05. Cinta Tak Pernah Salah


Tak mudah mempertahankan topeng di wajahku. Selain menipis dan makin meriah dengan hiasan retakan di sana-sini, ujungnya pun gumpil. Seharusnya sejak dulu aku menambalnya, tapi kini sudah terlambat. Aku tidak tahu berapa lama lagi topengku mampu bertahan membentengi gelombang emosi yang terus menerjang liar dari dalam hatiku.

Namun ternyata melepas topeng reot itu jauh lebih sulit. Saking begitu terbiasa berlindung di baliknya, aku tak rela melepaskannya. Tanpanya aku seperti mangsa empuk bagi para penghujatku yang mirip kawanan burung pemakan bangkai. Mereka terus mengerumuni dan menyerangku dengan membabi-buta. Tapi mereka tidak akan pernah melihatku jatuh terpuruk. Sampai kapan pun aku tetap mampu menegakkan kepalaku dengan tenang dan terhormat.

Terhormat? Ya ampun, apa kamu buta, May? Apa kamu tidak melihat wall facebook-mu yang penuh dengan caci maki? Pura-pura tidak melihat e-mail yang secara ‘tidak sengaja’ mendarat di inbox e-mail kantormu yang isinya membuatmu tidak jauh beda dari babysitter penyiksa anak majikan atau maling yang menyamar sebagai pembantu? Berkat internet, fotocopy KTP-mu sudah beredar ke seluruh penjuru negeri bahkan mungkin sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia lengkap dengan testimoni penuh kemarahan mengenai kelakuanmu yang ingin merebut suami dari pelukan seorang istri yang sedang hamil muda. Belum lagi kasak-kusuk seisi kantor kalau kamu adalah perempuan gatal yang main gila dengan kakak sekaligus adik ipar pada saat yang sama.

Ya, ya, kamu nggak perlu mengingatkanku. Memang aku sendiri yang mengancurkan reputasiku. Puas?

Bukan soal puas atau nggak, bagaimana pun aku bagian dari dirimu. Kamu pikir aku suka melihatmu jatuh? Tapi aku lebih takut melihatmu seperti zombie. Bagaimana kamu bisa tetap diam melihat semua kekacauan ini?

Jadi kamu ingin aku terus menangisi kepergian Rio? Kamu ingin aku memaksanya memilih antara diriku atau istrinya yang sedang hamil itu?Dia kan juga terpojok.

Bukan soal itu, bodoh! Heran, kamu masih juga bisa membelanya. Pikirkan dirimu sendiri dong. Bagaimana dengan rumahmu yang sudah hancur itu??

Nggak usah diingatkan, aku juga masih bisa mengingat dengan jelas rupa rumah yang kubeli dari hasil jerih payahku sendiri. Pagarnya penyok, semua kaca jendela pecah, pintu depan lepas dari engselnya dan lantai dua hangus tak tersisa. Semua barang elektronik dan piring mangkok pecah berantakan setelah dilempar begitu saja ke tengah jalan. Kamu pikir aku nggak sedih? Sedih setengah mati, tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Percuma menangis dan marah, toh tidak akan memperbaiki keadaan. Lagipula tadi Pak Benny terus di sampingku.

Apa urusannya sama dia? Bukannya dia baik, sudah mau mengantarmu pulang dan membantumu membereskan urusan dengan polisi, pemadam kebakaran dan warga sekitar?

Ah, dia kan hanya pura-pura baik. Bisa jadi karena terpaksa. Kalau nggak gara-gara telepon dari Atik masuk pada saat aku sedang berada di ruangannya mungkin dia nggak akan ikut repot begini. Bullshit! Buat apa exit interview itu kalau aku dipecat dengan tidak hormat. Dia pasti salah satu dari mereka yang menunggu saat-saat aku jatuh. Buktinya dia memanggil brondong sialan itu.

Kamu terlalu paranoid, tapi benar juga, bisa jadi HRD director itu terpaksa ikut campur dan memanggil brondong sialan itu karena pembantumu menyebut-nyebut nama Rio dengan histeris di depan polisi. Dia pasti ingin melindungi keluarga majikannya yang brengsek. Tapi bagaimana dengan dirimu? Kamu sudah nggak punya apa-apa lagi, May. Sudah kehilangan Rio, dipermalukan di depan umum, dipecat, rumah hancur, boleh dibilang hartamu tinggal yang menempel di badanmu. Wajar kalau kamu menangis dan kamu memang harus menangis. Sudah terlalu lama kamu memendam kesedihan. Kalau kamu terus diam membatu begini lama-lama bisa gila.

Tapi aku nggak bisa membiarkan semua orang apalagi brondong sialan itu tahu kalau aku lemah…

Kalau begitu kenapa kamu menurut saja waktu dibawa ke apartemennya?

Karena aku nggak tahu harus ke mana lagi. Keluargaku cuma Rio, temanku juga cuma dia. Kalau saja dia datang... Biasanya dia datang menghibur dan mengurusiku di saat aku tertimpa musibah. Apa dia nggak tahu kalau istrinya sudah membayar sepasukan preman untuk menghancurkan rumahku? Atau mereka sengaja menahannya supaya tidak datang membantuku?

Entahlah. Mungkin dia sudah nggak mau tahu lagi…

Apa benar dia sudah melupakanku ?

“Hey! Apa kamu mau terus diam kayak patung begitu, Sayang? Mau sampai kapan berdiri bengong begitu, hah? Bego banget, cuma gara-gara cowok goblok begitu kok bisa jadi linglung begini. Sialan juga si Benny. Kenapa harus aku yang mengurusimu? Mentang-mentang dia sudah punya anak-istri terus aku yang jadi korban. Memangnya aku nggak punya kehidupan? Apa aku mirip babysitter?”

Brondong sialan itu sama sekali tidak punya rasa simpati pada penderitaanku. Ejekan dan gerutuan silih berganti keluar dari mulutnya diiringi tudingan-tudingan ke wajahku.

“Makanya sadar diri. Kamu bukan tandingan Dina. Jauuuh, Sayang.”

Hhhh! Belaian tangannya di wajahku membuatku jijik namun aku tetap membeku. Melihatku tidak bereaksi, tangannya makin bebas menjelajahi tubuhku.

“Dina juga sama gobloknya. Dia pikir dia itu siapa,” suaranya memelan seiring gerakan tangannya yang menyibakkan blusku setelah semua kancingnya dibuka, “main serbu rumah orang kayak pasukan buru sergap saja padahal kamu kan bukan teroris. Apa kata Papa nanti, ya. Hmm… kelihatannya kamu sama sekali nggak keberatan, Sayang. Tumben kamu jadi penurut begini, pasti kamu menikmatinya.”

Tangannya menyibak rok miniku dengan mudah dan aku merasakan kehangatan telapak tangannya mengusap-usap area paha dalamku. Seharusnya aku marah dan aku memang marah, tapi kemarahanku terasa samar. Bukan teredam oleh nafsu, tapi karena rangsangan seks yang ditawarkannya terasa antara ada dan tiada meski aku dengan jelas merasakan sentuhan jari-jarinya yang sudah menyelinap masuk ke dalam celana dalamku.

Aku seperti terhipnotis, hanya bisa menonton tubuhku digerayangi brondong sialan itu tanpa daya. Dan Yuda tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Diperlakukannya tubuhku seperti mainan. Tak hanya meraba dan meremasi, dia juga menyentil, mencubiti, menciumi, menjilati dan menggigiti seluruh bagian tubuhku sambil terus memandangiku menunggu reaksi yang sayangnya tak juga muncul.

Ayo, sadar dong, May! Jangan diam saja! Dia sudah hampir menelanjangimu! Tinggal BH yang cupnya sudah separuh terbuka dan celana dalam yang sudah tersingkap yang menempel di badanmu!

Aku juga tahu, tapi aku seperti tidak bisa bergerak. Apa dia sudah meracuniku, tapi sejak tadi kan aku belum makan dan minum apa-apa. Payah, kenapa otakku sama sekali nggak mau menuruti perintahku?

Brondong kurang ajar itu kini berlutut di hadapanku. Satu tangannya memerah payudara kananku sementara tangan lainnya mengucek-ngucek dan mencolok-colok kelaminku. Mulutnya sibuk melumat payudara kiriku dengan puas. Pentil kiriku sudah mengkilat dilumasi ludahnya dan mengeras karena gigitannya. Bunyi kecipak terdengar jelas dari selangkanganku.

Perbuatannya mengingatkanku pada bayangan seraut wajah yang sudah lama kulupakan. Gawat, kenangan akan sesosok manusia tanpa hati yang sudah membuat masa kecilku jauh dari bahagia itu kini kembali muncul. Selama ini kupikir aku sudah berhasil menyingkirkannya, ternyata dia masih bersembunyi di salah satu sudut paling gelap ruang penyimpanan memori dalam otakku.

Mendadak aku jadi takut setengah mati. Bukan hanya oleh kilas balik masa silam yang makin menyesakkan dadaku, namun juga desir yang merindingkan bulu-bulu halus karena rangsang seksual yang biasanya kurasakan kini hilang. Bukannya aku ingin menikmati perbuatan laknat brondong sialan ini, tapi ada apa denganku? Bagaimana bisa aku mati rasa? Apa syarafku mulai lumpuh?

“Kamu jadi mirip sex doll, Sayang,” tukasnya sambil menggotong tubuhku dan merebahkannya ke atas sofa. “Sebenarnya aku lebih suka main dengan manusia normal, tapi daripada nggak ada ya yang begini juga lumayan. Terima kasih, Pak Benny, kamu sungguh baik hati.”

Seringai yang menghiasi wajah boyish-nya membuatku makin marah, namun amarah tak juga meledak, seperti menguap begitu saja. Kenapa Pak Benny menyerahkanku pada bocah brengsek ini? Apa dia sengaja menjadikanku budak seks anak majikannya?

“Nggak nyangka cuma gara-gara kubilang si goblok itu ikut meeting serah-terima pekerjaanmu, kakakku tercinta langsung ngamuk dan membuatmu jadi gila begini.”

KRAK!

Topengku sepertinya patah jadi dua. Pada saat yang sama sekujur tubuhku bergetar keras. Tiba-tiba saja belenggu yang membekapku terlepas dan aku bebas!

“Anjrittt!! Jadi semuanya gara-gara kamu! Gara-gara kamu, rumahku jadi rusak!! Sialan!! bangs*t!! Sekarang aku harus tinggal di mana?? Pergi!! Jangan sentuh aku!! Aku benci kamu! Aku benci kamuuu!!”

Kubiarkan diriku mengamuk sepuasnya. Kulempari dan kupukuli sang tuan rumah dengan barang yang ada di dekatku. Dia juga kutendangi habis-habisan. Suaraku sampai serak, mataku berair dan dadaku terasa panas. Aku pasti mirip orang gila beneran, tapi aku sangat menikmati pelampiasan emosi ini, sayangnya Yuda tidak menerima amukanku begitu saja. Dia berusaha melawanku, menangkap tanganku dan memitingku. Kurang ajar! Dia berhasil memojokkanku, tapi aku tidak tinggal diam dan akan tetap mela…

PLAK!!

Bumi terasa bergoyang keras. Rasa panas yang menyengat di pipi kananku menyebar cepat ke seluruh wajah seiring denging keras yang menggema di telinga kananku. Pandanganku sempat memburam sebelum kembali melihat wajah galak yang bertengger persis di atas mataku.

“Dasar cewek gila! Masih berani memukuliku lagi?”

Aku mendelik marah. Seribu kata makian siap kuberondongkan keluar namun bibirku bergetar dan yang keluar malah isak tangis yang disusul sedu-sedan penuh ratapan. Dadaku sampai sakit karena sulit bernapas akibat sesenggukan dengan keras. Benar-benar memalukan. Apa yang terjadi jauh lebih parah daripada yang kutakutkan. Sudah kuduga kalau aku tak bisa mengendalikan ledakan emosi yang kupendam sekian lama. Yang kusesali kenapa harus disaksikan musuh bebuyutanku.

* * *


“Kamu mau kabur ke mana, Sayang?”

Sialan. Kenapa dia tiba-tiba muncul. Bukankah aku tadi sudah berhasil menguncinya di dalam kamar mandi?

“Itu bukan urusanmu!”

Dia hanya tertawa melihatku membuka pintu apartemen dan berlari keluar. Padahal aku sendiri tidak tahu harus pergi ke mana dulu. Pulang ke sisa rumahku atau melapor ke polisi atas berbagai perbuatan tidak menyenangkan yang kuterima dari keluarga Munaji atau pergi ke bank mengurus tabungan, deposito juga kunci safe deposit box atau menghubungi Rio. Yang penting aku harus pergi dari sarang brondong sialan ini.

Sambil berpikir aku terus berlari hingga akhirnya aku tiba di pelataran parkir. Tiba-tiba kusadari aku menjadi tontonan orang banyak. Mereka semua memandangiku dengan sinis bercampur jijik. Apa yang salah pada diriku? Aku tidak telanjang meski pakaianku kusut. Apa ada tulisan besar di jidatku yang menyatakan aku perebut suami orang?

“Dasar perek!”

Aku terkesiap. Dina ada di sini! Ya, itu dia bersama gang Barbie-nya. Sepertinya dia membawa sepasukan preman, pasti gerombolan sama yang sudah menyerbu rumahku. Aduh! Aku harus lari ke mana?

Mereka semakin rapat mengepungku. Ditengah seruan makian kotor, aku masih bisa mendengar tawa Yuda. Dia masih di atas, menontonku dari balkon sambil melambai-lambaikan tangan dengan ceria sembari membuat gerakan kiss-bye.

“Sudah kubilang kalau kamu nggak akan akan bisa lari dariku.”

Rasanya aku kena serangan jantung seketika. Jantungku seperti berhenti berdetak, dadaku sesak karena aku tak bisa bernapas dan keringat dingin langsung membanjiri tubuhku. Suara itu… Tidak mungkin… Bagaimana dia juga bisa berada di sini? Apa Dina sudah berhasil mengetahui rahasia gelapku? Tapi dia tahu dari mana? Rio?

“Maya.”

Sumber suara itu berada tepat di belakangku. Rasa penasaran mampu mengalahkan rasa takut juga rasa sedih karena kecurigaanku atas pengkhianatan Rio. Dengan perlahan aku menoleh ke belakang. Jantungku kini berdetak cepat dan terus menggila hingga rasanya pembuluh darah di organ vitalku nyaris pecah. Wajah itu… Bagaimana mungkin dia tidak berubah setelah sekian tahun lamanya?

“Kali ini pahlawanmu nggak bisa menolongmu lagi,” ejeknya setelah tanpa sadar aku memanggil nama Rio dengan penuh keputusasaan.

Tawa seraknya menggetarkan nyaliku, membuat sekujur tubuhku gemetar ketakutan. Sementara itu mereka terus maju dan meringkusku dengan mudah meski aku terus meronta dan menjerit-jerit minta tolong. Lelaki tua itu terkekeh senang melihatku makin panik setelah kedua tanganku dijulurkan dengan paksa ke arahnya. Dia mirip Pak Guru SD yang memeriksa kebersihan kuku muridnya. Hanya saja bukan penggaris kayu panjang yang menjadi senjatanya, tapi parang.

Aku menjerit sekeras mungkin saat parang itu terayun. Aneh, tubuhku ikut terayun bahkan dengan keras, lebih mirip guncangan. Gempa? Sinar matahari terik memudar dan perlahan wajah-wajah beringas itu lenyap digantikan wajah seseorang di tengah keremangan.

“Bisa nggak sih aku tidur tenang di apartemenku sendiri?”

Gerutu ketus itu menyadarkanku.

“Dari tadi teriak-teriak memanggil nama si goblok itu. Dia nggak bakalan berani datang kemari, Sayang! Dia terlalu takut sama bini dan mertuanya! Sadar diri dong! Jangan ganggu aku lagi atau aku tendang kamu keluar dari sini. Dengar ya, aku nggak boleh bangun kesiangan karena ada meeting dengan Bank Mandiri jam 10. Kalau saja aku punya obat tidur...”

Di tengah omelannya, aku memeriksa kesepuluh jari tanganku yang gemetar. Semuanya utuh kecuali kelingking kananku yang buntung satu ruas. Ketika cerocos kesal tetangga seranjangku usai, aku masih duduk termenung. Mencoba berpikir apa yang sudah terjadi dan apa yang harus kulakukan. Tapi otakku beku, aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa berbaring di sini dengan tubuh berbalut pakaian dalam saja.

Oh, pasti aku tertidur setelah kelelahan menangis, tapi rasanya mimpi buruk itu tidak sekali menyerangku. Omelan tadi terasa seperti déjà vu. Ya, sebelumnya aku juga sudah mengigau di sofa, membuat Yuda marah karena harus turun dari ranjang untuk membangunkanku, kemudian memaksaku pindah ke sini supaya lebih mudah menyadarkanku.

Kupandangi sesosok tubuh yang berbaring memunggungiku. Dengkur halus yang disuarakannya membuatku iri. Mengapa dia bisa tidur nyenyak sedangkan aku harus tersiksa dengan mimpi buruk? Benar-benar tidak adil! Brondong sialan ini kan bukan orang baik. Dia sudah sering menyakitiku, tapi tetap saja nasibku lebih sial darinya. Padahal aku orang baik. Aku tidak pernah menyakiti hati siapa pun.

Apa merebut suami orang itu perbuatan baik?

Shit!!

Dengan kesal aku melompat dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Kubasuh wajah dan tengkukku. Rasa kesal mereda digantikan rasa nelangsa setelah melihat betapa menyedihkan wajahku yang pucat. Mataku sembab dan pipi kananku sedikit bengkak.

Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak juga bisa berpikir dengan jernih. Aku butuh istirahat agar punya energi untuk berpikir, tapi tiap kali tertidur mimpi buruk langsung menyergapku. Bagaimana caranya supaya bisa tidur lelap tanpa obat tidur? Orgasme? Masa aku harus masturbasi?

Yang benar saja! Ini kan kediaman brondong sialan itu!

Tapi dia kan sedang tidur, lagipula aku melakukannya di sini.

Tanpa memedulikan protes di kepalaku, aku memelorotkan celana pendek dan celana dalam pinjaman Yuda kemudian duduk di kloset dengan kaki mekangkang lebar. Kedua tanganku menjamah dan menggosok kelaminku dengan lembut. Aku bisa melihat semua gerakan tubuhku dengan jelas karena persis di hadapanku terpasang sebuah cermin. Aku tidak tahu mengapa masih harus ada cermin lagi setelah ada cermin besar di atas wastafel, belum lagi dipasang di daun pintu persis menghadap kloset. Apa bagusnya memandangi tubuh sendiri yang sedang nongkrong buang air?

Kamar mandi ini lumayan luas namun lantainya agak licin sepertinya sudah lama tidak dibersihkan. Tidak seperti kamar mandiku. Biarpun genit, Atik rajin bekerja. Dia mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik tanpa harus disuruh. Kasihan, pasti tadi dia takut setengah mati. Pak Benny sepertinya tadi bilang pembantuku itu terluka kena pecahan kaca. Sekarang dia sedang apa, ya? Siapa yang menampungnya? Mendadak aku jadi kangen pada rumahku. Dan air mata kembali menggenang di pelupuk mataku.

“Aku pikir kamu minggat.”

Aku tersentak. Sialan, aku tadi pasti lupa mengunci pintu kamar mandi. Entah sejak kapan brondong sialan ini berdiri di depanku. Tubuhnya yang menjulang menutupi bayangan tubuhku di cermin.

“Sakit perut atau mencoba masturbasi biar bisa tidur?”

Dengan santai dia duduk di lantai beralaskan keset handuk sambil bersandar pintu shower. Pandangannya tertuju pada selangkanganku. Seharusnya aku kembali memakai celana dalamku, tapi buat apa. Toh dia sudah sering melihatnya.

“Nggak usah repot-repot menendangku keluar. Aku sendiri yang mau pergi dari sini,” ujarku segagah mungkin.

“Jangan ngambek begitu dong, Sayang. Aku tadi sengaja memancing emosimu karena Benny bilang kalau kamu diam saja nanti bisa keterusan jadi gila. Jadi kalau kamu mau marah ya marahlah sama dia.”

“Apa dia dengan terang-terangan menyuruhmu memerkosaku lagi?”

Yuda tertawa geli.

“Sudahlah, Sayang. Kamu kan tahu aku dengan senang hati bisa membantumu mencapai orgasme.”

“Jangan panggil aku Sayang. Aku benci mendengarnya.”

“Oke, tapi berarti kamu butuh bantuanku kan?”

Aku terdiam memandangi tangannya yang mengelus-elus dengkul dan paha dalamku. Usapannya membuatku terangsang. Haruskah aku menjawab ‘Ya’?

“Tapi kamu harus cerita dulu apa mimpi burukmu. Selain nama si goblok itu, kamu juga memanggil-manggil Opa? Apa dia Opamu? Masih hidup?”

Kuhembuskan napas panjang untuk meredakan rasa takut yang tiba-tiba menggidikkan.

“Dia… dia orang jahat. Sama seperti kamu.”

“Sembarangan. Apa aku masih kurang baik sudah menampungmu di sini?”

“Dia juga menampungku sekaligus menggerayangiku.”

“Cuma menggerayangi?”

“Nggak juga. Dia impoten, tapi dia orang yang pertama mengajariku oral sex. Dia juga yang memerawaniku.”

Aneh juga, semakin lancar aku membocorkan rahasia kelamku, semakin tipis rasa takutku.

“Lho, katamu dia impoten.”

“Pakai jari juga bisa kan? Dia juga yang membuntungi kelingkingku.”

Yuda terdiam. Matanya terpaku pada kelingking malangku.

“Dia membenciku sejak sebelum aku lahir. Aku ini satu-satunya keturunannya, tapi di matanya aku ini pembawa sial. Gara-gara mengandung diriku, kuliah mama berantakan. Dan gara-gara melahirkanku, mamaku meninggal. Padahal mamaku adalah anak tunggalnya.”

“Omamu? Papamu?”

“Omaku lumpuh, kerjanya hanya berbaring di tempat tidur. Sedangkan papaku…,” aku mendengus sejenak sebelum melanjutkan, “Aku belum pernah bertemu dengannya. Dia terpaksa menikahi mamaku agar aku tidak jadi anak haram lalu menghilang begitu saja. Apa nasibku lebih baik daripada jadi anak haram? Buktinya nasibmu jauh lebih bagus.”

“Itu kan tergantung siapa bapaknya. Kamu saja yang sial kebetulan dapat bapak yang nggak punya tanggungjawab. Lalu kenapa dia membuntungi kelingkingmu?”

“Dia marah setelah kubilang kalau aku nggak mau tinggal bersamanya lagi. Waktu itu aku baru lulus SMA. Kami bertengkar di pagi hari dan malam harinya tiba-tiba dia memukuliku lalu memotong jariku. Jariku sampai bengkak sebesar bola golf dan aku demam tinggi selama dua hari sampai nyaris nggak sadarkan diri gara-gara infeksi. Aku pasti sudah mati kalau Rio nggak datang membawaku kabur. Sejak itu aku tinggal di rumah Omanya Rio. Dia baik sekali dan menganggapku cucunya sendiri sampai aku hampir membunuhnya.”

“Hampir membunuh siapa? Omanya Rio?”

“Ya, dia kena serangan jantung setelah menangkap basah kami berdua sedang bercinta. Dia nggak pernah mengusirku, tapi aku yang tahu diri. Jadi aku yang pergi.”

“Ah. Jadi itu sebab kamu selalu mengalah sama si goblok itu.”

“Jangan sebut dia goblok. Dia seratus kali lipat jauh lebih baik darimu.”

“Oh, ya? Kalau baik, dia nggak akan meninggalkanmu sendirian, Sayang.”

“Dia pasti punya alasan kenapa nggak datang kemari dan jangan panggil aku Sayang, bodoh!”

“Bukan soal dia datang kemari atau tidak, tapi kalau dia benar mencintaimu seharusnya kamu yang dinikahinya bukan Dina.”

“Aku sudah terlalu banyak berhutang budi dan nyawa padanya.”

“Apa kamu merasa nggak pantas bersanding dengannya? Memangnya apa bagusnya dia? Dia nggak lebih dari cowok mata duitan yang memanfaatkan perempuan kecil bernafsu besar seperti kamu. Sekarang,” ujarnya sambil menarikku berdiri, “pakai celanamu dan pergi tidur.”

“Kamu pikir aku bisa tidur? Bukannya tadi kamu bilang ingin membantuku?” seruku nekat.

Rasa malumu di mana, May?

Apa rasa malu itu masih harus tetap ada kalau dia sudah tahu semuanya?

Kamu terlalu impulsif. Pasti akhirnya kamu menyesal.

Biarin saja. Aku kan nggak akan bertemu lagi dengannya. Besok aku akan meninggalkan tempat ini dan nggak akan kembali lagi kemari.

“Busyet! Jadi kamu masih ingin masturbasi? Kacau banget sih kamu ini.”

“Jangan bilang kamu kasihan padaku karena aku nggak butuh simpatimu. Aku nggak sudi dikasihani oleh orang brengsek sepertimu.”

Yuda menggeleng-geleng sambil menepuk-nepuk kepalaku.

“Oke, oke, akan kulayani kamu. Tapi ingat, kamu yang minta jadi jangan menyesal karena aku sama sekali nggak kasihan sama kamu.”

Kami mirip dua ayam jago yang hendak bertarung. Adu tatap dengan pandangan menantang. Kemudian dia duduk di atas kloset dan menyuruhku membuka sisa pakaian dalam yang menempel di tubuhku. Tidak sampai lima detik kemudian aku sudah telanjang di hadapannya. Lalu dia memintaku duduk memunggunginya di atas pangkuannya. Saat itu juga aku tahu mengapa dia memasang cermin di balik pintu. Playboy gila ini pasti sering mencumbu korbannya di sini.

Seperti beberapa jam yang lalu kini aku kembali menjadi penonton sekaligus obyek adegan seksual. Hanya saja kali ini aku bisa melihat dengan lebih jelas ekspresi wajahku saat tangan kirinya merambah payudara kiriku sementara jari-jari tangan kanannya mengucek kemaluanku dengan leluasa. Gosh, aku makin terangsang melihat bagaimana aku mengernyitkan dahi dan menggigit bibir menahan lenguhan penuh kenikmatan itu keluar dari mulutku. Dan geliat liar tubuhku di atas pangkuannya membuatku tak ubahnya seperti bintang film porno.

“Kamu memang perempuan kecil bernafsu besar,” bisik Yuda sembari mengulum daun telingaku.

Lidahnya menelusuri leherku yang jenjang dan tengkukku, membuat bulu kudukku berdiri. Tangan kananku diangkat dan dengan tangkas kepalanya menyusup di ketiakku menyerang payudara kananku dengan kenyotan dan gigitan. Tubuhku melonjak-lonjak seiring gosokan jarinya pada klentitku. Klimaks sudah semakin dekat, tapi kucoba menahannya selama mungkin. Dan sepertinya dia tahu keinginanku sehingga gerak jarinya tidak pernah terpaku di satu tempat.

“Nghh… aaaah… oooh… mmmhh….”

Lenguhanku tertahan oleh jari-jemari kirinya yang diselipkan ke dalam mulutku. Tanpa ragu kukulum dan kuemut dengan lapar. Sementara tangan kiriku meneruskan tugasnya menghibur payudara kiriku yang kesepian.

Aku bisa merasakan kelaminnya mengeras di balik celana boxernya. Aku sudah tidak sabar ingin dipuaskan oleh penisnya, tapi gocekan jarinya membuat tubuhku mirip cacing kepanasan. Kini jari tengahnya menerobos masuk liang vaginaku membuat gerakan memutar dan menekan sedangkan jempolnya menggosok-gosok klitorisku yang sudah merah membengkak.

“Mmmhhh… nggghhh… Aaaaaaah!!”

Dia segera melepaskan mulutku dan menekan kandung kemihku. Bersamaan dengan teriakan kerasku, kulihat percikan air keluar dari kelaminku.

“Kamu squirt atau pipis, Sayang? Eh, iya, maaf. No more Sayang,” ujarnya sambil terkekeh.

Aku tidak menyahut. Hanya bisa bersandar pada tubuhnya sembari terengah dalam luapan kepuasan penuh kelegaan. Kupejamkan mataku sambil mengatur napasku. Kubiarkan tangannya meremas-remas tubuhku dengan gemas. Sesekali dia bicara, tapi suaranya terdengar makin jauh.


* * *


“Sudah kubilang… kalau aku… nggak…. kasihan… sama kamu!”

“Aaah… aaah…aahhh…”

Yuda terus memompaku dengan keras hingga tubuhku bergeser hingga kepalaku terayun bebas di pinggir ranjang. Dia mengangkat kepalaku dengan cara menjambak rambutku sehingga hidung kami nyaris beradu.

“Bisa-bisanya kamu ketiduran setelah orgasme. Ke…ter…la…lu…an….”

Setiap suku kata yang diucapkan dengan penuh penekanan penisnya menekan makin dalam membuatku tubuhku menggeletar. Dia memang pendendam. Begitu bangun, aku sudah disodori kelaminnya untuk dioral lalu menggarapku dengan ganas tanpa foreplay. Namun tubuhku cepat panas sehingga bisa mengimbangi permainan kerasnya.

“Harder… harder…,” pintaku tanpa malu.

Kedua kakiku diangkat dan ditekannya kedua paha dalamku lalu dia kembali menggenjot dengan penuh semangat. Yang aku bisa lakukan hanyalah memijat kelaminnya yang menggesek G-spot-ku sambil terus melenguh dengan makin keras.

Setelah beberapa saat dia mengganti posisi menjadi doggy style. Dia tahu benar bagaimana memuaskanku. Tangannya tidak pernah menganggur meski kelaminnya subuk menumbuki liang kelaminku. Jarinya menggaruk-garuk klitorisku sehingga klimaks itu datang begitu dahsyat, membuatnya harus membekap mulutku karena lengkingan suaraku begitu keras.

Kami bertempur hingga peluh menetes deras, sederas hujan yang mendera bumi di luar sana. Ditambah lelehan cairan kelamin kami, seprai yang acak-acakan itu jadi basah kuyup. Bantal, guling dan selimut sudah tersebar di lantai sekitar ranjang. Dan ketika perang itu usai, kami hanya bisa terkapar dengan iringan bunyi ngos-ngosan.

Aku tertidur lagi dan saat bangun hari sudah sore. Perutku lapar setengah mati dan sekujur tubuhku pegal-pegal. Pejantanku sedang berdiri di dekat jendela menghadap pemandangan di luar. Langit gelap dan sesekali kilat menyambar. Dia sudah berpakaian dan sedang menelepon dengan nada gusar.

Tiba-tiba aku ingin tertawa. Jangan-jangan dia sedang dimarahi papanya gara-gara lupa meeting jam 10 karena asyik bergulat denganku. Namun seketika tawa yang ingin meledak itu tertelan kembali ke tenggorokan. Bukankah seharusnya aku juga pergi dari sini? Ada banyak hal yang harus kuurus. Mulai dari rumahku, sisa hartaku di bank, Atik, polisi dan yang lainnya. Hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras. Duh, rumahku pasti makin rusak.

Kami melalui sisa hari tanpa banyak bicara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Komunikasi yang terjadi singkat, seperti saat dia menyuruhku mandi atau makan. Ketika waktu tidur tiba, kami bicara dalam gelap.

“Besok aku harus masuk kerja.”

“Besok aku harus pergi dari sini.”

Kami berdua bicara pada saat yang sama dan mengangguk setuju pada saat yang sama pula. Kemudian diam lagi. Sampai kemudian kami terbangun di tengah malam karena lutut kami saling membentur. Kami bertengkar meributkan batas wilayah ranjang lalu saling dorong dan ujung-ujungnya bergulat lagi.

Aku tidak mengingkari kalau klimaks yang kudapat dari ngeseks dengan brondong sialan ini memang luar biasa. Mampu mengenyahkan mimpi buruk dan membuat tidurku pulas saking banyaknya energi yang terkuras. Namun tidak ada kelembutan dan kehangatan seperti yang kudapat dari bercinta dengan Rio. Rio… kamu di mana?

Bayangan wajah Rio tercabik digantikan wajah adik iparnya yang sedang menindihku. Bibirnya melumat bibirku dengan buas, kedua tangannya melibat punggungku dengan erat membuat dadaku sesak sementara penisnya yang keras memasak liang vaginaku tanpa henti. Dan ketika pelampiasan nafsu usai, aku kembali terlelap bak Sleeping Beauty.

Sayangnya, bukan pangeran tampan yang membangunkanku, tapi gedoran kasar pada pintu apartemen. Lho, kok aku sendirian? Brondong hiperseks itu menghilang ke mana? Sekarang jam berapa? Hah, sudah jam 11? Aduh, berisik banget. Siapa sih? Aku berpakaian seadanya dan mengintip lubang pintu dengan hati-hati. Seorang perempuan paruh baya? Pelanggan? Eh, kenapa aku langsung menduga Yuda itu gigolo? Tentu saja karena nafsu seksnya yang besar. Tapi kenapa ibu itu juga membawa dua orang satpam?

“Buka pintunya atau aku panggil polisi! Aku tahu ada orang di dalam!”

Waduh. Ada masalah apa sih si brondong sialan ini? Dengan terpaksa aku membuka pintu.

“Ibu cari siapa? Yuda nggak ada di sini.”

Sebenarnya dia masih terlihat ayu, sayangnya dia malah mendelik sehingga lebih mirip tokoh ibu-ibu dalam sinetron.

“Aku juga tahu Yuda nggak ada di sini! Kamu siapa?”

“Saya… eh… saya teman kerjanya.”

“Bohong! Kalau teman kerja kenapa kamu nggak masuk kerja?”

“Karena saya sudah nggak bekerja lagi di sana.”

“Jangan bohong! Sejak kapan anak itu kenal cewek murahan begini? Aduh, Yuda, Yudaaaaa!”

“Bu, kalau ngomong jangan sembarangan! Saya bukan cewek macam begitu.”

“Kalau bukan, kenapa pakai baju saja nggak becus?”

Oh no... Aku baru sadar kalau aku memakai kaus oblong putih milik Yuda tanpa BH. Dua satpam bertubuh tegap yang berdiri di belakang ibu bawel itu sedang menatap dadaku dengan lekat. Jakun mereka yang besar naik turun.

“Sekarang kamu cepat pakai baju lalu ikut aku.”

“Lho ibu ini siapa sih? Kok main perintah sembarangan. Kalau bukan mencari Yuda kenapa harus kemari? Saya juga bisa memanggil polisi,” tukasku sebal.

“Saya ibunya Yuda! Cepat pakai bajumu dan kita ke kantor. Aku mau tahu apa kamu masih berani berbohong di depan Pak Deddy. Ayo cepat!”



----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh

917

21Tahun.Sextgem.Com