06. Cinta Tak Pernah Salah
“Apa Benny harus kupecat?”
Sorot mata tajam yang menggiris itu membuatku membatu dalam posisi setengah berdiri. Apa aku berhak menghakimi nasib Pak Benny? Demi apa? Keadilan atau balas dendam?
Deretan foto keluarga yang berderet rapi di meja sang HRD Director melintas di ingatanku. Anaknya empat dan yang terkecil masih di bangku SD.
Buat orang selevel dia, mencari pekerjaan baru bukan hal yang sulit, May. Lagipula memang dia yang salah kan? Kalau bukan karena idenya yang tolol, kamu nggak bakalan terdampar di apartemen brondong sialan itu dan dilabrak ibunya yang reseh.
Ya, tapi ini nggak adil. Kalau mau mencari kambing hitam kenapa bukan Dina saja. Dia kan sudah jelas-jelas merusak rumahku sehingga membuatku hampir gila dan menyebabkan Pak Benny salah mengambil keputusan.
Kalau begitu kamu masih nggak adil juga. Apa biang keladi semua kekacauan ini Dina?
Aku menggeleng sembari meneruskan berdiri.
“Semuanya salah saya, tapi saya karena sudah dipecat jadi Bapak nggak perlu lagi menimpakan kesalahan pada orang lain apalagi karyawan seloyal Pak Benny.”
“Kalau kamu yang bertanggungjawab kenapa dari tadi nggak juga minta maaf?” tukasnya ketus.
Dia pasti masih kesal dengan serbuan mendadak dari mantan babysitter Dina tadi. Tadinya kupikir ibunya Yuda adalah seorang perempuan lugu yang terbutakan cinta memabukkan dari sang majikan. Ternyata dia tak ada bedanya dari ibu-ibu menor bawel dalam sinetron yang senang mencaci dengan lantang disertai gaya dramatis. Haduh, lidahku sudah gatal ingin membalas makiannya, tapi sikap dingin sang empunya ruangan membuatku bertahan dalam diam. Ternyata perempuan itu malu sendiri setelah tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Dia pergi begitu saja dengan tergesa, meninggalkanku sendirian di sarang naga. Aku duduk diam di hadapan sang naga seperti anak sekolah yang menunggu hukuman dari kepala sekolah. Akhirnya kuputuskan untuk pamit daripada terus membuang waktu. Dan kini kekesalan sang naga membuat tawa getir keluar dari mulutku tanpa bisa kutahan.
“Kerugian yang Bapak terima nggak sebanding dengan penderitaan yang saya alami. Sudah jadi pengangguran karena dipecat dan harus mendadak jadi gelandangan setelah rumah saya dirusak putri Bapak, masih juga diperkosa sama anak Bapak yang lain. Seharusnya saya minta ganti rugi sama Bapak.”
Alis tebalnya terangkat seketika dan wajahnya berubah menjadi merah. Well, dia marah besar. Ah, sudahlah, paling dimaki lagi dan setelahnya aku bebas.
“Jadi kamu memosisikan diri sebagai korban?”
“Apa ada pihak lain yang menderita kerugian lebih dari saya? Bapak cuma kehilangan satu pegawai dan sudah mendapat penggantinya. Ibu Yuda hanya kehilangan beberapa jam dari waktunya yang berharga, tapi dia sudah puas mempermalukan saya. Yuda boleh dibilang nggak kehilangan apa-apa, oh, paling meeting dengan Bank Mandiri kemarin, tapi saya yakin itu sudah di-reschedule. Sementara Dina… dia tetap memiliki Rio.”
Suaraku tercekat ketika menyebut nama belahan jiwa yang terenggut dari hatiku. Kuhela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan luapan emosi jiwaku.
“Saya nggak mau mencari simpati apalagi minta dikasihani karena saya tahu Bapak nggak akan mengerti bagaimana rasanya kehilangan milik yang berharga, yang didapat dari nol, dari kerja keras selama bertahun-tahun. Memang, semuanya hilang karena kesalahan saya sendiri jadi jangan pernah berharap saya meminta maaf pada Bapak. Karena kalau saya minta maaf berarti Bapak juga harus minta maaf sama saya dan saya yakin itu mustahil terjadi,” tukasku berapi-api.
Rona wajahnya kini makin gelap dan sorot matanya membuatnya seperti ingin menelanku saja. Mulutnya baru saja membuka saat Vina, sekretarisnya yang berambut ala Dora The Explorer itu mendadak mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu sahutan kemudian memberi laporan dengan takut-takut.
Aku jadi ketularan takut begitu mendengar keributan antara Rio dan Yuda. Brondong sialan itu menuduh kakak iparnya sudah mengadukannya pada mamanya tentang kehadiranku di apartemennya. Ya ampun, bocah itu… tapi apa mungkin Rio tega melakukannya karena dulu Yuda sudah mengadukan kami pada Dina?
Tanpa bicara Pak Deddy meninggalkan ruangan setelah menyempatkan diri memelototiku. Tanpa pikir panjang kumanfaatkan kesempatan ini untuk menyelinap pergi. Aku tidak ingin lagi terlibat dalam masalah konyol.
Duh, rasanya aku seperti penderita kusta, semua orang yang kujumpai menjauh dan berbisik-bisik di belakangku. Aku menahan diri untuk tidak berlari dan berjalan secepat yang kubisa. Rasa lega mulai menyongsong ketika aku berhasil meninggalkan gedung kantor dengan selamat. Aku baru saja mulai berlari ketika sesuatu menghantam tubuhku dengan keras, membuatku terpental jatuh dalam kegelapan.
* * *
“Mimpi buruk lagi?”
Saking kagetnya, aku sampai terlonjak dan kepalaku membentur headboard dengan mantap. Ya ampun! Sejak kapan lelaki jangkung ini duduk di pinggir ranjangku? Kamarku juga mendadak terang-benderang. Tunggu dulu, ini kan bukan ranjangku juga bukan kamarku, tapi ranjangnya, kamarnya. Maksudku, dia tidur di ranjang kamar sebelah, tapi ini apartemennya.
“Maaf, saya nggak bermaksud mengganggumu lagi eh, maksud saya Bapak,” ujarku gugup. “Besok eh pagi-pagi nanti saya pulang.”
“Memangnya kamu mau pulang ke mana? Ke rumahmu yang tinggal puing itu? Sementara ini tinggal di sini saja, lebih aman,” titahnya tegas.
“Lebih aman buat siapa?” tanyaku polos. “Bapak sudah membuat blunder dengan menyembunyikan saya di sini. Semua orang malah jadi curiga kalau mobil yang menabrak saya tadi pasti ada kaitannya dengan Dina. Jangan-jangan dia sendiri yang mengendarainya. Kalau nggak, kenapa Bapak harus repot-repot mengurusi dan menyembunyikan saya di sini sampai Bapak nggak pulang ke rumah sendiri. Bapak nggak usah khawatir, saya nggak akan bciara ke polisi atau wartawan. Saya juga paling malas berurusan dengan me …”
“Kenapa lidahmu jadi tajam sejak kupecat?”
Tangannya mendadak terulur ke arah kepalaku. Kontan aku beringsut menjauh. Apa dia akan mencekikku atau mencabut lidahku supaya tidak merecoki tidurnya lagi?
“Ah, ternyata kamu nggak seberani yang kukira.”
Dia terus mendekat hingga aku terpojok di sudut ranjang. Tak ada ruang untuk melarikan diri. Pipiku sudah menempel pada tembok kamar yang dingin. Kupejamkan mata erat-erat, menunggu detik demi detik yang berlalu begitu lambat dengan tubuh gemetar ketakutan. Rasanya seperti sedang mimpi buruk lagi.
Tangan itu ternyata mendarat di kepalaku dan menariknya paksa dari tembok. Kurasakan jari-jemarinya meraba benjolan baru di belakang kepalaku.
“Mual lagi?”
Aku menggeleng pelan tanpa membuka mata. Aku terlalu malu untuk menatap matanya karena sempat dua kali muntah dalam mobil BMW seri 7 miliknya saat dibawa ke rumah sakit. Kata dokter aku kena gegar otak ringan setelah kepalaku terbentur aspal dengan keras.
“Maaf, Pak, aku benar-be…”
“Aneh, dari tadi minta maaf terus padahal tadi bilang nggak mau minta maaf.”
Aku berjengit ketika dahiku yang berpeluh dingin disentuhnya. Tubuhku merinding ketika tangannya meraba wajahku. Eh?! Sesuatu yang lembut menempel di bibirku. Kubuka mata dan kulihat kepalanya membuat gerhana karena sudah menutupi cahaya lampu kamar. Kemudian baru kusadari gerakan yang membasahi area sekitar bibirku.
Dia menciummu?? Busyet!! Mantan bos yang juga mertua Rio sekaligus ayah brondong bajingan itu menciummu???
Iya!! Mana ciumannya lembut banget. Rio saja belum pernah menciumku selembut ini.
Ini gila, May!
Ember!
Kepalaku tidak bisa bergerak karena dipegangi kedua tangannya dengan erat. Aku masih terbengong ketika ciuman itu usai. Gilanya, sepasang mata itu tetap menatapku tajam seperti biasanya. Jangan-jangan yang tadi itu cuma halusinasi… waduh! Dia menciumku lagi!!
Damn! Walau ciuman kedua tidak selembut yang pertama, tapi benar-benar membuatku terbuai. Dan saat dia melepaskanku, aku masih merasa di awang-awang. Aku bahkan tidak sadar apakah sempat kupejamkan mata untuk menikmati apalagi membalas ciumannya.
“Otakmu baik-baik saja.”
“Hah?”
“Kamu lupa kalau aku pernah kuliah kedokteran? Respon matamu bagus. Juga yang lainnya.”
“Bukannya memeriksa mata harus pakai senter? Dan yang lainnya itu apa?”
Tanpa menjawab dia menciumku lagi, tapi kali ini aku meronta.
“Bapak salah. Kalau otakku beres, seharusnya sejak tadi aku menolak,” bantahku sambil mendorongnya menjauh.
“Kenapa? Karena ciumanku sudah membuatmu lupa sama orang yang nggak akan bisa kamu miliki?”
Kata-kata ketusnya menusuk hatiku persis di luka yang menganga. Perih.
“Jangan mau terus seperti anjing.”
Astaga! Barusan dia bilang apa? Aku disamakan dengan anjing??
“Aku paling benci melihat perempuan yang seperti anjing. Biarpun tuannya sudah bosan sampai menendangnya pergi, dia masih juga tetap setia menunggu sampai mati. Entah memang bodoh atau sengaja membohongi dirinya sendiri dengan harapan tuannya akan berubah.”
“Lalu apa aku harus menjadi kucing? Mau dibelai oleh siapa saja yang sudah memberiku makan?” sahutku kesal.
“Kalau memang harus begitu, kenapa tidak? Toh nggak ada ruginya buat kamu. Dan kamu,” telunjuknya menuding hingga menyentuh jidatku, “terlalu pintar untuk jadi anjing.”
Bbirku dilumatnya lagi.
Tadinya aku ingin berontak lagi dan mengeluarkan protes soal anjing-kucing itu. Namun usapan tangannya di wajah dan tubuhku terasa hangat, membuatku tenang bahkan menginginkan yang lebih dari itu. Jadi kubiarkan tangannya menyibakkan kaus oblong kedodoran miliknya yang membalut tubuhku.
Ya, aku butuh orgasme agar bisa terlelap. Masalahnya aku belum mandi sejak kemarin malam. Keringat Yuda bahkan masih menempel di tubuhku dan… Oh my God! Sisa spermanya masih mengendap dalam liang kemaluanku dan aku masih memakai celana dalamnya! Shit! Gara-gara diburu-buru ibunya, aku jadi lupa mengganti celana dalam pinjamannya dengan celana dalamku.
“Aaah….aku… aku nggak bisa,” ujarku setengah terengah.
“Kenapa?” sahut Pak Deddy tak acuh sambil terus mengemut puting payudaraku sementara jari-jemarinya menggosok-gosok klentit yang masih terbungkus celana dalam anaknya.
“Karena… karena badanku kotor… lengket. Seharian aku belum mandi.”
“Ya sudah, mandi saja.”
Pasti ada yang salah dengan otakku. Bagaimana bisa aku memperumit hidup dengan masalah yang semestinya bisa kuhindari. Menjadi simpanan gelap lelaki beristri saja sudah tidak benar, ditambah lagi ngeseks dengan adik iparnya dan sekarang main gila dengan ayah mertuanya.
Untungnya dia duda. Kalau mamanya Dina masih hidup, bisa-bisa kamu bukan cuma ditabrak mobil, tapi dilindas tank.
Lucu. Benar-benar lucu.
Tadinya kupikir niatnya surut begitu melihat celana dalam lelaki yang dilepaskannya dari selangkanganku, ternyata tidak. Penisnya malah semakin mengacung setelah melihat tubuh bugilku yang dihiasi luka lecet dan memar di sana-sini.
Dia memandikanku, menyabuni dan membilas seluruh bagian tubuhku. Usapan dan remasan pada payudara dan selangkanganku membuat rasa malu yang sempat kurasakan lama-lama menjadi sirna tergantikan libido yang tak bisa kutahan lagi. Tanganku ikut bergerilya, membelai kejantanan yang berkedut mengeras dan dua kantung yang menggantung di bawahnya. Kami saling menggesekkan tubuh, mendesah di antara ciuman di bawah shower air hangat.
Aku menurut dengan pasrah saat dia memepetku ke dinding. Baru kali ini aku digarap dalam posisi berdiri. Dia langsung jongkok di depan selangkanganku. Diangkatnya kaki kiriku dan dijilatinya kemaluanku yang wangi sabun dengan lapar.
Tubuhku hampir rubuh karena satu kakiku tidak mampu menahan geliat liarku. Kedua tanganku menggapai-gapai ke sana-kemari mencari pegangan. Gelinjang tubuhku semakin tak terkendali setelah dua jarinya menyelusup masuk liang kelaminku, menggaruk-garuk dan menekan-nekan di dalam sana.
“Ohh…. Aaahh…. Mmmhh… Iyaaaaahh!!”
Aku menjerit dengan kepala terdongak. Suaraku bergema lantang dan mungkin saja menembus dinding apartemen tetangganya. Dia berdiri, sorot matanya tampak puas. Diangkatnya pinggangku hingga aku melayang dengan kaki mekangkang. Tanpa disuruh, kedua tanganku sudah memeluk lehernya dan kedua kakiku melibat pinggangnya dengan erat.
“Ggghhh…”
Sodokan pertamanya begitu kuat. Dalam sekali tumbuk, penisnya sudah melesak masuk hingga menumbuk bibir rahimku. Tubuhku tersentak dan kepalaku terdongak lagi hingga belakang kepalaku lagi-lagi menghantam dinding.
“Nggak apa-apa. Benar kok,” ujarku dengan nada superyakin ketika dia menghentikan gerakan berikutnya demi memeriksa belakang kepalaku yang makin benjol dan senut-senut.
Dengan gerakan perlahan, tapi mantap dia menyodokku lagi hingga mentok. Mulutku yang terbuka menyuarakan lenguhan langsung dijejali dengan lidahnya yang langsung kukenyot. Kukecap gurihnya cairan vaginaku sendiri sebelum daging basah berotot elastis itu meninggalkan mulutku dan menelusuri belakang telinga. Leherku menjadi sasaran jilatan dan pagutan berikutnya.
Kedua tangannya meremas-remas bongkahan pantatku dengan gemas. Sesekali dia memutar pinggulnya membuat tikaman penisnya menggesek seluruh dinding liang vaginaku tanpa ada yang terlewat. Aku tidak mau kalah. Setiap kali batang keras itu menyodok, kulancarkan serangan balasan lewat pijatan-pijatan ritmis oleh otot-otot liang vaginaku yang membuat kedua kelamin kami makin berdenyut keras.
Kutekan kedua pantatnya dengan tumit kakiku dan akibatnya tubuhnya menggencet habis tubuhku ke dinding hingga dadaku terasa sesak. Pada saat yang sama kedua tangannya melepaskan pantatku dan menyelip masuk di antara kedua dada kami. Aku mengerang tertahan ketika jari-jarinya menekan-nekan dan memelintir putingku.
Lolongan keras kembali kusuarakan begitu klimaks kedua kuraih. Kemudian dia membawaku pindah ke kamar tidur tanpa melepaskan pertautan kedua kelamin kami.
“Nanti seprainya basah.”
“Biarin,” sahutnya sambil duduk di pinggir ranjang memangkuku.
Kedua tangannya memegangi pinggang rampingku, menaikkan dan menurunkan tubuhku hingga aku tidak banyak bergerak. Kedua buah dadaku menjadi sasaran empuk mulutnya. Tiap kali aku mendesis karena gigitan pada putingku, liang kemaluanku mengejan, membuatnya makin gemas melahap benjolan di dadaku.
Aku makin panas dan ingin meraih klimaks berikut dengan caraku sendiri. Kujauhkan tubuhku membuat kepalanya maju karena bibirnya mengejar putingku. Tadinya dia tidak mengerti dan malah menarik tubuhku karena takut aku akan terjatuh.
“Trust me,” bisikku sembari memberi tatapan penuh birahi.
Akhirnya dia membiarkanku membaringkan diri di pahanya. Setelah berpegangan pada betisnya, aku mulai menggoyang pinggulku ke segala arah, naik-turun, ke kiri dan ke kanan juga memutar. Rambutku terurai menyapu lantai. Dia membuatku makin gila dengan gosokan dan garukan jarinya pada klentitku. Dadaku yang membusung karena punggungku melengkung, langsung diterkam dengan mulutnya.
“Don’t stop… please… don’t stop… terus… sedi…kit…la…gi…,” pintaku tersengal saat kurasakan klimaks yang kutunggu hampir tiba.
Sang naga semakin gencar menyerangku dengan mulut dan jari-jemarinya dan akhirnya yang kutunggu meledak juga. Aku melolong keras sembari menggelinjang kuat. Kurasakan selangkanganku makin kuyup dan tiba-tiba dia mencabut kelaminnya. Semburan cairan kental hangat membasahi dada dan perutku.
Dia merengkuh tubuhku yang terkulai lemas dan menghadiahi french kiss paling memabukkan yang pernah kurasakan. Tubuhku seringan bulu, dan terbawa angin melayang ke awan melintasi langit biru.
“Bilas dulu baru tidur.”
Aku menggeleng.
“Nanti mimpi buruk keburu datang,” gumamku tanpa membuka mata.
Dan aku pun terbang bersama burung-burung di angkasa…
* * *
“Besok aku mau pulang, Pak. Bukan ke rumahku sih, aku mau cari kos, tapi tetap saja aku ingin menengok rumahku.”
Dia diam saja.
“Aku juga mau cari kerja dan sudah membuat beberapa lamaran kerja. Mmm… kira-kira Bapak mau nggak ya menandatangani surat rekomendasi kerja untukku. Aku tahu, seharusnya aku nggak dapat karena aku dipecat, tapi aku butuh surat itu.”
Aku menyerocos tentang rencana masa depanku, tapi tetap saja tidak ada reaksi darinya. Pandangan matanya tetap lekat pada koran hari Minggu yang dibacanya sementara tangan kanannya terus mengusap-usap kepalaku. Lama-lama aku kesal juga. Aku berdiri, hingga koran terlepas dari tangan kirinya, tapi dengan sigap tangannya melingkar di pundakku dan menarikku kembali duduk di pangkuannya.
“Pak, dengar apa yang kuomongkan, nggak sih?”
Tak ada reaksi.
Kuhela napas panjang. Sejak kami tidur bersama, dia tidak lagi mau dipanggil dengan sebutan Bapak. Mana bisa aku memanggilnya hanya dengan sebutan namanya saja? Jadi kupanggil dia dengan sebutan yang mirip dengan namanya.
“Daddy.”
Dia kan hampir seumur papaku yang lenyap tanpa bekas itu.
“Ya.”
Tuh, dia mau menyahut kan?
“Apa ada begitu banyak kutu di rambutku sehingga dari tadi kamu terus memegang-megang kepalaku?”
“Kucing paling suka kalau kepalanya dibelai-belai. Betul begitu kan, Kitty?”
Kitty…. Sejak kapan aku setuju menjadi kucingnya? Sejak dia berjanji di atas surat bermeterai di hadapan notaris bahwa dia akan mengganti rugi atas kerusakan rumahku beserta isinya? Atau sejak dia membiayai perawatanku hingga sembuh total? Atau sejak dia memakai fasilitas prioritas miliknya untuk menyelesaikan segala urusanku dengan pihak bank dan polisi? Atau sejak dia membelikanku banyak pakaian mulai dari gaun cocktail hingga lingerie supersexy yang selalu dirobeknya bila kami sedang hot-hotnya bergulat di atas ranjang?
“Sudah hampir sebulan aku menganggur begini. Bisa-bisa otakku karatan.”
“Kalau begitu kerja denganku saja,” sahutnya sambil mengendusi leherku.
“Balik ke Banyu Biru lagi? Yang benar saja.”
Apa kata seisi kantor kalau mereka tahu aku jadi kucing sang naga? Waduh. Mendadak terpikir olehku, e-mail Dina yang menjelek-jelekkan diriku sudah melanglang buana hingga ke mana saja, ya? Apa yang akan terjadi kalau lingkungan kantor yang kukirimi lamaran kerja sudah tahu borokku?
“Jadi personal assistant-ku saja.”
Tangannya merambah payudaraku yang masih terbungkus tanktop ketat. Mengusap-usap dengan gerakan memutar sambil sesekali menekan putingku yang makin mencuat.
“Nggak mau. Buat apa dulu susah-susah kuliah kalau cuma jadi kucing.”
Tubuhku menggeliat menahan rasa geli bercampur terangsang.
“Siapa bilang personal assistant itu sama dengan kucing? Aku memang butuh seseorang yang mengatur jadwal kesibukanku. Vina kan hanya mengatur urusan kantor padahal di luar jam kantor, acaraku banyak. Ada wawancara, seminar, undangan ini-itu, aku juga butuh seseorang untuk meringkaskan berita-berita penting di koran dan majalah. Aku nggak punya waktu untuk membaca semuanya… Hmm… aku suka bau badanmu…”
“Aku serius, Dad,” tukasku sambil menjauhkan tangannya. “Bukannya kamu sengaja menjauhkanku dari anak-anak dan menantumu dengan menyembunyikanku di sini? Kalau aku jadi sekretaris pribadimu itu sama saja dengan memberi kesempatan kami bertemu lagi.”
“Ya ampun. Apa masih kepingin jadi anjing lagi?”
Kuhela napas panjang lagi sambil menunduk memandangi lengan kokohnya yang kembali melibat tubuhku. Aku kangen pada Rio, kangen setengah mati. Aku bahkan belum pernah menghubunginya sejak musibah tabrak lari itu karena ponselku hilang dan aku tidak juga berani meneleponnya dengan ponsel baru. Aku tidak mau membahayakan posisi orang yang kucintai itu. Dia pasti bingung karena tidak mendapat kabar apa-apa dariku. Aku jadi penasaran, apa yang Pak Deddy bilang pada mereka tentang diriku?
Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benakku serta-merta bubar berantakan ketika bibirku diciumnya. Ciumannya selalu membius, seakan waktu membeku dan kesadaran menyingkir sejenak dariku.
“Kamu adalah kucing terbaikku,” bisiknya sembari memelorotkan tali tanktop yang kupakai. “Paling pintar, paling mungil, tapi juga paling horny.”
Bibir dan lidahnya menyapu tengkukku sementara jari-jemarinya memilin putingku yang telanjang.
“Kamu juga makhluk langka. Mungkin cuma kamu kucing dextrocardia yang pernah kukenal seumur hidupku.”
Ditempelkannya telinganya di dada kananku seperti ingin mendengarkan detak jantungku yang berderap kencang dengan seksama sambil mengemut puting payudara kiriku. Sudah jelas brondong sialan itu memang putra sang naga. Bukan hanya keduanya punya hobi yang sama, menggumuli perempuan di atas ranjang, tapi bisa-bisanya mereka menganggap posisi jantungku yang abnormal sebagai sebuah keistimewaan. Tiba-tiba aku merasa sedih. Ini bukan hidup yang kuinginkan. Aku nggak cocok jadi kucing dan kucing macam apa aku ini…
Tapi penyesalan tak bertahan lama karena akal sehatku terbuai oleh serangan lidah dan bibirnya yang menyerang kedua buah dadaku bergantian. Tak lama kemudian tangannya menjelajah turun ke selangkanganku mengelus-elus paha dalamku, jari-jarinya yang jahil sesekali menyelinap masuk celana dalamku, menyenggol-nyenggol klentitku kadang menyusup masuk ke dalam liang kemaluanku.
“Besok kamu mulai kerja. Gajimu kusamakan seperti dulu.”
Aku langsung menggeleng. Rupanya akal sehatku masih bercokol di kepalaku namun saat kucoba menolak, hanya desahan dan erangan yang keluar dari mulutku.
Dia menggeser tubuhku, membaringkanku di atas ranjang dengan kepalaku di atas pangkuannya. Tangan kanannya masih terus mengobok-obok kemaluanku.
“Kitty.”
Aku menoleh dan tanpa disuruh langsung menyambut batang kemaluan yang disodorkannya dengan mulutku. Gilanya, dia masih bisa juga menyambi dengan kembali membaca koran. Kurang ajar! Akan kubuat dia menyerah. Kuhisap kelamin yang mengeras itu sampai pipiku mengempot. Ujung lidahku menyusuri belahan kepala penisnya yang mirip jamur dan menekannya kuat-kuat sehingga koran yang dipegangnya bergetar.
Lama-lama konsentrasinya pecah juga apalagi ketika kugesek-gesek kepala penisnya dengan langit-langit mulutku sementara tanganku terus mengurut-urut batang kerasnya. Dilepaskannya koran dengan gerakan buru-buru lalu dipeganginya dengan erat kepalaku dan menyanggama mulutku dengan penuh semangat. Aku kewalahan juga dengan serangannya. Tidak mudah mengatur napas di tengah sepongan dan luberan liur dalam mulutku apalagi gosokan pada klitorisku tidak mengendur malah menggila.
Goyangan pinggulnya yang maju-mundur makin cepat dan akhirnya berhenti bersamaan dengan muntahan spermanya yang memenuhi rongga mulutku. Kuteguk cairan kental itu sambil memandangi wajahnya yang menengadah dengan penuh kepuasan.
“Nanti kita belanja baju kerja untukmu,” tukasnya sambil menarikku bangun dan menyuruhku berbaring di tengah ranjang.
“Nggak usah. Aku nggak mau jadi pe… pers…ph… hhhh… shhh… uuhh…”
Jilatan pada klentitku yang memerah berhasil membungkam protesku. Desis penuh kenikmatan terus keluar dari mulutku. Aku menjerit kecil ketika benjolan kecilku itu dihisapnya dengan gemas. Kedua tangannya memegangi paha dalamku sehingga aku tidak bisa menggelinjang bebas. Tiap kali kusempatkan melihat aktivitas di bawah perutku, kulihat sepasang mata sang naga sedang menatapku dengan tajam.
“Oooh… nghhh…. Dooon’t… stooop…”
Lho?! Kok dia malah menjauh dari kelaminku? Kepalanya bergerak naik, lidahnya menjilati pusarku seakan klitorisku pindah ke sana.
Sialan! Aku paling tidak bisa menahan nafsu yang sudah hampir meledak begini. Kugoyangkan pinggulku agar selangkanganku menggesek tubuhnya, tapi dia malah menekan pinggulku ke ranjang. Tanganku yang menyelonong ke bawah ditepisnya. Dan ketika kudorong tubuhnya kebawah dia bergeming.
“Dad… plesase… aku nggak tahan…. Aku kepingin…,” keluhku memelas.
“Tadi bilang nggak mau.”
Damn! Dia tahu posisiku paling lemah bila libidoku sedang merajalela. Aku berusaha menawar, tapi sia-sia. Penisnya yang mengeras malah digesek-gesekkan ke betisku, membuatku mulut bawahku makin ngiler.
“Oke… aku menyerah…”
“Aku nggak suka kalau kamu terpaksa.”
“Daddy, aku…Auw… pelan-pel…aaa….aaahh…”
Geliat tubuhku makin tak terkendali setelah dia kembali mencaplok klentitku yang merana. Diangkatnya kedua kakiku hingga wilayah kelaminku terlihat jelas. Kemudian jari-jarinya mengobok-obok liang vaginaku. Mulanya satu, lalu dua dan akhirnya tiga. Eranganku bersaing dengan bunyi kecipak dari kemaluanku.
Lalu di saat klimaks itu mendekat lagi-lagi dia berhenti, membuatku kembali mengemis dan menyerah pada kemauannya.
“Kamu yakin mau bekerja denganku?”
Aku mengangguk sambil menatapnya sendu. Lha, kok dia malah turun dari ranjang. Eh, buat apa dasi itu?
“Dad, kenapa tanganku diikat?”
Dia tidak menjawab dan terus mengikat kedua tanganku terikat erat ke tiang tengah headboard ranjang. Permintaanku agar ikatan di pergelangan tanganku dilepas tak diacuhkannya. Sebenarnya diikat begini membuatku takut. Ingatan pada bagaimana Opa dulu sering mengikat dan menghukumku dulu kembali menyambangiku. Membuatku meronta dan berusaha melepaskan ikatan di pergelangan tanganku.
Ternyata kepanikanku membuat Pak Deddy makin bernafsu. Dijilatinya hampir seluruh bagian tubuhku, dari kepala hingga betis. Setelah puas memandikanku dengan gaya kucing, dia menatap selangkanganku yang terbuka lebar dengan tatapan lapar. Dia tidak langsung menancapkan kelaminnya yang keras ke liang kelaminku, tapi menggosoknya perlahan dengan kedua jempolnya membuatku melenguh tak sabar.
“Aku memang bukan bos yang baik.”
Apa maksudnya sih?
“Mungkin karena takut digalaki, kamu jadi menolak.”
Astaga! Masih jual mahal juga dia.
“Nggak kok, aku sudah biasa. Aku mau…”
“Apa tawaran gajimu masih kurang besar, ya?” tanyanya pura-pura bloon sambil membuat gerakan melingkar di klentitku.
“Nggak… su… sudah cu…kup… “
“Lalu kenapa kamu masih ragu?”
Sekarang jarinya sudah masuk ke dalam lubang kelaminku dan menekan-nekan dinding lembut di balik kandung kemihku.
“A…aaah… aku… ma…u… ja… di per…so…oooh… shit! Eh, jangan berhenti. Dad, please. Aku mau jadi personal assistant-mu.”
“Yakin?”
Aku mengangguk getol. Dia tersenyum puas. Ditariknya jarinya yang nakal kemudian dihunjamkannya penisnya yang keras itu ke kemaluanku. Kulingkarkan kakiku ke panggulnya untuk mencegah dia kabur lagi. Dia benar-benar terangsang melihatku setengah tak berdaya. Anehnya, aku menikmati didominasi olehnya dan klimaks yang tertunda sejak tadi kuraih juga dalam jangka waktu singkat.
Dia merubah posisi, menggulingkan tubuhku ke samping dan memasuki liang basahku dari belakang. Disuruhnya aku mengangkat sebelah kakiku yang tidak tertindih tubuhku agar tangannya lebih bebas bermanuver di selangkanganku. Klitorisku yang membengkak kembali menjadi sasarannya.
Mulutku makin sering menyuarakan desahan sesering mulut bawahku mengejan. Deru napasnya yang memburu terdengar jelas di telingaku. Sesekali tangannya menjelajah, memeras payudara, pinggang dan pantatku sebelum akhirnya kembali menekan-nekan dan menggaruk-garuk klentitku.
Kami berbarengan menyerukan klimaks, dengan nada berbeda. Aku dengan penuh kelegaan sementara dia dengan nada kaget. Rupanya dia terlambat mencabut penisnya karena dan cairan putih kental itu membanjiri bibir bawahku hingga mengalir ke seprai, membasahi kasur biolatexnya yang seharga puluhan juta.
“Sudah, nggak usah panik. Hari ini bukan masa suburku kok.”
Dia membalikkan tubuhku lalu menciumku lama sekali sampai-sampai aku tidak sadar kalau ikatan tanganku sudah dilepaskannya.
* * *
“Aku mau cari tempat tinggal baru.”
“Kenapa lagi? Apa paviliun rumahku ini masih kurang bagus? Sudah cukup asin?”
“Justru itu. Aku nggak mau tinggal di sini. Apa kata seisi rumah kalau kamu lebih sering tidur di sini daripada di kamarmu sendiri. Nanti mereka mengadu ke anak-anakmu. Mmm… kurang merica sedikit, Dad.”
“Mereka nggak akan berani bilang apa-apa. Maksudmu cuma anak-anak atau menantu juga ikut?” tukasnya dingin sambil mengaduk scramble egg dengan cekatan.
Apa dia cemburu pada Rio, ya? Aku tetap ngotot minta pindah dan disahutnya dengan membanting wajan penggorengan ke atas kompor, membuat isinya berhamburan ke mana-mana. Hebatnya dia sempat mematikan kompor lebih dulu. Yang tidak hebat, lagi-lagi dengan mudah aku diringkus dan dibius ciumannya yang memabukkan.
“Oh, shit!!”
Apa aku sedang mimpi, ya. Sepertinya aku mendengar suara brondong sialan itu.
Sepertinya memang suaranya deh.
Sukmaku yang sedang melayang-layang seakan diberi pemberat…
“Apa-apaan ini!! Papa, apa kamu sudah gila??”
Itu suara Dina kan?
Nggak salah lagi…
dan terjun bebas ke bumi….
“Yakuza?”
… menghantam gunung karang dan hancur berantakan.
“Oh, kalian sudah datang rupanya,” ujar sang naga dengan santai sambil menarik tubuhku yang setengah berbaring di atas meja makan.
Aku berdiri bersembunyi di belakang majikanku yang sayangnya malah menarikku berdiri di sebelahnya. Dan di hadapan kami berdiri 3 orang yang menatap kami dengan mata terbelalak.
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1092