04. Cinta Tak Pernah Salah
Bagian 3:
Rio sangat marah setelah mendengar pengakuan Maya tentang asal-muasal tebaran cupang di lehernya. Namun akhirnya identitas sang pengacau dalam kehidupan gadis itu terbongkar sudah di tengah pesta pernikahan Rio yang heboh dan menyisakan beberapa pertanyaan: akankah hubungan gelapnya dengan sang pujaan hati akan terbongkar dan menghancurkan karir juga cinta keduanya?
Ada yang menaruh batu besar di belakang kepalaku dan membebatnya dengan erat lalu ada yang memukul-mukul pelipisku dengan palu, membuat sepasukan pembuluh darah di kepalaku berdenyut kencang. Hawa panas membakar tenggorokanku dan rasa pahit menyerang mulutku.
Ugh… aku paling benci saat-saat seperti ini. Saat di mana kesadaran kembali menguasai diriku, menyiksa tubuhku dan menggedor hatiku dengan perasaan yang akan membebaniku mungkin untuk sepanjang masa hidupku. Penyesalan karena sudah melakukan hal-hal paling goblok yang tidak pernah terbayangkan oleh otakku yang hebat itu.
Ayolah, bangun, May. Kamu kan nggak mungkin terus-terusan berbaring menyesali diri seperti ini.
Lebih baik aku mati saja. Bagaimana bisa aku menghadapi orang sekantor setelah mabuk berat, muntah dan pingsan di tengah pesta pernikahan anak big boss? Mana sebelumnya sempat bercin… halah, salah melulu sih! Maksudku ngeseks habis-habisan dengan Munaji junior di rumah mewah mereka. Haduh! Apa kata Rio nanti? Shit! Buat apa memikirkan dia terus? Sudah jelas dia bukan milikku lagi dan sejak dulu memang tidak pernah berhasil kumiliki. Dia juga tidak mau memaafkanku apalagi setelah kehebohan kemarin. Seharusnya yang tadi kubilang, apa kata Pak Deddy nanti? Pasti aku dipecat dengan tidak hormat, tanpa surat referensi, tanpa pesangon dan bisa jadi masih harus mengganti rugi karena sudah membuat kerusuhan di pesta mewah itu. Lalu aku harus bagaimana? Masih bisakah aku membela diri tanpa membuat serangkaian kekacauan lainnya? Tapi bagaimana caranya? Mengakui kalau selama ini aku menjadi simpanan Rio dan dengan sukarela diperdaya putra tunggal yang baru saja ditemukannya itu? Duh, apa aku harus bunuh diri? Tapi itu akan lebih memalukan lagi kan?
Eh, bunuh diri itu hanya dilakukan oleh orang-orang lemah dan kamu itu kuat. Anggap saja ini tantangan bagaimana memperbaiki citra diri. Pakai semua ilmu dan jurus marketing yang kamu punya. Yang jelas sekarang kamu harus bangun dulu.
Sembari mengeluh, kubuka mata dengan enggan. Sinar terang menyilaukan membuat kelopak mataku terkatup lagi.
“Kalau masih betah menggeletak di situ ya nggak usah bangun.”
Suara itu lagi. Suara yang tidak ingin kudengar lagi, tapi mampu membuat kedua mataku terbuka lebar seketika. Yang pertama kulihat langit-langit kamar berwarna krem atau broken white, entahlah, pandanganku sedikit buram karena mataku sepertinya terhalang belek tebal. Pastinya ini bukan kamarku.
Kuangkat kepalaku dan… Auch! Rasanya ada yang menabok dinding tengkorakku dari dalam, membuat kepalaku berdentang sehingga aku hampir mengelimpang lagi, tapi kupaksa bertahan dan melihat sekeliling. Ruangan ini luas, tanpa penyekat, mirip apartemen studio. Mataku akhirnya tertumbuk pada sesosok lelaki paling kurang ajar yang pernah singgah dalam kehidupanku. Dalam balutan t-shirt abu-abu belel, Yuda duduk santai di kursi malas di sebelah ranjang tempatku berbaring. Segepok koran tergeletak di atas pangkuannya. Dia memandangku dengan pandangan melecehkan.
“Aku di mana?” sergahku serak.
Aku beringsut bangun. Tanganku terus memegangi kepala seakan takut lepas saking beratnya.
“Di apartemenku. Memang nggak sebagus kamar pengantin yang kemarin kita pakai, tapi masih pantas kok buat pemabuk seperti kamu, Sayang,” sahutnya cuek sembari menyeruput kopi yang harumnya mampu menyentil saraf-saraf di kepalaku yang belum bisa berkoordinasi dengan beres.
Aku benci sekali mendengarnya memanggilku Sayang. Dia tidak pantas memanggilku begitu. Rio saja tidak pernah memanggilku Sayang. Petname tidak harus Sayang kan? Yakuza juga bagus. Tunggu dulu, kok aku jadi meributkan panggilan gombal sih? Dan kenapa juga harus menyebut nama pengkhianat cinta itu lagi? Barusan brondong sinting ini seperti menyebut kamar pengantin, apa maksudnya? Kapan aku dan dia… Oh my God!!! Jadi kemarin itu kami ngeseks di kamar pengantin Rio dan Dina? Pantas ada banyak bunga di dalam kamar dan tebaran kelopak bunga mawar di atas ranjang. Shit! Gila! Sinting!!!
“Kita masuk koran. Sayangnya bukan soal kamu yang muntah lalu ambruk begitu saja. Padahal justru di situ klimaks kehebohan semalam. Tapi nggak usah kecewa, mukamu yang sedang bengong ikut terjepret kamera kok."
Denyut di kepalaku makin kencang setelah melihat foto di koran lokal berbahasa Inggris yang dilemparkannya ke dekat kakiku. Setelah memaksa mataku mendelik baru kulihat diriku di sudut kiri foto. Aku tampak tolol, menggelayut pada buket tulip raksasa (sekali lagi ukuran buketnya yang raksasa, bukan tulipnya) sambil melongo memandangi reuni ayah beranak yang mirip adegan sinetron kejar tayang. Sepasang pengantin anyar malah sama sekali tidak muncul dalam foto. Sialan! Bego banget sih editor koran ini! Seharusnya fotoku dengan pose memalukan itu di-crop saja dong! Bikin malu saja!
"Kurasa aku harus bilang 'selamat' padamu," gerutuku sementara kedua tanganku sibuk memijat-mijat pelipisku.
"Memang seharusnya begitu, Sayang," sahut Yuda sambil terkekeh riang.
"Akhirnya kamu berhasil juga menjadi pusat perhatian, mengalahkan Rio."
Seperti yang kumau, tawanya sontak berhenti.
“Hebat, ternyata kamu masih punya nyali juga.”
“Cuma orang yang nggak punya nyali yang memilih cara-cara kotor supaya bisa mengalahkan pesaingnya.”
Yuda mendengus geram, membanting koran ke lantai dan bangkit berdiri dengan cepat hingga kursi yang didudukinya hampir terbalik.
“Aku jadi penasaran, apa kamu masih bisa mengoceh sembarangan kalau aku menyeretmu dari ranjang, menendangmu keluar dan menjadikanmu tontonan gratis di luar sana.”
Mendadak selimut yang menutupi tubuhku ditariknya dengan kasar dan ternyata… aku bugil! Rupanya dia berhasil juga membebaskan tubuhku dari libatan korset.
Aku tak sempat menjerit dan merebut selimut itu. Buru-buru kuambil bantal untuk menutupi tubuhku sembari beringsut mundur menjauhi sang tuan rumah yang mendekatiku dengan gaya mengancam. Aku tidak tahu mana yang lebih membuatku ngeri, wajahnya yang galak atau kedua tangannya yang mengepal atau penisnya yang setengah berdiri. Ya, dia tidak memakai celana dalam. Tak kupungkiri bila kurasakan sensasi tersendiri melihatnya setengah telanjang separuh terangsang seperti itu.
Sesaat kemudian aku merasa seperti terlibat dalam adegan film slow motion. Detik-detik ketika dia menghampiriku, merebut bantal dari pelukanku, menarik kakiku, membalikkan tubuhku dan memiting lenganku di belakang punggungku terasa berjalan begitu lambat padahal sangat cepat. Begitu cepatnya sampai-sampai aku tidak bereaksi sama sekali. Kadar alkohol yang tersisa dalam darahku mampu membuatku lumpuh tak berdaya, tapi sekaligus membuat lidahku lancar tak terkendali.
“Kalau kamu berani, sejak dulu kamu sudah maju menantang Rio dengan jantan. Nggak perlu menerornya dengan cara mengerjai perempuan kecil seperti aku.”
Ya ampun. Kamu sudah gila, ya? Sejak kapan kamu menyebut dirimu sendiri perempuan kecil?
Aku sendiri juga bingung, kenapa harus bicara nggak karuan di saat posisiku tergencet total begini.
“Dextrocardia.”
Aku terkesiap. Jantungku yang sedang berdebar kencang seperti berhenti sekejap. Selama ini hanya sedikit orang yang pernah mendengar kata asing itu. Dan hanya sebagian dari mereka yang mengerti artinya. Dan hanya segelintir dari sebagian orang itu yang tahu kaitannya denganku. Dari mana bocah kurang ajar ini tahu?
“Dextrocardia,” ujarnya lagi sembari memalingkan wajahku.
Sudah jelas dia ingin melihat reaksiku sekaligus memamerkan keangkuhan di wajahnya. Aku tetap diam walau kuyakin wajahku pucat pasi.
“Kamu ini makhluk langka. Kulihat di internet cuma 1 dari 12.000 manusia yang letak jantungnya di sebelah kanan. Apa posisinya benar-benar terbalik? Cuma jantung atau situs inversus totalis?”
Busyet! Dia juga tahu arti tiga kata latin terakhir itu yang menggambarkan kondisi di mana seluruh organ dalam tubuh terbalik letaknya. Tidak hanya jantung yang letaknya di sebelah kanan, tapi juga lambung. Usus buntu yang seharusnya di kanan jadi berada di sebelah kiri. Begitu pun dengan jeroan lainnya, semuanya bertukar tempat seperti cermin. Untuk kasusku hanya jantung beserta isinya yang posisinya terbalik.
“Dari mana kamu tahu…”
“Gara-gara kamu pingsan seperti orang mati saja. Saat memeriksa detak jantungmu, aku jadi tahu kalau posisi jantungmu nggak normal.”
Nggak normal… Apa sih yang normal dariku? By the way…
“Kenapa aku harus ditelanjangi sih?”
“Karena gaunmu penuh muntahan. Apa aku kurang baik, coba? Sudah menggendongmu sampai jasku juga ikut kena muntahan. Tapi ada untungnya juga kamu muntah, aku jadi bisa melarikan diri dari acara yang membosankan itu. Thanks, ya Sayang.”
Amit-amit.
“Hey, jangan diam saja dong. Apa di sini usus buntumu?” tanyanya sambil menekan perut bawah kiriku.
Aku menggeleng dengan susah payah karena kepalaku masih dipegangi dengan erat.
“Aku selalu berharap memiliki sesuatu yang berbeda dari orang biasa.”
Aku bisa mendengar nada iri dari kata-katanya. Bocah ini benar-benar kekanak-kanakan. Dia pikir aku memiliki kekuatan superhero karena letak jantungku salah?
“Apa efek sampingnya libidomu jadi begitu tinggi? Aku belum pernah main dengan cewek senafsu kamu.”
“Mana aku tahu?” semburku jengkel. “Memangnya ada berapa cewek yang sudah kamu perkosa?”
Dia tertawa.
“Apa gunanya kamu tahu berapa banyak cewek yang sudah kutiduri? Semuanya menikmati kok. Kamu juga begitu kan? Tapi sejauh ini nggak ada yang seliar kamu padahal umurmu paling tua. Nilaimu sembilan, Sayang. Pikir-pikir Rio memang goblok. Dina nggak akan bisa menandingi kehebatanmu di atas ranjang. Kakak tiri tersayangku itu bodinya memang lebih oke dari kamu, kakinya panjang dan payudaranya itu… aku sampai curiga jangan-jangan hasil operasi plastik. Tapi paling dia cuma bisa orgasme palsu.”
Bocah ini benar-benar sakit jiwa. Dia pikir aku ini apa? Dan bagaimana bisa dia mengatakan hal gila tentang kakak tirinya. Tapi ada satu hal penting yang terus mengganjal di benakku.
“Bagaimana kamu bisa tidur di kamar Rio waktu itu?”
“Akhirnya kamu tanya juga soal malam pertama kita di Puncak,” ujarnya senang sembari terkekeh geli. “Waktu pegangan pintu tiba-tiba berbunyi, sebenarnya aku kaget setengah mati. Buru-buru aku matikan senter dan bersembunyi. Tadinya aku mau masuk kolong, tapi itu malah akan mencurigakan. Jadi kupilih tidur di atas ranjang. Kalau misalnya si goblok itu yang datang, aku bisa bilang salah kamar. Eh, ternyata malah aku dapat durian runtuh. Bisa main gratis sepuasnya. Benar-benar malam yang nggak terlupakan. Seandainya waktu itu kamu nggak kabur, kita bisa main terus sampai pagi.”
“Berarti kamu memang punya niat jahat pada Rio!” seruku keras untuk meredam tawa puasnya yang menyebalkan.
“Eh, dia itu sudah merampas hakku, tahu! Seharusnya aku yang jadi Direktur Operasional bukan dia! Selain itu aku juga nggak yakin dengan kejujurannya. Aku nggak setolol kakakku yang sombong. Baru kenal enam bulan sudah mengajak menikah cowok mata duitan yang sok ganteng. Seperti nggak ada cowok yang lebih bagus dari si goblok itu. Sejak awal aku curiga kalau dia mengincar harta keluarga kami.”
“Lalu kenapa kamu nggak pakai kondom?”
Dahi Yuda mengernyit. Dia pasti bingung kenapa topik pembicaraanku mendadak melompat jauh. Aku sendiri juga bingung, tapi otakku sedang error dan aku belum bisa menguasai lidahku yang sepertinya memiliki kehendak bicara sendiri.
“Karena aku memang nggak suka memakainya. Lagipula semua cewek yang pernah kuajak main semuanya baik-baik. Kalau nggak perawan, paling cuma punya satu partner tetap. Aku sehat kok. Nggak percaya? Apa perlu kamu melihat hasil medical check-up ku yang terakhir? Baru dua bulan yang lalu. Bebas dari AIDS, Hepatitis C dan Sifilis.”
“Kalau ada yang sampai hamil?”
“Ya jangan ejakulasi di dalam dong. Lagian kan ada pil luruh. Aku yakin kamu selalu meminumnya tiap kali habis bercinta dengan si goblok itu.”
Pil luruh, salah satu produk andalan pabrik kami biarpun diedarkan terbatas. Gunanya untuk mencegah kehamilan dan harus diminum paling lambat 48 jam setelah hubungan badan. Resminya digunakan untuk korban perkosaan, tapi disalahgunakan menjadi obat anti hamil. Dia benar, aku memang selalu meminumnya tiap kali usai berhubungan badan dengan Rio saat masa subur. Haduh, sekarang ini masa suburku atau bukan ya?
“Tenang saja, aku punya stoknya kok,” tukasnya seperti bisa membaca pikiranku.
“Lalu kamu berharap aku tenang dan menikmati perkosaan in…ihhhh…”
Aku mengerang dan menggelinjang begitu dua jarinya mendadak mengobok-obok liang kemaluanku dan jempolnya menekan-nekan klitorisku dengan cepat.
“Perempuan kecil bernafsu besar,” ejeknya.
Nah, itu baru benar. Shit! Dia tertawa puas melihatku mengerang-erang dan menggelapar-gelepar bak cacing kepanasan. Jari-jarinya terus menggocek meski kelaminku sudah basah kuyup. Ditambah lagi bibirnya kembali menandai leherku dengan hujanan cupang hingga aku nyaris tersedak.
“Sudah… Please… Stop…”
“Yang benar saja, Sayang. Bukannya kamu belum puas kalau belum orgasme lima kali?” tanyanya sinis sambil menggigiti daun telingaku.
“Aku kebelet pipis. Jangan protes kalau aku ngompol,” jawabku disela engahan napas tak beraturan.
“Awas, kalau kamu berani ngompol di sini,” ancamnya sembari segera menarikku berdiri dan mendorongku berjalan ke kamar mandi dengan kasar.
Baru tiga langkah, terdengar dering bernada mendesak yang mengejutkan kami berdua. Yuda menyeretku kembali ke arah ranjang untuk mengambil Blackberry Bold yang tergeletak di atas meja, di samping tempat tidurnya. Wajahnya langsung cemberut dan gerutu tak jelas terdengar dari mulutnya.
“Kamu harus pergi sekarang juga,” tukasnya tiba-tiba. “Bisa pulang sendiri kan? Ini buat ongkos taksi. Ayo, cepat! Tunggu apa lagi?”
Anjrittt!! Kurang ajar!!! Memangnya aku ini perempuan panggilan, seenaknya diusir begitu saja! Kutepis beberapa lembar uang lima puluh ribu yang disodorkannya hingga jatuh berserakan. Setelah berpakaian secepat yang kubisa, aku menghambur keluar sampai lupa dengan rasa kebelet yang menekan kandung kemihku.
Dia tidak mengejarku dan sudah kuduga begitu. Dia memang bajingan bangsat sialan yang tidak punya rasa peduli sedikit pun padaku. Aku benci dia! Aku benci Rio! Aku benci diriku sendiri! Aku benci hidupku!
Sudah, jangan menangis, May. Buat apa menyesali yang sudah terjadi. Tarik napas dalam-dalam… Yang penting kamu sudah lepas dari cengkeraman brondong sialan itu.
Kurapikan wajah dan rambutku berantakan sebisaku dengan menggunakan pintu lift metalik yang mengkilap sebagai cermin. Oke, rambutku seperti sarang burung, wajahku pucat mengkilat, lipstickku sudah tidak tersisa, di sudut mata kiriku yang basah ada bulu mata palsu yang menggantung dan leherku dihiasi noda-noda merah tua tak beraturan. Gaunku kusut, dihiasi noda berwarna kuning di bagian depan yang baunya bisa mengundang serombongan lalat.
Ting! Pintu lift terbuka. Hanya seorang yang keluar dari dalam. Sepasang matanya menusuk mataku dengan tatapan setajam pisau, mengiris dingin hingga kudukku berdiri.
“Maya,” sapanya datar, seperti tanpa emosi.
“Pak Deddy,” sahutku sambil mengangguk hormat sebelum melompat ke dalam lift yang nyaris tertutup.
* * *
Dalam sebuah motivation training yang pernah kuikuti tahun lalu, kami diajari untuk selalu berpikiran positif dalam situasi apa pun. Kami harus bisa untuk tetap mengatakan ‘Bagus!’ biarpun kami tersandung, terjatuh dan terluka. Tapi sekarang aku tidak bisa bilang begitu. Aku tidak bisa mendapati satu hal bagus sekecil apa pun di saat tersungkur baik secara kiasan maupun harafiah.
Identitas asli biang kerok kekacauan hidupku memang sudah terbongkar. Foto-foto serta memory card berisi file gambar-gambar pose diriku yang tidak senonoh juga sudah diserahkan Yuda kepadaku, namun nasibku tidak beranjak membaik. Aku tidak tahu harus kuapakan koleksi fotoku yang tidak kalah mesum dari postingan gambar-gambar di situs-situs tujuh belas tahun keatas. Rasa malu bercampur marah, terhina dan terangsang bercampur jadi satu. Seharusnya aku menggunakannya sebagai bukti pelecehan seksual bahkan perkosaan ke polisi, tapi wajahku tidak terlihat di sana. Juga tidak ada ciri-ciri khas tubuhku seperti tahi lalat atau bekas luka yang membuktikan kalau foto payudara yang sedang diremas, puting payudara yang sedang digigit, bibir kemaluan yang dibenggangkan dua jari dan siap ditusuk penis itu bagian dari tubuhku. Ujung-ujungnya aku malah masturbasi tiap kali memandangi foto-foto itu. Aku ini benar-benar sakit…
Tiap malam tidurku tetap saja diganggu mimpi buruk. Aku telanjang sendirian di tengah keramaian dan tak ada seorang pun yang sudi mendekatiku seolah aku begitu najis. Kenyataannya kondisiku memang mengenaskan. Aku sudah hampir kehilangan seluruh milikku yang berharga, cinta dan karirku. Dan baru kusadari kalau aku tidak punya teman selain Rio. Aku benar-benar kesepian.
Sudah begitu Yuda sepertinya belum puas juga. Dia masih meneror kami dengan sindiran-sindiran sinis bernada ceria. Sering memanggilku dengan sebutan Sayang dalam berbagai kesempatan kecuali pada saat ayahandanya hadir, merebakkan isu sesat kalau kami sedang menjalin cinta. Cinta? Cuih!! Kadang dengan sengaja dia mengajakku kencan semalam di depan Rio! Aku tahu dia sengaja memancing reaksi kami berdua yang ternyata sama-sama dingin. Tapi Rio tidak bisa menyembunyikan kemasaman di wajahnya tiap kali sang adik ipar mendekat dengan wajah inosen.
Hubunganku dengan Rio ada pada titik beku. Di hari pertama dia masuk kerja sepulangnya dari honeymoon, kami bertengkar hebat. Dia marah sekali karena posisinya terancam oleh kemunculan tiba-tiba sang adik ipar yang mengetahui boroknya. Ditambah lagi karena aku mengadu kelamin dengan pesaing utamanya di atas ranjang pengantinnya. Dia bilang, Dina marah sekali melihat ranjang indah itu berantakan, akibatnya honeymoon mereka menjadi kacau karena mood mereka menjadi tidak karuan. Lucu. Dia pikir aku sedih kalau mereka ribut? Justru aku senang. Karena itu aku tidak mau lagi minta maaf padanya dan kukatakan kalau aku akan mengundurkan diri sesudah kampanye dua produk baru itu beres. Sejak itu kami saling menjaga jarak dan memasang topeng setebal mungkin tiap kali bersua, bertatap mata maupun bertegur sapa. Seakan sejarah panjang hubungan kami terhapus tanpa jejak meninggalkan jurang lebar dalam di antara kami berdua. Dan aku tidak ingin bunuh diri dengan terjun ke dalamnya.
Akhirnya kusadari kalau riwayat karirku habis sudah setelah Pak Deddy menjatuhkan ‘hukuman’ bagiku. Belum pernah dalam sejarah PT. Banyu Biru, seorang VP Sales & Marketing harus mengikuti kampanye produk baru non stop di lapangan tanpa mendapat fasilitas lebih. Tadinya aku tidak begitu peduli karena kupikir ini adalah pekerjaan terakhir sebelum aku pergi sekaligus kesempatan untuk menyingkir dari hadapan dua lelaki yang sudah membuat hidupku kacau. Namun desas-desus yang ngaco-belo itu rupanya sudah menyebar ke seluruh cabang, membuatku capek harus berkali-kali menjelaskan pada para kolega dan partner bisnis kalau aku bukan kekasih baru sang pewaris perusahaan.
Kini aku terlunta-lunta sendirian di sebuah hotel bintang tiga di Surabaya. Bukannya tim kampanye sengaja meninggalkanku, tapi memang aku yang dengan sukarela minta ditinggal. Setelah tiga kali delay, pesawat yang seharusnya kami tumpangi 14 jam yang lalu akhirnya menyerah pada kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki dalam waktu singkat. Semua penumpang baik yang pasrah maupun yang sempat mengamuk dibagi dalam beberapa rombongan untuk diangkut beberapa penerbangan maskapai tersebut ke Jakarta. Aku memilih giliran terakhir, besok pagi. Aku butuh waktu sendirian untuk memikirkan masa depanku.
Sesungguhnya aku tidak ingin pulang. Bukan karena tempat ini begitu mempesona hingga membuatku terbius, tapi karena aku ingin bersembunyi di sini. Di Jakarta hanya ada seseorang yang menungguku pulang. Dia Atik, pembantuku yang genit yang bisa jadi sedang mengajak pacarnya berasyik-masyuk di dalam kamar tidurku.
Fokus, May. Apa yang akan kamu lakukan? Mau mengirim lamaran kerja ke mana saja?
Keluh panjang keluar dari mulutku, membuat layar laptopku berembun. Sudah hampir satu jam aku duduk bengong karena otakku begitu keruh. Padahal aku sudah dua kali masturbasi. Mungkin harus tiga kali baru manjur.
Baru saja kucopot celana dalam, pintu kamarku diketuk. Huh! Mengganggu saja! Siapa sih yang mencariku? Apa Retno ketinggalan handphone-nya lagi? Aku tertegun begitu melihat siapa yang datang dari lubang intip. Astaga! Apa aku tidak salah lihat?
“Yakuza. Kita harus bicara. Please. Biarkan aku masuk.”
Damn! Baru sebulan tidak berjumpa, dia makin ganteng saja. Oke, kurasa tidak ada salahnya mengijinkan Rio masuk mumpung aku sedang ingin dipuaskan.
Memangnya dia masih mau memuaskanmu?
Iya juga sih. Tapi apa aku harus menyetrapnya di luar supaya dia tahu bagaimana rasanya disia-siakan? Nanti malah menarik perhatian orang. Omong-omong, bagaimana dia tahu kalau aku terdampar di sini? Oh, rupanya dia langsung menjelaskan. Jadi anak-anak yang melapor padanya. Lalu dia kemari karena ingin menjadi pahlawan?
“Kenapa lama sekali sih membukakan pintu? Aneh, seharusnya aku yang lebih marah darimu, tapi malah kamu yang ngambek.”
“Jadi aku nggak boleh marah? Pulang sana! Nanti istrimu mar…”
“Pentilmu kok nongol padahal kamu pakai BH. Celana pendekmu juga miring sebelah. Kamu pasti lagi horny berat. Baru mau masturbasi? Yang keberapa kali?”
Kupingku langsung terasa panas, mukaku pasti memerah dalam sekejap. Sialan, dia benar-benar mengenalku. Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah memelukku, melumat bibirku dengan penuh gairah hingga aku terengah. Amarahku menyurut dengan cepat digantikan libido. Seperti biasa kami saling meraba, meremas sementar bibir dan lidah kami saling melibat dengan seru. Mendadak dia melepaskanku, memandangiku lalu…
“Eh, kamu mau apa!” seruku kaget ketika tubuhku tiba-tiba digendongnya.
Dia tidak menjawab melainkan terus melangkah ke arah ranjang dengan langkah lebar. Dibaringkannya aku di sana dan dilucutinya pakaianku satu-persatu. Mulanya kaus poloku ditarik melewati kepala, disusul BH berenda warna krem yang menutupi dadaku. Tangannya yang hangat meremas pelan kedua payudaraku sebelum mengemutnya dengan gemas, membuatku mengerang pelan. Dia membuka kemejanya sebelum melolosi celana pendek dan celana dalamku.
Sengaja kukangkangkan kakiku untuk menggodanya. Dan dia menyambutnya dengan menjilati selangkanganku sembari mencopot celana jeans dan celana dalamnya.
“Nghhh… Terus…. Lagi…”
Desahan nikmat terus meluncur dari mulutku tanpa henti. Kedua tangannya memegangi kedua pahaku dengan mantap sehingga gelinjang tubuhku tidak membuat lepas tautan lidahnya yang mengeksplorasi area alat vitalku dengan intens. Ketika klimaks itu datang, kedua tanganku mencengkeram seprai menahan liukan liar tubuhku diiringi jeritan keras.
Rio menaikiku, mencium bibirku, membuatku ikut merasakan gurihnya cairan produksi vaginaku sendiri. Penisnya yang mengeras menekan pahaku. Kali ini dia tidak terburu-buru menggarapku. Dia terus menelusuri wajahku dengan bibirnya sementara kedua tangannya menjelajah, meremas dan memeluk tubuhku.
“I miss you, Yakuza.”
Bisikan itu terdengar begitu sungguh-sungguh, membuatku tidak bisa untuk tidak membalasnya.
“Ohhh… Rio…”
Ada kelegaan yang amat sangat saat batang keras itu akhirnya menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku. Ragaku sampai menggeletar oleh orgasme kecil. Pejantanku sepertinya ikut merasakan apa yang kurasakan. Dia tersenyum dan menyibakkan rambut yang menutupi mataku. Dia meneruskan menggoyang tubuhku sambil terus memandangi wajahku yang ekspresif. Sesekali dia menunduk untuk mengulum bibirku yang terbuka, membungkam erangan, desahan dan jeritan yang keluar.
Kurengkuh dan kupeluk lehernya menyambut orgasme kedua yang hampir tiba. Aku ingin dia mendengar erangan penuh kepuasan tepat di telinganya. Kuserbu kemaluannya dengan pijatan-pijatan ritmis dan tak lama kemudian lenguhan kami bersahutan. Pelukanku terlepas dan aku tergeletak kembali di ranjang dengan dada naik-turun. Rio menyempatkan diri mengenyot kedua payudaraku sebelum mengangkat kedua kakiku dan menyampirkan ke pundaknya.
“Aaahhh…”
Aku mulai menyuarakkan desahan-desahan sensual tanpa rekayasa karena penisnya dengan telak menggesek-gesek G-spot ku. Kedua tanganku memegangi lengannya dengan erat. Sesekali kutahan tubuhku agar gesekan itu makin terasa dalam, menyundul bibir rahimku. Membuat liang sanggamaku makin becek, memperdengarkan bunyi kecipak yang teratur.
Puncak kenikmatan yang ketiga belum kuraih ketika Rio menyodokkan senjatanya dalam-dalam diikuti lenguhan keras. Tidak masalah bagiku, toh aku sudah menikmatinya dua kali sebelumnya. Kehangatan pelukan dan kelembutan belaian tangannya terasa lebih berarti bagiku.
“Rio… kenapa sih kam…mmmph…”
“Tadi kamu belum sampai klimaks kan?”
Bisikannya membuat telingaku panas, sepanas tubuhku yang kembali digerayanginya. Di saat satu tangannya meremas payudaraku, yang lainnya mengobok-obok kemaluanku yang kuyup. Melihatku mulai menggeliat-geliat liar, kocokan tangannya makin menggila. Ketika kepuasan yang tertunda itu akhirnya kucapai, dia tampak jauh lebih puas daripadaku.
Kemudian kami kembali berbaring bersebelahan dalam diam. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar seakan sarang laba-laba di sudut plafon gipsum itu begitu menarik perhatiannya.
“Pulanglah. Aku akan baik-baik saja,” ujarku pelan.
Dia menoleh, tersenyum lalu mengacak-acak rambutku. Diraihnya kelingking kananku yang buntung lalu dikecupnya pelan. Hatiku yang mengembang langsung kempes begitu melihat cincin kawinnya melingkar rapi di jari manis kanannya. Ingin kutanyakan soal Dina, tapi aku tidak ingin merusak suasana romantis ini. Aku ingin momen ini bisa bertahan lebih lama, kalau bisa untuk selamanya. Rasanya dunia hanya milik kami berdua.
Semalaman dia menemaniku telanjang, mengerang dan menggelinjang di atas ranjang, merayakan perdamaian kami. Aku tidak jadi mengundurkan diri, kami berdua akan bahu-membahu menghadapi sepak terjang Yuda dan meneruskan kebiasaan mencuri-curi kesempatan demi kenikmatan yang menegangkan.
Ya, aku tahu, hatiku terlalu lemah, terlalu cepat menyerah pada cinta yang membius, nostalgia yang melenakan dan nafsu membara yang memabukkan sehingga pengoyak hatiku mendapat pengampunan tulus tanpa adanya kata minta maaf yang terucap. Mestinya aku tidak begitu lembek, mau saja menjadi orang ketiga tanpa menuntut hak lebih apalagi ultimatum. Bohong kalau kubilang tidak ingin mendepak Dina pergi dan menggantikan posisinya sebagai pendamping resmi Rio. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Bukan, bukan tidak bisa, tapi aku tidak berani…
* * *
“Sorry. Sampai di mana ya obrolan kita tadi?”
Aku tersenyum pasrah memandangi Blackberry Bold milik penghuni hatiku yang baru saja diletakkannya di samping piring kecil berisi sepotong cheese cake. Sudah menjadi hal yang biasa bagiku untuk diinterupsi oleh obrolan mesra antara dia dan istrinya.
“It’s okay. Kalau kamu harus pulang, aku bisa mengerti kok.”
“Nggak perlu. Dina sedang shopping dengan teman-temannya.”
“Perlengkapan bayi, ya?”
Rio mengangkat bahu dengan sikap acuh tak acuh. Bila kami sedang berduaan, dia selalu berusaha tampak cuek atas kehamilan istrinya karena takut membuatku sedih. Aku masih ingat bagaimana dia menyampaikan kabar gembira tersebut beberapa minggu yang lalu. Kalimat-kalimat yang sudah disusunnya dengan rapi itu terucap dengan perlahan dan penuh kehati-hatian. Sedihkah aku? Sudah pasti, tapi aku lebih terenyuh melihat kegembiraan yang dengan susah payah dipendamnya.
“Yakuza.”
Aku mendongak. Sepasang mata cokelat tua yang indah itu menatapku hangat. Tangannya mampir di kepalaku, mengacaukan rambutku tanpa alasan jelas. Aku tertawa kecil. Tanganku meraih kepalanya berusaha membalas dendam, tapi dengan tangkas ditangkapnya. Dielusnya kelingkingku yang tidak utuh itu dengan lembut.
“Jadi seperti ini yang namanya kick-off meeting??”
Kami tersentak dan menatap sumber suara dengan nanar. Oh.. my… God!! Dina berdiri di depan meja kami. Dia tidak sendirian. Tiga-empat temannya yang semuanya mirip Barbie berdiri di belakangnya. Seperti mendengar aba-aba, pada saat yang sama dengan kompak aku dan Rio langsung beringsut menjauh dan menarik kedua tangan yang tadinya saling menggenggam.
“Ternyata anak pembantu itu nggak bohong. Brengsek kamu, Rio!”
Anak pembantu. Wajah Yuda langsung melintas di benakku disusul percakapan kami dua minggu yang lampau.
“Ternyata kamu jauh lebih goblok dari dia.”
“Semua orang goblok karena memang nggak ada semahapintar kamu, Yud.”
“Aneh, cewek pemberani seperti kamu kok beraninya main petak umpet. Apa cuma nafsumu yang besar, Sayang? Apa ya yang akan Dina lakukan kalau dia sampai tahu pesaingnya ternyata hanya seorang perempuan kecil bernyali dan bertetek kecil.”
“Wah, selamat ya. Ternyata kamu sudah berhasil mengajak bicara kakakmu. Apa dia sudah berhenti memanggilmu anak pembantu?”
Saking murkanya, dia sampai tidak bisa mengatakan apa-apa. Wajahnya yang pucat dan matanya yang menyala-nyala membuatku takut. Aku tahu, seharusnya aku tidak membuatnya marah, tapi dia yang memulainya lebih dulu. Dan sekarang apa yang harus kulakukan?
“Bitch!”
Aku hanya diam terpaku, pasrah menerima siraman ice lemon tea yang dingin dan lengket. Potongan es batu hampir mencolok mataku. Lalu ada yang menjambak rambutku, menempelengku. Rio mencoba menyelamatkanku dengan menahan amukan istrinya yang jelita, tapi jumlah mereka lebih banyak.
“Pergi, May. Cepat.”
Tanpa disuruh dua kali aku berlari terbirit-birit. Nyaris terjerembab karena tersandung kaki meja lalu menabrak kerumunan waiter yang berkumpul di dekat pintu keluar café yang sepi ini. Aku baru sadar, tasku masih berada di dalam.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
941