang ingin meluap sejak tadi. Satu-dua tetes air mata yang tak bisa kutahan terbang terbawa angin berbaur dengan udara atau larut setelah menabrak laut bebas.

“Mirip kalender, ya.”

Aku tersentak dan kontan beringsut menjauh begitu menyadari ada orang di sebelahku.

“Jangan kagetan begitu dong. Apa aku mirip setan?”

Sony terkekeh. Sepertinya dia agak mabuk. Aku melirik ke sekelilingku. Ada beberapa pasangan yang rupanya juga ingin menikmati sunset tanpa takut dandanannya rusak akibat hembusan angin liar.

“Pemandangan akan sempurna kalau saja ada perahu kecil dengan dua penumpang di tengah bulatan matahari yang tenggelam itu. Romantis.”

Dia terus mengoceh meski kudiamkan.

Tak lama kemudian langit gelap dan sinar mentari digantikan cahaya obor dan lampu. Aku menengadah, bintang-bintang mulai bermunculan.

“Romantis,” ujarnya lagi.

Dia tidak mengacuhkan lirikan sebalku. Aku beranjak menjauhinya, tapi dia terus mengikutiku.

“Istriku… bukan, mantan istriku dulu juga senang memandangi sunset dan bintang. Romantis, katanya.”

Aku terus berjalan dan ocehan terus mengikutiku. Semuanya tentang mantan istrinya dan belasan kata romantis yang terdengar makin pahit.

“Maaf, Son. Aku mau…”

“Cuma sekali aku terpeleset, tapi dia sama sekali tidak mau memaafkanku.”

Aku tahu dia sedang mengeluhkan mantan istrinya. Sudah menjadi rahasia umum kalau perceraian Sony dipicu ulahnya sendiri yang berselingkuh dengan Livie, programmer yang sedang magang di perusahaan kami. Setelah affair itu terungkap, lelaki egois yang membosankan ini kehilangan istri dan kekasih gelapnya karena sang orang ketiga menghilang, meninggalkannya begitu saja. Mungkin karena malu atau bisa jadi karena jenuh.

Cerocos keluh kesahnya membuatku depresi. Kusambar minuman beralkohol lainnya dari nampan yang dibawa waiter yang lalu-lalang. Sepertinya cosmopolitan. Entahlah. Iring-iringan pengantin datang membuat hatiku ngilu. Rio tampak begitu bahagia. Senyum lebarnya membuatnya makin tampan. Tidak ada sisa kemurkaan, kebencian dan kejijikkan yang ditunjukkannya padaku tiga hari yang lalu. Dengan sumringah dia menggandeng Dina yang anggun dan cantik bak putri raja.

Pak Deddy mengundang tamu mendekat dan mengadakan toast untuk menghormati kedua mempelai. Sebelum toast dimulai aku sudah menenggak habis minumanku.

Seharusnya aku yang berada di sana.

Kenapa harus di sana? Memangnya ini rumahmu?

Rio… Benarkah dia tidak bisa memaafkanku? Aku tidak pernah berniat mengkhianatinya. Aku dijebak. Aku cuma korban.

Tapi kamu menikmatinya.

Diamlah! Seharusnya kamu menghiburku bukan ikut-ikutan menghukumku.

Mungkin sudah waktunya kamu melupakan Rio.

Bagaimana bisa? Dia itu cinta pertamaku.

Kamu bisa memulainya dengan membencinya. Dia sendiri mengkhianatimu, May. Memperlakukanmu seperti ban serep.

Cinta itu memberi bukan menerima. Lagipula aku yang salah. Kalau saja aku tidak begitu bodoh, mendatangi kamarnya di tengah malam buta. Sudah begitu masih juga dikerjai oleh pemeras gila itu. Semua orang pasti bilang aku goblok.

Ya, memang kamu goblok. Kenapa sih kamu selalu memanjakannya dan menanggung semua beban demi dia yang belum tentu mau melakukannya untukmu? Seandainya kalian bertukar posisi, apakah dia akan selalu siap sedia kapanpun kamu membutuhkannya? Apa kamu akan rela memaafkannya?

“Kamu mirip dia.”

Gelas berkaki tinggi yang kupegang nyaris mental akibat cekalan mendadak pada lenganku. Mata Sony sudah memerah. Dia mabuk.

“Tubuhnya juga mungil sepertimu. Rambutnya juga sepanjang rambutmu. Hidungnya juga mancung seperti hidungmu. Bibirnya….”

“Seandainya istrimu yang selingkuh apakah kamu akan memaafkannya?” tukasku sambil berusaha membebaskan diri.

Mendadak dia mendelik.

“Apa kamu sudah gila??” semburnya sembari menudingku dengan sengit, membuat beberapa tamu di sekitar kami menoleh. “Memangnya aku kurang apa sampai dia selingkuh?”

Anjrit! Gaun baruku yang terbuat dari bahan organdi tiga lapis itu basah di bagian dada karena si gila ini menudingku dengan gelas yang masih terisi. Hampir terjadi insiden pengeprukan kepalanya dengan gelas kalau saja tidak ada orang yang mencegahku. Astaga! Kenapa harus dia lagi sih!

“Sudah tahu dia mabuk, masih saja you temani juga.”

Aku merengut dan langsung menjauhi Pak Pur yang menyodorkan saputangannya. Amit-amit! Namun kali ini dia tidak banyak ulah karena di lengannya menggelayut seorang perempuan paruh baya bertubuh bulat dibalut gaun brokat hijau mengkilat penuh payet dengan perhiasan mencolok di seputar dada suburnya, membuatnya mirip mutan hasil kawin silang antara ondel-ondel dengan pohon natal.

Dengan jengkel aku berjalan menuju rumah. Aku tidak tahu bagaimana cara menghilangkan noda di gaunku. Ck! Berisik sekali mereka! Membuatku sakit kepala saja. Tanpa ragu kuambil segelas champagne sisa toast yang ditawarkan seorang waiter padaku. Gelembung-gelembung dalam cairan berwarna keemasan itu terlihat begitu indah. Tak kalah indah dari sunset.

Terdengar tepuk tangan meriah dan sorak-sorai gembira. Aku memalingkan wajah, menghembuskan napas panjang lalu menghabiskan segelas champagne itu dalam satu tenggak.

Kudengar hembusan kedua. Bukan berasal dariku. Ajaib. Mengapa aku selalu bertemu dengan tiga tersangka berambut cepak itu?

“Membosankan,” gerutu Yuda. “Apa gunanya confetti itu? Hanya membuat sampah saja. Belum lagi sempritan, kekanak-kanakan sekali. Hey, kamu mau ke mana?”

“Toilet. Gaunku…Ups!”

Buru-buru aku meluruskan langkahku yang sempat oleng tapi tidak berhasil. Tanpa menghiraukan penolakanku, Yuda menuntunku menuju toilet terdekat.

Oke, penampilanku masih normal. Rambutku berantakan, wajahku agak memerah dan ada noda sebesar telapak tangan di dadaku, tapi secara keseluruhan aku masih cantik. Lebih cantik dari biasanya.

Dari luar terdengar letupan kembang api diiringi sorakan penuh kekaguman. Dan mendadak aku merasa benci pada diriku sendiri. Untuk apa aku datang ke pesta ini? Untuk membuktikan bahwa aku cukup kuat menghadapi kenyataan Rio menjadi suami orang atau mengambil kesempatan kesekian kalinya untuk mengemis maaf darinya? Dan apa yang kudapat? Keluh kesah orang sinting yang merusak gaunku.

“Damn you, Rio,” desisku kesal. “Akan kubuktikan kalau aku bisa hidup tanpamu.”

Sialan! Pintu ini macet. Tidak juga mau terbuka walau sudah kudorong sekuat tenaga. Mendadak pintu terbuka ke arahku, nyaris menghantam wajahku. Seseorang menertawakan kebodohanku. Setengah terhuyung aku keluar, tersandung keset dan jatuh dalam pelukan seorang laki-laki.

“Ya ampun, May. Kamu mabuk.”

Pandangan mataku memburam dan bumi serasa berguncang.

“O, ya?” sangkalku dengan nada yang sama sekali tidak meyakinkan.

“Iya.”

Kubuka mataku lebar-lebar, berusaha melihat lebih jelas wajah ganda yang bergoyang di hadapanku. Suaranya kukenal dan agak menggaung di telingaku.

“Pasti gara-gara Rio.”

Aku menggeleng keras. Aduh, kepalaku jadi makin pusing.

“Aku benci dia,” celotehku tanpa bisa ditahan.

“Sama dong.” Sesaat ada jeda sebelum dia melanjutkan, “Kita harus memberinya pelajaran.”

Betul.

“Bagaimana kalau kita beri dia hadiah spesial yang nggak terlupakan?”

Belum sempat aku menjawab, lawan bicaraku sudah memeluk dan menciumku. Bukan ciuman lembut, tapi aku bisa mengimbanginya.

Kenapa kamu balas menciumnya?

Karena aku benci Rio.

Adu bibir itu berubah menjadi adu lidah dan merembet menjadi adu tangan. Bukan panco, tapi saling menggerayangi tubuh masing-masing. Tubuhku terangkat, tapi bibir kami masih saling menempel.

“Mmmm…”

Aku menggeliat geli ketika jari-jari nakalnya merambah selangkanganku. Kulebarkan pahaku sehingga dia dapat menyingkap gaunku dengan leluasa.

Oooh…Mmmmhh…

Aku serasa melayang dan kedua kakiku ada di udara. Eh, sepertinya kakiku menjejak sesuatu yang keras. Lantai? Tidak mungkin karena ada lukisan Jeihan di dekat kakiku. Oh, rupanya aku menginjak dinding. Tidak, sekarang kusen pintu lalu pintunya. Aku seperti berjalan di dinding. Lalu kami berhenti sejenak. Dia membuka sebuah pintu dan kami masuk ke dalam ruangan yang harum. Ada banyak bunga di sini. Harum sekali.

Oh, shit! Kucekan pada klitorisku benar-benar luar biasa. Aku terus menggeliat liar sampai tidak ingat kapan punggungku menyentuh kasur seempuk awan. Apa ini? daun merah lembut yang menempel di pipiku. Di tanganku juga ada. Kelopak bunga mawar di atas kasur? Benar-benar romantis ya?

Dia terus mencumbuku dengan buas. Dibalikkannya tubuhku untuk mencari resleting. Aku terkikik geli mendengar desahan kesal. Dia pasti bingung melihat korset membungkus rapat tubuhku.

Tapi dia tidak patah semangat. Belahan payudaraku yang membusung karena tekanan korset dilumatnya habis-habisan. Pasti ada cupang lagi. Who cares? Rio toh sudah telanjur ngambek. Mungkin dia iri karena tidak bisa mencupangku, tapi sebentar lagi dia bisa menghujani istrinya dengan seribu cupang.

Aku terus menikmati servis luar biasa ini sembari memejamkan mata. Karena pandangan yang bergoyang-goyang membuatku pusing.

“Ooohhh… Sshhh…”

Mulutku terus mendesis seiring jilatan pada klentitku. Pasti lidah, karena yang menyapu tonjolan kecil dekat lubang kencingku itu terasa begitu lembut. Aku terlonjak dan menggelinjang ketika jarinya menyusup masuk liang kewanitaanku dan menekan-nekan dindingnya yang basah. Jilatan itu terhenti, tapi tidak apa karena sudah digantikan gosokan lembut di sana. Lalu kurasakan sesuatu ingin membobol dan meledak dari kemaluanku. Jangan-jangan aku pipis karena aku merasakan pahaku basah, tapi kok tidak ada bau pesing. Ngomong-ngomong seperti apa sih rupanya? Begitu membuka mata, aku tersentak karena yang kulihat sebatang penis besar melintang di depan hidungku.

Dia mendesah nikmat ketika senjatanya kukulum, kujilat dan kuhisap dengan lapar. Jari-jemarinya kembali menggosok-gosok kemaluanku yang basah, tapi tidak lama karena dia sudah berpindah tempat kembali ke selangkanganku. Aku mengerang gelisah karena dia tidak segera menikamkan kemaluannya ke lubang kemaluanku melainkan menyibukkan diri menjilati pangkal pahaku.

“Ngapain sih? Cepat, jangan buang-buang waktu,” omelku.

Tanpa banyak bicara apalagi protes dia langsung menuruti perintahku.

“Aaaahh!! Ooooh… aaaah…”

Aku terus mengerang dan menjerit-jerit keenakan. Sebenarnya genjotannya agak kasar, tapi lebih mantap dari Rio. Rio lagi, Rio lagi. Pergi kamu, dasar pengkhianat!

Aku terbaring pasrah sementara dia membolak-balik tubuhku sesuka hatinya. Aku tidak tahu sudah berapa kali orgasme menyambangiku dan seberapa keras aku berteriak-teriak.

Tubuhku lemas, nyaris tak bisa digerakkan lagi. Rasanya tulang-tulangku sudah copot dari sendi-sendinya. Tapi dia masih juga menarik tubuhku. Kali ini memposisikanku duduk di atas pangkuannya. Aku mendesah nikmat saat penis keras itu kembali menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku. Kulingkarkan lenganku yang lemas ke lehernya dan tubuhku berayun naik-turun. Dia memelukku dengan erat sembari memagut bibirku. Mataku tetap terpejam.

Kesadaranku sudah hampir pergi meninggalkanku. Aku bahkan tidak tahu kapan permainan kami usai. Aku lelah sekali dan ingin tidur selama mungkin. Namun dia memaksaku bangun. Menarik lenganku, menepuk-nepuk pipiku dan menciprati mataku dengan air dingin. Kurang ajar! Siapa sih…Oh, rupanya dia.

Jadi seperti ini rasanya bercinta dengan berondong.

Memangnya ada cinta di antara kalian?

Jelas tidak. Apa sih terjemahan having sex?

Ya ngeseks lah. Sama brondong pula. Enam tahun lebih muda!

Delapan kayaknya.

“Bagaimana? Apa kamu sudah merasa lebih mendingan?”

Sama sekali tidak. Kepalaku pusing dan rasa mual mulai menjalari kerongkonganku. Dengan linglung kubiarkan dia merapikan dandanan dan gaunku.

“Kamu kayak habis ngompol,” ujarnya geli. “Baru kali ini aku lihat cewek squirt sebanyak itu.”

“Squirt?”

“Yuk,” ajaknya tanpa menjawab pertanyaanku.

“Aku ngantuk. Biarkan aku tidur di sini,” gerutuku sembari menepis tangannya.

“Boleh saja, tapi harus minta ijin pada yang punya kamar dulu,” bujuknya.

Dengan langkah tersaruk-saruk aku mengikutinya keluar kamar. Di luar kami bertemu beberapa penjaga rumah yang langsung sibuk dengan handy talky. Benda itu mengingatkanku pada bug detector milik Rio. Astaga! Kenapa aku terus menyebut namanya?

Rasanya ada lebah mendengung di sekitarku saat aku melewati kerumunan tamu sambil digandeng si brondong. Kami baru saja hendak duduk di sudut ruangan dekat buket bunga tulip raksasa (ukuran buketnya yang raksasa bukan bunganya) ketika Pak Deddy menghampiri kami. Ya Tuhan! Apa yang akan dikatakannya kalau dia tahu kami baru saja bercin… ngeseks di rumahnya?

Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Tahu-tahu saja aku ditinggalkan sendirian di sudut ruangan. Benar-benar sialan.

“Para undangan yang terhormat. Hari ini benar-benar hari yang istimewa bagi saya bukan saja karena…”

My goodness! Pidato lagi??

Aku yang haus karena sudah mandi keringat memungut gelas yang lewat di hadapanku. Ugh! Tidak ada rasanya! Oh, ternyata ini air mineral.

“… setelah sekian lama, akhirnya saya memiliki penerus.”

Semua tamu bertepuk tangan sambil tertawa sopan. Aku mendengus sengit melihat Dina tersenyum lebar sembari mengelus pipi Rio dengan mesra.

“… tidak ada yang lebih menggembirakan daripada menemukan seorang penerus nama keluarga.”

Tepuk tangan yang terdengar tidak seramai tadi. Beberapa tamu mengernyitkan dahi. Aku menggaruk-garuk kepala dan sehelai kelopak bunga mawar jatuh di hidungku.

“…inilah putera kandung saya yang lama menghilang. Maafkan Papa karena selama ini sudah menelantarkanmu. Kalau saja Papa tahu sejak dulu…”

Aku melongo mendengar suara Pak Deddy tercekat. Oh my God! Sang naga itu menangis? Wuih! Kejadian ini menghebohkan para tamu. Tapi ada yang lebih membuatku melongo. Kenapa dia ada di sana? Apa maksudnya?

“Mulai hari ini Krishnayuda Perdana resmi menjadi anggota keluarga Munaji. Saya tidak akan memaafkan siapapun yang menyebutnya sebagai anak haram,” tegas sang raja dengan nada mengancam.

Aku tidak tahu kapan si brondong menghampiri Pak Deddy. Dia berada di sana, berpelukan dengan sang tuan rumah. Dina mendelik sedangkan Rio tampak pucat. Sementara aku hampir rubuh tertimpa buket raksasa itu setelah terdorong-dorong para tamu dan wartawan yang ingin mengabadikan momen bersejarah ini. Mataku nyaris buta terkena siraman lampu blitz.

“Hadiah yang bagus kan?”

Brondong yang jago bercinta - duh, salah lagi. ngeseks maksudku - dan baru saja ditahbiskan jadi penerus marga Munaji itu berdiri di hadapanku sambil nyengir puas.

“Rio memang goblok.”

Aku ternganga. Sebelum sempat menutup mulut, isi perutku berlomba keluar dan segalanya menjadi gelap.



----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh

1013

21Tahun.Sextgem.Com